Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

WANITA MUSLIMAH TIDAK WAJIB MENUTUP WAJAHNYA

Senin, 15 Maret 2010

Pernyataan bahwa wanita dalam Islam wajib mengenakan hijab untuk menutupi seluruh wajahnya, kecuali kedua matanya, dapat dikategorikan sebagai pendapat yang Islami. Pendapat tersebut telah dikemukakan oleh sebagian imam mujtahid dari berbagai mazhab yang ada. Sebaliknya, pernyataan bahwa hijab tidak diwajibkan atas wanita dalam Islam—sehingga seorang Muslimah tidak perlu menutupi wajahnya secara penuh karena wajah memang bukan aurat—juga merupakan pendapat yang Islami. Pendapat yang terakhir ini juga telah dikemukakan oleh sebagian pemuka mujtahid dari berbagai mazhab. Persoalan ini merupakan salah satu persoalan penting dalam sistem interaksi antara pria dan wanita. Sementara itu, upaya untuk mengadopsi pendapat mana pun di antara kedua pendapat di atas akan mempengaruhi corak kehidupan Islam. Untuk itu, tentu perlu dikemukakan dalil-dalil syariat yang terkait dengan persoalan ini secara menyeluruh. Caranya adalah dengan mempelajari dan mengkaji dalil-dalil tersebut serta menerapkannya pada persoalannya. Dengan cara seperti itu, kaum Muslim dapat mengadopsi pendapat yang paling kuat dalilnya, dan Daulah Islamiyah sendiri dapat mengadopsi pendapat yang paling valid dengan didasarkan pada kekuatan dalilnya.

Memang benar, wacana (perdebatan) di seputar wanita ini telah muncul sejak setengah abad yang lalu. Perdebatan tersebut banyak dipicu oleh kaum kolonialis kafir dan dihembuskan ke dalam jiwa orang-orang yang tertipu oleh Barat serta orang-orang yang haus dengan kebudayaan dan cara pandang Barat dalam menentukan arah hidupnya. Mereka yang telah ter-Barat-kan ini selanjutnya berusaha untuk memalingkan Islam dengan melontarkan pendapat-pendapat yang bertentangan dengan Islam; berupaya untuk memutarbalikkan arah pandangan kaum Muslim; serta berusaha untuk mempropagandakan gagasan tentang hijab
dan larangan berhijab. Alih-alih dihadapi oleh para ulama pemikir, mereka malah dihadapi oleh para pengarang buku, para sastrawan, dan para intelektual yang berpikiran jumud, yang justru memperkuat pendapat-pendapat-mereka yang memang telah dibentuk oleh Barat. Gagasan-gagasan mereka lantas dijadikan sebagai topik perbincangan dan pengkajian, meskipun gagasan-gagasan tersebut bersumber dari Barat yang sengaja dilontarkan untuk menyerang Islam, merusak kaum Muslim, serta menyebarluaskan keragu-raguan dalam diri kaum Muslim terhadap agama mereka.

Memang benar, perdebatan semacam ini pernah muncul dan pengaruhnya masih terasa hingga kini. Akan tetapi, pembahasannya tidak sampai matang, serta tidak sampai pada level pengkajian yang didasarkan pada syariat ataupun dikaitkan dengan aspek interaksi pria-wanita. Padahal, pengkajian semacam ini termasuk ke dalam pembahasan hukum-hukum syariat yang digali oleh para mujtahid yang disandarkan pada dalil atau syubhah-dalîl (sesuatu yang mirip atau terkategori dalil, pen); bukan termasuk ke dalam pengkajian pendapat para pengarang buku, orang-orang upahan, orang-orang bodoh yang tertipu, atau para propagandis yang haus akan kebudayaan Barat. Dengan kata lain, yang dijadikan topik pengkajian dan bahan diskusi dalam masalah syariat adalah pendapat para mujtahid yang digali dari sejumlah dalil syariat. Di samping itu, topik pengkajian dan bahan diskusi dalam masalah ini, juga terkait dengan berbagai pendapat para ahli fikih dan para syaikh yang senantiasa fanatik terhadap hijab sehingga dapat menyingkirkan kesamaran dalam diri mereka.

Oleh karena itu, kami akan memaparkan sejumlah pendapat para mujtahid disertai dengan dalil-dalilnya, sehingga akan tampak pendapat yang dinilai paling layak. Siapa saja yang telah menemukan pendapat yang dianggap paling layak, wajib untuk mengamalkan pendapat tersebut serta merealisasikannya.

Kalangan yang mewajibkan wanita Muslimah untuk mengenakan hijab atas wajah menyatakan bahwa, aurat wanita meliputi seluruh anggota badan. Pengecualian wajah dan kedua telapak tangan hanya berlaku dalam shalat saja. Di luar waktu shalat, menurut mereka, seluruh anggota tubuh wanita adalah aurat. Pendapat mereka disandarkan pada al-Quran dan Sunnah Nabi saw.

Dari al-Quran, mereka mengutip firman Allah Swt. sebagai berikut:


Jika kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), hendaklah kalian memintanya dari belakang tabir (hijab). (QS al-Ahzâb [33]: 53)


Ayat ini menerangkan dengan jelas bahwa, hijab memang diwajibkan atas wanita. Allah Swt. juga berfirman:


Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu. (QS al-Ahzâb [33]: 59)


Mereka berpendapat bahwa, kalimat yudnîna ‘alayhinna min jalâbîbihinna bermakna mengulurkan hijab atas seluruh tubuh mereka, termasuk wajah dan kedua telapak tangan mereka. Mereka berpendapat bahwa, para wanita di masa permulaan Islam masih mempraktekan adat kebiasaan Jahiliah, yaitu terbiasa mengenakan pakaian rumah dan memakai kerudung, sehingga tidak ada perbedaan antara wanita merdeka dengan wanita hamba sahaya (budak). Para pemuda iseng di jalanan sering mengganggu para budak wanita yang keluar malam hendak membuang hajat di bawah pohon atau tempat-tempat yang biasa mereka gunakan. Mungkin saja, mereka juga mengganggu para wanita merdeka yang mereka sangka sebagai budak-budak wanita. Mereka sering mengatakan, ‘Saya kira, dia budak’.

Setelah itu, turunlah perintah kepada para wanita (merdeka) untuk membedakan diri dengan para wanita hamba sahaya dengan cara mengenakan baju dan milhafah (sejenis kain panjang) serta penutup kepala dan wajah (kerudung). Dengan pakaian semacam ini, mereka akan tampak lebih terhormat dan tidak menjadi obyek gangguan dari mereka yang memiliki sifat tamak. Dengan pakaian semacam ini pula, mereka akan lebih dikenal sehingga para lelaki iseng tidak mengganggu mereka atau berbuat sesuatu yang dibenci oleh mereka.

Di antara mereka, ada yang mengatakan bahwa, kalimat adnâ an yu‘rafna pada ayat di atas diketahui melalui kata yang mahdzûfah (dihilangkan) yang bermakna agar mereka tidak diketahui cantik atau tidaknya sehingga mereka tidak diganggu. Allah Swt. berfirman:


Hendaklah kalian tetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliah dulu. (QS al-Ahzâb [33]: 33)


Sementara itu, yang bersumber dari Sunnah Nabi saw., mereka mengutip riwayat bahwa Nabi saw. telah bersabda:

أَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ.

Wanita itu adalah aurat.

إِذَا كَانَ لإِحْدَاكُنَّ مُكَاتِبٌ فَمَلَكَ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْجِبْ مِنْهُ.

Apabila telah ada seorang mukâtib (yang hendak memerdekakan budak) bagi salah seorang budak wanita dan ia memiliki (harta) untuk membayarnya, hendaklah budak wanita yang akan dimerdekakan itu dihijab dari (pandangan) tuannya.


Selain itu, Ummu Salamah pernah menuturkan riwayat sebagai berikut:

كُنْتُ قَاعِدَةٌ عِنْدَ النَّبِيِّ r أَنَا وَحَفْصَةٌ فَاسْتَأْذَنَ إِبْنُ أُمِّ مَكْتُمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ r إِحْتَجِبْنَ مِنْهُ. فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ ضَرِيْرٌ لاَ يُبْصِرُ. قَالَ: أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا لاَ تُبْصِرَانَهُ؟

Aku pernah duduk di sisi Nabi saw. bersama Hafshah. Kemudian datanglah Ibn Ummi Maktum meminta izin. Setelah itu, Nabi saw. bersabda, “Kenakanlah hijab di hadapannya.” Aku berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya dia itu buta, tidak bisa melihat.” Beliau lantas bersabda, “Apakah kalian berdua juga buta dan tidak melihatnya?”


Ada juga riwayat yang menyebutkan demikian:

كَانَ اْلفَضْلُ بْنُ الْعَبَّاسِ رَدَيْفَ النَّبِيِّ r فَجَاءَتْهُ الْخَثْعَمِيَّةُ تَسْتَفْتِيْهِ فَجَعَلَ اْلفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ فَصَرَفَ رَسُوْلُ اللهِ r وَجْهَهُ عَنْهَا

Fadhl ibn ‘Abbas pernah (menaiki tunggangan berboncengan dengan) Rasulullah saw. Kemudian datanglah seorang wanita bernama Khuts‘amiyah untuk meminta pendapat. Fadhl lalu memandang wanita itu dan wanita itu pun memandangnya, sehingga Rasulullah saw. memalingkan wajahnya dari wanita tersebut. (HR Abû Dâwud)


Jarîr ibn ‘Abdillâh juga menuturkan:

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ r عَنْ نَظْرَةِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أُصْرِفَ بَصَرِيْ.

Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai pandangan yang tiba-tiba (tidak disengaja). Beliau kemudian menyuruhku untuk memalingkan pandanganku.


‘Alî r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. juga pernah bersabda kepadanya demikian:

لاَ تُتْبِعِ الْنّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّمَا لَكَ اْلُأوْلىَ وَلَيْسَتْ لَكَ اْلآخِرَةُ.

Janganlah engkau mengikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Pandangan pertama adalah hakmu sedangkan pandangan berikutnya bukanlah hakmu.


Dalil-dalil di atas dilontarkan oleh kalangan yang berpendapat bahwa wanita wajib untuk mengenakan hijab dan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat. Seluruh dalil yang dijadikan sandaran mereka tersebut pada dasarnya tidak relevan dengan permasalahan ini. Seluruh dalil di atas tidak berkaitan dengan topik ini. Firman Allah Swt. yang berbunyi, Waqarna fî buyûtikunna (Hendaklah kalian tetap di rumah-rumah kalian—QS al-Ahzâb [33]: 33), tidak ada hubungannya sama sekali dengan kaum Muslimah secara keseluruhan. Kedua ayat di atas (maksudnya ayat ke-33 dan, sebelumnya, ayat ke-32, pen) tersebut dikhususkan bagi istri-istri Rasulullah saw. Makna kedua ayat tersebut sangat jelas jika dibaca secara keseluruhan. Keduanya, satu sama lain, saling berkaitan, baik dari segi lafal maupun maknanya.

Sementara itu, Allah Swt. berfirman:


Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah-rumah Nabi saw., kecuali jika kalian diizinkan untuk makan tanpa menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Akan tetapi, jika kalian diundang, masuklah. Jika kalian telah selesai makan, hendaklah kalian keluar tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya hal itu akan mengganggu Nabi, sementara ia malu kepada kalian (untuk menyuruh kalian keluar), sedangkan Allah tidak merasa malu menerangkan yang benar. Jika kalian meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi saw.), mintalah kalian dari belakang tabir. Cara semacam itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. Kalian tidak boleh menyakiti hati Rasulullah dan tidak pula mengawini istri-istrinya selamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu amat besar (dosanya) di sisi Allah. (QS al-Ahzâb [33]: 53)


Ayat ini terkait dengan istri-istri Nabi dan khusus ditujukan kepada mereka; tidak ada hubungannya dengan kaum Muslimah atau wanita mana pun selain istri-istri Nabi saw. Yang memperkuat bahwa ayat ini khusus ditujukan bagi istri-istri Rasulullah saw. adalah hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. ketika beliau bertutur demikian:

كُنْتُ أَكِلٌ مَعَ النَّبِيِّ r حَيْسًا فِيْ قَصْعَةٍ، فَمَرَّ عُمَرَ فَدَعَاهُ فَأَكَلَ، فَأَصَابَتْ إِصْبَعُهُ إِصْبَعِيْ فَقَالَ عُمَرَ: أَوَاهٍ لَوْ أُطَاعٌ فَيَكُنْ مَا رَأَتْكُنَّ عَيْنٌ، فَنَزَلَ اْلحِجَابُ.

Aku sedang makan bersama Nabi saw. dengan memakan jenis makanan dari kurma dalam sebuah mangkuk. Tiba-tiba datanglah ‘Umar. Ia lalu dipanggil oleh Nabi saw. untuk makan bersama-sama hingga jari-jemarinya menyentuh jemariku. ‘Umar lantas berkata, “Ah, seandaiya saja ditaati, niscaya engkau tidak akan dipandang oleh mata.” Setelah itu, turunlah ayat mengenai hijab.


‘Umar r.a. juga bertutur demikian:

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ r يَدْخُلُ إِلَيْكَ الْبَرُّ وَاْلفَاجِرُ، فَلَوْ حِجَبْتُ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ. فَأَنْزَلَ اللهُ أَيَةَ الْحِجَابِ.

Aku berkata, “Ya Rasulullah, orang-orang yang masuk secara bergiliran (ke rumah Nabi saw.) ada yang baik dan ada pula yang jahat. Bagaimana seandainya istri-istri para ibu kaum Mukmin itu mengenakan hijab?” Setelah itu, Allah Swt. menurunkan ayat tentang hijab.


Ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa, ‘Umar r.a. pernah berjalan melewati istri-istri Nabi saw., sementara mereka sedang bersama dengan kaum Muslimah lain di Masjid. ‘Umar lantas berkata, ‘Andai saja mereka mengenakan hijab, hal itu lebih utama bagi mereka atas kaum wanita lainnya, sebagaimana mereka menikahi lelaki yang paling utama (Muhammad saw.)’.

Zaynab r.a. kemudian menimpali, ‘Wahai Ibn al-Khaththâb, sesungguhnya Anda tertipu oleh kami, karena wahyu itu turun di rumah kami’.

Tidak lama kemudian, ayat tentang hijab turun.

Apa yang tercantum dalam ayat maupun hadis di atas menunjukkan secara pasti bahwa semua itu ditujukan kepada istri-istri Nabi saw. dan tidak diperuntukkan bagi kaum Muslimah lainnya.

Sementara itu, potongan ayat yang berbunyi, Waqarna fî buyûtikunna (Hendaklah kalian tetap tinggal di rumah-rumah kalian), juga khusus ditujukan kepada istri-istri Rasulullah saw. Lengkapnya teks ayat ini berbunyi sebagai berikut:


Wahai istri-istri Nabi saw., kalian tidaklah sama dengan wanita lain, jika kalian bertakwa. Oleh karena itu, janganlah kalian tunduk dalam berbicara sehingga menimbulkan hasrat orang yang ada penyakit di dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. Hendaklah kalian tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias sebagaimana orang-orang Jahiliah dulu. Dirikanlah oleh kalian shalat, tunaikanlah zakat, serta taatilah Allah Swt. dan Rasulullah saw. Sesungguhnya Allah Swt. bermaksud hendak menghilangkan kotoran dari kalian, wahai Ahlul Bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya. (QS al-Ahzâb [33]: 32-33)


Inti ayat ini jelas ditujukan khusus kepada istri-istri Nabi saw., karena seruannya pun hanya ditujukan kepada mereka, sebagaimana kalimat awal yang tercantum dalam ayat tersebut, yakni ungkapan, Yâ nisâ’ an-Nabî, lastunna ka’ahadin min an-nisâ’ (Wahai istri-istri Nabi saw., kalian tidaklah sama dengan wanita lain).

Tidak ada suatu petunjuk atau indikasi apa pun di dalam nash ini melainkan khusus ditujukan kepada istri-istri Nabi saw. Di akhir ayat itu sendiri terdapat tekanan, Innamâ yurîdullâhu liyudzhiba ‘ankum ar-rijsa ahlul bayti wa yuthahhirakum tathhîrâ (Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan kotoran dari kalian, wahai ahlul bait, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya).

Ayat ini juga menerangkan bahwa sifat tersebut khusus ditujukan kepada istri-istri Nabi saw. Mereka diperintahkan untuk melaksanakan apa yang telah dititahkan kepada mereka agar mereka dibebaskan dari kotoran dan disucikan, karena mereka termasuk ke dalam ahlul bait (keluarga) Nabi saw. Penegasan ini secara langsung terdapat pula pada ayat berikutnya setelah firman-Nya, wa yuthahhirakum tathhîrâ, yang berfungsi sebagai penguat. Ayat tersebut berbunyi:


Ingatlah oleh kalian (istri-istri Nabi) ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi) yang dibacakan di rumah-rumah kalian. Sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Mahatahu. (QS al-Ahzâb [33]: 34)


Ayat ini menyebutkan bahwa rumah-rumah para istri Nabi saw. adalah tempat turunnya wahyu. Ayat ini juga memerintahkan mereka agar tidak melupakan ayat-ayat yang dibacakan di dalam rumah mereka.

Kedua ayat di atas secara jelas ditujukan khusus bagi istri-istri Nabi saw.; tidak ada satu petunjuk pun di dalamnya bahwa ketetapan hukumnya berlaku juga bagi para wanita Muslimah lain selain mereka. Di dalam ayat tersebut terdapat pula seruan yang juga ditujukan secara khusus bagi istri-istri Rasulullah saw., misalnya firman Allah Swt. yang berbunyi:


….Tidak pula kalian mengawini istri-istrinya selamanya setelah ia wafat. (QS al-Ahzâb [33]: 53)


Artinya, istri-istri Nabi saw. tidak boleh menikah setelah beliau wafat. Kenyataan ini berbeda dengan para wanita Muslimah lainnya, karena mereka boleh menikah jika telah lepas dari suaminya. Dengan demikian, kedua ayat mengenai hijab di atas khusus ditujukan bagi istri-istri Nabi saw., sebagaimana larangan bagi mereka untuk menikah setelah beliau wafat.

Di sini tidak berlaku kaidah berikut:

اَلْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

Berlakunya hukum ditentukan oleh umumnya lafal, bukan oleh khususnya sebab.


Dalam konteks ini tidak bisa disimpulkan bahwa sebab turunnya ayat tersebut memang khusus berkaitan dengan istri-istri Nabi saw., tetapi patokan hukumnya berlaku umum bagi mereka maupun para wanita Muslimah lainnya. Pendapat seperti ini tidak bisa diterima. Sebab, yang disebut dengan sabab an-nuzûl (latar belakang turunnya) ayat adalah mengacu pada suatu peristiwa yang terjadi, sementara dalam ayat tersebut, istri-istri Nabi saw. bukanlah ‘peristiwa’ yang terjadi dan ditunjuk oleh ayat tersebut. Ayat tersebut merupakan nash tertentu yang menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang tertentu. Artinya, nashnya hanya menyangkut para istri Nabi saw. saja, sebagaimana firman Allah Swt.:


Wahai istri-istri Nabi, kalian berbeda dengan wanita yang lain. (QS al-Ahzâb [33]: 32)


Apabila kalian hendak meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi saw). (QS al-Ahzâb [33]: 53)


Selain itu, adanya kata ganti (dhamîr) yang mengacu pada para istri Rasulullah saw. dan adanya ketentuan yang hanya ditujukan untuk mereka saja, bukan yang lain, merupakan ‘illat (alasan) bahwa perintah untuk mengenakan hijab pun hanya khusus bagi mereka saja. Apalagi pernyataan pada ayat tersebut dilanjutkan dengan kalimat:


….Kalian tidak boleh menyakiti (hati) Rasulullah saw. (QS al-Ahzâb [33]: 53)


Semua ini menunjukkan bahwa kedua ayat di atas diturunkan khusus bagi para istri Nabi saw. Dengan demikian, kaidah, Al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab (Hukum berlaku karena umumnya lafal, bukan karena khususnya sebab), tidak layak dipakai di sini.

Dalam konteks ini pun tidak bisa dikatakan bahwa seruan terhadap para istri Rasulullah saw. berlaku juga bagi para wanita Muslimah lainnya. Sebab, kaidah yang menyatakan, “Seruan terhadap individu tertentu adalah berlaku pula bagi kaum Mukmin secara umum,” hanya diperuntukkan secara khusus bagi Rasulullah saw. atas kaum Mukmin, tidak berlaku bagi para istri beliau atas para wanita Mukmin. Seruan terhadap Rasulullah saw. memang berlaku pula bagi kaum Mukmin, sedangkan seruan kepada para istri Nabi saw. adalah khusus ditujukan bagi mereka saja. Sebab, Rasulullah saw. merupakan teladan (yang wajib diikuti oleh seluruh kaum Mukmin, pen) dalam setiap ucapan, perilaku, ataupun diamnya beliau—selama tidak ada pengkhususan bagi diri beliau. Sebaliknya, para istri beliau bukanlah teladan (maksudnya, yang wajib diikuti oleh seluruh kaum Mukmin, pen). Allah Swt. sendiri telah berfirman:


Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian. (QS al-Ahzâb [33]: 21)


Dengan demikian, para istri Nabi saw. tidak wajib dijadikan suri teladan (bagi seluruh kaum Mukmin, pen), sehingga setiap Mukmin akan melakukan suatu perbuatan karena perbuatan tersebut dilakukan oleh mereka, ataupun mencontoh suatu sifat karena sifat tersebut ada pada diri mereka. Yang wajib diteladani dan dicontoh hanyalah Rasulullah saw. saja, sebab beliau tidak melakukan apa pun, kecuali senantiasa berlandaskan pada wahyu.

Lebih dari itu, tidak bisa juga dikatakan bahwa, jika para istri Rasulullah saw. saja—yang terjaga kesuciannya dan di rumah-rumah mereka selalu dibacakan wahyu—diperintah untuk mengenakan hijab, maka sesungguhnya para wanita Muslimah lain adalah lebih layak lagi terkena seruan ini. Pendapat semacam ini tidak dapat diterima karena dua alasan:

Pertama, masalahnya bukan mana yang lebih patut atau lebih layak. Sebab, tentang persoalan mana yang lebih layak atau lebih patut terkait dengan larangan Allah Swt. terhadap sesuatu yang sepele, sehingga hal itu mengandung pengertian bahwa, larangan terhadap sesuatu yang sifatnya lebih besar—daripada sesuatu yang sifatnya sepele tersebut, pen—tentu dipandang lebih layak lagi. Allah Swt. berfirman:


Janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orangtua), “Ah!” (QS al-Isrâ’ [17]: 23)


Maknanya, jika sekadar mengucapkan kata “Ah!” saja sudah dilarang, apalagi memukul keduanya, tentu lebih terlarang lagi. Dalam ayat lain, Allah Swt. berfirman:


Di antara Ahlul Kitab, ada orang yang jika diberi kepercayaan olehmu berupa harta yang banyak, ia mengembalikannya kepadamu. Di antara mereka, ada pula orang yang jika diberi kepercayaan olehmu berupa harta satu dinar saja, ia tidak mengembalikannya kepadamu. (QS Ali ‘Imrân [3]: 75)


Maknanya demikian. Dalam konteks yang pertama, mereka tentu akan mengembalikan harta yang jauh lebih banyak lagi; sementara dalam konteks yang kedua, mereka tentu tidak akan mengembalikan harta yang jumlahnya jauh di bawah satu dinar. Sebaliknya, ayat yang berkaitan dengan kawajiban mengenakan hijab tidak bisa ditinjau dari prinsip min bâb al-ûlâ (mana yang lebih), karena konteks kalimat pada ayat tersebut memang tidak terkait dengan siapa pun selain istri-istri Nabi saw., dan tidak mengandung pengertian lain. Kata nisâ an-Nabî (istri-istri Nabi saw.) bukanlah sifat yang diambil dari proses pemahaman (washfan mufahhaman) sehingga dapat disimpulkan bahwa, selain istri-istri Nabi saw. adalah lebih layak (untuk mengenakan hijab, pen). Sebaliknya, kata tersebut merupakan nama yang sudah baku (ism jâmid) sehingga tidak mengandung konotasi (pengertian) lain. Dengan kata lain, ungkapan dalam ayat tersebut hanya berkaitan dengan apa yang secara khusus ditunjukkan oleh nash, tidak lebih, dan tidak mengandung pemahaman lain. Ayat tersebut juga tidak berkaitan sama sekali dengan topik min bâb al-ûlâ (mana yang lebih), baik secara tekstual (ditinjau dari segi lafal lahiriahnya) ataupun secara kontekstual (ditinjau dari segi konteksnya).

Kedua, kedua ayat dimaksud merupakan perintah yang ditujukan hanya kepada individu-individu tertentu yang karakternya telah disifati dengan sifat-sifat tertentu, sehingga tidak berlaku sama sekali bagi selain mereka, baik yang derajatnya lebih tinggi ataupun yang lebih rendah daripada mereka. Sebab, kedua ayat tersebut menyebut sifat-sifat tertentu yang dinisbatkan kepada orang-orang tertentu. Perintah dalam kedua ayat tersebut hanya ditujukan bagi mereka yang benar-benar termasuk istri Rasulullah saw., karena kedudukan mereka berbeda dengan wanita Muslimah pada umumnya. Selain itu, interaksi para sahabat dengan istri-istri Rasulullah saw. tanpa ada hijab akan mengganggu beliau.

Dengan melihat paparan di atas, terbukti sudah bahwa, kaidah Al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab (Hukum berlaku karena umumnya lafal, bukan karena khususnya sebab) tidak layak dan tidak relevan dengan topik ini. Demikian pula tentang kewajiban untuk meneladani istri-istri Rasulullah saw. dan prinsip min bâb al-ûlâ (mana yang lebih utama). Sebaliknya, terbukti pula bahwa, nash tersebut secara pasti hanya ditujukan bagi istri-istri Nabi saw. semata. Kedua ayat yang diperbincangkan di atas hanya berkenaan dengan istri-istri Rasulullah saw. saja, sehingga tidak terkait sama sekali—dari sisi mana pun—dengan kaum wanita Muslimah lainnya.

Walhasil, kewajiban mengenakan hijab atas wajah—di samping perintah agar tetap tinggal di rumah—hanya ditujukan secara khusus bagi istri-istri Nabi saw. Atas dasar ini, kesimpulan hukum yang diambil dari proses penggalian dalil terhadap kedua ayat di atas—sehingga disimpulkan bahwa hijab atas wajah telah disyariatkan bagi para wanita Muslimah—telah gugur dengan sendirinya.

Selanjutnya, mengenai ayat kedua yang dimunculkan adalah firman Allah Swt. berikut:


Hendaklah mereka mengulurkan jilbab masing-masing ke seluruh tubuh mereka. (QS al-Ahzâb [33]: 59)


Ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan perintah untuk menutupi wajah dalam kondisi apa pun, baik dilihat secara tekstual (manthûqan) maupun secara konseptual (mafhûman). Di dalamnya tidak ditemui satu kata pun yang menunjukkan kesimpulan semacam itu—baik secara tersendiri (kata demi kata) maupun secara integral dalam kalimat—sebagai legitimasi atas sabab an-nuzûl-nya. Artinya, potongan ayat yang berbunyi yudnîna ‘alayhinna min jalâbîbihinna bermakna mengulurkan jilbab atas seluruh tubuh mereka. Kata min dalam ayat ini bukan menunjukkan pada makna sebagian (li at-tab‘îdh), tetapi menunjukkan pada makna penjelasan (li al-bayân), yakni mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh (dari bagian atas hingga ke bagian bawah). Secara etimologis, kata adnâ (akar kata dari kata yudnîna yang terdapat pada ayat ini, pen) bermakna arkhâ (mengulurkan hingga ke bawah). Dengan demikian, kata yudnîna sama maknanya dengan kata yurkhîna.

Sementara itu, yang dimaksud dengan jilbab itu sendiri bisa bermakna milhafah (baju kurung yang longgar dan tidak tipis), kain (kisâ’) apa saja yang dapat menutupi, atau pakaian (tsawb) yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh. Di dalam Kamus al-Muhîth dinyatakan demikian:

اَلْجِلْبَابُ كَسِرْدَابٍ وَكَسِنْمَارٍ: اَلْقَمِيْصُ وَالثَّوْبُ وَاسِعٌ لِلْمَرْأَةِ دُوْنَ اْلمِلْحَفَةِ أَوْ مَا تُغْطِيْ بِهِ ثِيَابَهَا كَالْمِلْحَفَةِ.

Jilbab itu tak ubahnya seperti sirdâb (terowongan) atau sinmâr (lorong), yakni baju atau pakaian yang longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutupi pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.


Sedangkan dalam Kamus ash-Shihhâh, al-Jawhârî menyatakan:

اَلْجِلْبَابُ اْلمِلْحَفَةُ وَقِيْلَ الْمُلاَءَةُ.

Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhâfah) yang sering disebut mulâ’ah (baju kurung).


Di dalam hadis disebutkan bahwa, jilbab adalah baju kurung yang dikenakan oleh wanita pada bagian luar pakaian kesehariannya yang lazim digunakan di dalam rumah. Ummu ‘Athiyah pernah bertutur demikian:

أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ r أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي اْلفِطْرِ وِاْلأَضْحَى، الْعَوَاتِقُ وَاْلحَيْضُ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحَيْضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ. قاَلَ: لِتُلْبِسَهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Rasulullah saw. telah memerintahkan kepada kami untuk keluar (menuju lapangan) pada saat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha; baik wanita tua, yang sedang haid, maupun perawan. Wanita yang sedang haid menjauh dari kerumunan orang yang shalat, tetapi mereka menyaksikan kebaikan dan seruan yang ditujukan kepada kaum Muslim. Aku lantas berkata, “Ya Rasulullah saw., salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Beliau kemudian bersabda, “Hendaklah salah seorang saudaranya meminjamkan jilbabnya.”


Artinya, wanita tersebut tidak memiliki pakaian (baca: jilbab) yang akan dikenakan pada bagian luar pakaian kesehariannya, karena ia hendak keluar rumah. Karena itulah, Rasulullah saw. memerintahkan agar saudaranya meminjamkan jilbab kepadanya yang akan dikenakan pada bagian luar pakaian keseharaiannya. Dengan demikian, ayat di atas bermakna bahwa, Allah Swt. telah meminta Rasulullah saw. agar menyampaikan kepada para istri dan anak-anak wanitanya beserta istri orang-orang Mukmin supaya mengulurkan kain pada bagian atas pakaian keseharian mereka hingga ke bawah. Pengertian semacam ini didasarkan pada sebuah dalil, yakni berupa riwayat yang telah dikemukakakan dari Ibn ‘Abbas, yang menyatakan bahwa jilbab adalah kain luar yang berfungsi untuk menutupi (pakaian keseharian wanita) dari atas sampai ke bawah. Ayat tersebut menunjukkan perintah agar mengulurkan jilbab, yaitu kain yang luas dan lebar, hingga ke bawah, dan tidak menunjukkan makna yang lainnya.

Jika demikian kenyataannya, bagaimana mungkin sampai muncul pemahaman bahwa kalimat yudnîna ‘alayhinna min jalâbîbihinna bermakna mengenakan pakaian yang dapat menutupi wajah? Betapapun lafal yudnîna dan jilbâb ditafsirkan berdasarkan batas-batas pengertian bahasa maupun syariat, ayat tersebut tetap menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah mengulurkan pakaian (irkhâ’ ats-tsiyâb) yang dilakukan sampai ke bawah, dan bukan mengangkatnya hingga ke atas. Atas dasar ini, di dalam ayat tersebut tidak ditemukan satu dalil pun—atau bahkan sekadar syubhah ad-dalîl (sesuatu yang mirip dalil)—yang menunjukkan adanya keharusan mengenakan hijab atas wajah ditinjau dari sisi mana pun.

Sebagaimana kita ketahui, kata-kata atau kalimat-kalimat dalam al-Quran bisa ditafsirkan sebatas dalam konteks bahasa (etimologi) dan syariat, dan tidak bisa ditafsirkan selain dengan dua cara ini. Secara bahasa, makna ayat tersebut telah jelas, yakni memerintahkan para wanita agar mengulurkan jilbab atas seluruh bagian tubuhnya atau agar menurunkan sekaligus menghamparkan jilbab yang dikenakannya pada bagian luar pakaian kesehariannya—yang lazim dipakai di dalam rumah—ke bawah hingga menutupi kedua (telapak) kakinya. Keharusan untuk mengulurkan jilbab (irkhâ’ ats-tsiyâb) hingga ke bawah ini telah ditunjukkan di dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibn ‘Umar. Ia menuturkan demikian:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةِ: فَكَيْفَ يَصْنَعُ النِّسَاءُ بِذُيُوْلِهِنَّ؟ قَالَ: يُرْخِيْنَ شِبْرًا. قَالَتْ: إِذًا يَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ: يُرْخِيْنَ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ.

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang mengangkat pakaiannya karena sombong, di hari Kiamat nanti Allah Swt. pasti tidak akan mempedulikannya.” Ummu Salamah lalu bertanya, “Jika demikian, lantas bagaimana dengan yang dilakukan para wanita atas bagian bawah pakaian mereka?” Nabi saw. menjawab, “Hendaklah mereka mengulurkannya sejengkal.”

Ummu Salamah kembali bertanya, “Kalau begitu, kedua kaki mereka masih tampak?” Nabi saw kembali menjawab, “Jika demikian, hendaklah mereka mengulurkannya lagi sehasta, dan tidak menambahnya.”


Demikianlah pembahasan mengenai ayat-ayat yang dijadikan dalil oleh mereka yang menyerukan bahwa hijab atas wajah telah disyariatkan oleh Allah Swt. atas para wanita Muslimah.

Sementara itu, hadis-hadis yang dijadikan dalil oleh mereka tentang keharusan wanita Muslimah mengenakan hijab atas wajah sesungguhnya tidak menunjukkan pengertian ini. Sebab, hadis mengenai budak mukâtab—jika ia mampu membayar tebusannya—yang diperintahkan untuk mengenakan hijab di hadapan tuannya, adalah khusus terkait dengan istri-istri Nabi saw. Hadis ini diperkuat hadis lain. Abû Qilâbah bertutur:


Istri-istri Nabi saw. tidak mengenakan hijab di hadapan budak mukâtab yang masih memiliki harta satu dinar (untuk tebusan).


Di sini, tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa wanita Muslimah harus mengenakan hijab atas wajah.

Di sisi lain, hadis Ummu Salamah serta permintaan Nabi saw. kepadanya dan kepada Hafshah agar masing-masing mengenakan hijab atas wajah adalah hadis dha‘îf (lemah), sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Apalagi, hadis tersebut hanya khusus ditujukan bagi istri-istri Rasulullah saw., yakni Ummu Salamah dan Hafshah.

Sementara itu, ‘Aisyah r.a. bertutur:


Para penunggang (unta dan kuda) pernah melewati kami, sementara kami bersama-sama Rasulullah saw. sedang berihram. Tatkala mereka mendekat ke arah kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari rambut ke wajahnya. Ketika mereka berlalu, kami membukanya kembali.


Hadis ini bertentangan dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhârî dari Ibn ‘Umar. Ia menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda sebagai berikut:


Wanita yang sedang berihram tidak wajib menutup wajahnya (mengenakan cadar) dan tidak wajib pula menutup kedua tangannya.


Dalam kitab Fath al-Bârî, disebutkan bahwa cadar adalah kain yang dikenakan di atas hidung atau di bawah lekukan mata. Dengan demikian, hadis ‘Aisyah r.a. menyebutkan bahwa wanita yang sedang berihram telah menutupi wajahnya tatkala di hadapannya lewat para pengendara (unta), sementara hadis Ibn ‘Umar menunjukkan larangan mengenakan cadar, artinya tidak menutupi apa pun kecuali bagian bawah wajah. Jika demikian kenyataannya, lantas bagaimana mungkin pengertian kedua hadis tersebut dikaitkan dengan upaya untuk menutupi wajah seluruhnya dengan kain dan menghamparkannya di atas wajah? Dengan merujuk pada kedua hadis tersebut, jelaslah bahwa, hadis ‘Aisyah bersumber dari penuturan Mujâhid. Yahyâ ibn Sa‘îd al-Qaththân telah menyatakan bahwa ia tidak pernah mendengar hadis tersebut dari ‘Aisyah. Sebaliknya, hadis yang dituturkan oleh Ibn ‘Umar adalah hadis sahih yang telah dikemukakan oleh Imam al-Bukhârî. Oleh karena itu, hadis yang dituturkan oleh ‘Aisyah dengan sendirinya tertolak karena dha‘îf dan bertentangan dengan hadis sahih, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.

Sementara itu, hadis mengenai Fadhl ibn ‘Abbas bukanlah dalil bagi keharusan untuk mengenakan hijab, tetapi justru merupakan dalil bagi tidak adanya keharusan untuk mengenakan hijab. Sebab, Khuts‘amiyah sendiri, ketika menanyakan sesuatu kepada Rasulullah saw., wajahnya tampak. Buktinya, Fadhl sempat memandang wajahnya dan adanya kalimat terakhir yang tercantum dalam hadis tersebut yang berbunyi sebagai berikut:


Oleh karena itu, Rasulullah saw. memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain.


Dalam riwayat dari ‘Alî ibn Abî Thâlib r.a. ditambahkan keterangan sebagai berikut:


‘Abbas r.a. kemudian bertanya kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, mengapa engkau memalingkan leher keponakanmu?” Rasulullah saw. menjawab, “Karena aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi yang tidak aman dari gangguan setan.”


Dengan kata lain, hadis mengenai Khuts‘amiyah menunjukkan tentang ketidakharusan wanita Muslimah untuk mengenakan hijab, bukan menunjukkan tentang kewajiban untuk mengenakan hijab. Alasannya, Rasulullah saw. sendiri melihat Khuts‘amiyah yang memperlihatkan wajahnya, sehingga beliau memalingkan pandangan Fadhl, karena ia memandang wanita tersebut dengan disertai syahwat, sebagaimana dinyatakan dalam hadis riwayat ‘Alî r.a., ‘….yang tidak aman dari gangguan setan’.

Karena itulah, Rasulullah saw. memalingkan wajah Fadhl, karena ia memandang wanita tersebut disertai syahwat, bukan memandangnya dengan pandangan biasa atau wajar. Padahal, memandang wanita asing yang disertai dengan syahwat—meskipun hanya melihat wajah dan kedua telapak tangan—adalah tindakan yang diharamkan.

Sementara itu, dalam hadis tentang pandangan yang tiba-tiba (tidak disengaja), Rasulullah saw. memerintahkan Jarîr untuk memalingkan atau menundukkan pandangannya, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah Swt.:


Katakanlah kepada laki-laki Mukmin, hendaklah mereka menahan pandangannya. (QS an-Nûr [24]: 30)


Yang dimaksud ayat ini adalah pandangan yang tiba-tiba terhadap selain wajah dan kedua telapak tangan wanita yang termasuk aurat, bukan pandangan terhadap wajah dan kedua telapak tangan. Sebab, melihat wajah dan kedua telapak tangan wanita merupakan tindakan yang dibolehkan, meskipun secara sengaja. Dalilnya adalah adanya kebolehan untuk memandang wajah dan kedua telapak tangan wanita sebagaimana yang tercantum dalam hadis mengenai Khuts‘amiyah. Selain itu, Rasulullah saw. sendiri telah melihat wajah kaum wanita tatkala mereka membaiat beliau dan tatkala beliau memberikan nasihat kepada mereka. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, yang menjadi pokok masalah adalah pandangan yang tidak disengaja terhadap anggota badan wanita selain wajah dan dua telapak tangannya. Dalam konteks ini, Hadis Nabi saw., sebagaimana dituturkan oleh ‘Alî r.a., yang berbunyi, ‘Janganlah engkau mengikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya,’ mengandung larangan untuk memandang wajah wanita secara berulang-ulang atau terus-menerus, bukan larangan agar tidak melihatnya sama sekali.

Atas dasar ini, berarti tidak terdapat hadis yang menunjukkan bahwa Allah Swt. telah mensyariatkan wanita Muslimah untuk mengenakan hijab atas wajahnya, sebagaimana yang diserukan oleh mereka yang berpendirian seperti ini.

Walhasil, jelaslah bahwa tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan Allah Swt. telah mewajibkan wanita Muslimah untuk mengenakan hijab atas wajahnya atau bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita merupakan aurat, baik dalam waktu shalat maupun di luar waktu shalat. Dalil-dalil yang ditunjukkan oleh mereka tidak ada relevansinya dengan kewajiban untuk mengenakan hijab, apalagi riwayat dan penunjukkan dalilnya lemah.

Sebagaimana diketahui, wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat. Oleh karena itu, seorang wanita boleh untuk keluar menuju pasar atau melewati jalan umum menuju ke tempat mana pun dengan menampakkan wajah dan kedua telapak tangannya. Sebab, hal ini telah ditegaskan di dalam al-Quran maupun hadis. Dalam al-Quran terdapat firman Allah Swt. yang berbunyi:


Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak pada dirinya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. (QS an-Nûr [24]: 31)


Di dalam ayat ini, Allah Swt. melarang wanita Muslimah untuk menampakkan perhiasannya atau untuk menampakkan bagian tubuh tempat melekatnya perhiasannya. Inilah maksud dari larangan tersebut. Pengecualian atas bagian tubuh selain tempat melekatnya perhiasan, yakni berupa apa yang biasa tampak, sudah sangat jelas. Artinya, pada diri wanita terdapat bagian-bagian tubuh tertentu tempat melekatnya perhiasannya yang biasa tampak. Bagian-bagian tubuh tersebut secara eksplisit memang tidak dimasukkan ke dalam larangan. Hal ini tidak memerlukan perincian lebih lanjut. Sebab, Allah Swt. telah melarang para wanita Mukmin untuk menampakkan perhiasannya, kecuali apa yang biasa tampak pada dirinya. Tafsir mengenai bagian tubuh wanita yang mana yang dimaksud dalam potongan firman Allah Swt. yang berbunyi, ‘illâ mâ zhahara minhâ’, dapat dikembalikan pada dua hal. (1) Tafsir secara literal atau tekstual (manqûl). (2) Tafsir secara konseptual (mafhûm), yakni melalui apa yang dapat dipahami dari kalimat mâ zhahara minhâ. Hal ini dapat ditempuh dengan cara mengimplementasikannya pada apa yang biasa tampak pada diri para wanita Muslim di hadapan Nabi saw. pada zamannya, yakni pada periode turunnya ayat tersebut.

Secara literal atau tekstual (manqûl), pengertian kalimat dari ayat tersebut dikemukakan oleh Ibn ‘Abbas. Ia menafsirkan bahwa, yang dimaksud mâ zhahara minhâ (apa yang biasa tampak pada dirinya) adalah wajah dan kedua telapak tangan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat para ahli tafsir yang lain. Ibn Jarîr ath-Thabarî menyatakan demikian:


Yang paling benar dalam masalah ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah wajah dan dua telapak tangan.


Imam al-Qurthubî juga berpendapat:


Wajah dan kedua telapak tangan lazim tampak, baik dalam adat kebiasaan maupun dalam prosesi peribadatan seperti haji dan shalat. Oleh karena itu, layak jika pengecualian itu dikembalikan maksudnya pada dua anggota badan ini.


Pendapat ini didukung oleh Imam az-Zamakhsyarî yang menyatakan demikian:


Sesungguhnya seorang wanita, tatkala melakukan sesuatu, mutlak harus menggunakan kedua telapak tangannya dan menampakkan wajahnya; terutama dalam masalah kesaksian, pengadilan, dan perkawinan. Ia pun terpaksa harus keluar di jalanan umum sehingga tampak kedua kakinya, terutama yang dialami oleh para wanita fakir. Inilah pengertian dari firman Allah Swt. yang berbunyi, ‘illâ mâ zhahara minhâ’.


Sementara itu, secara konseptual, yakni melalui pemahaman terhadap kalimat mâ zhahara minhâ, pengertiannya sudah sangat jelas, bahwa apa yang biasa tampak pada diri para wanita tatkala ayat ini turun adalah wajah dan kedua telapak tangan mereka. Kaum wanita biasa menampakkan wajah dan kedua telapak tangan mereka di hadapan Nabi saw. Kenyataan mereka seperti ini tidak bisa dipungkiri. Mereka biasa menampakkan wajah dan kedua telapak tangan mereka pada saat pergi ke pasar atau melewati jalan-jalan umum. Fenomena semacam ini sudah amat banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Di antaranya adalah sejumlah fakta sejarah atau riwayat berikut ini:


Pertama, riwayat Jâbir ibn ‘Abdillâh. Ia bertutur demikian:


Aku pernah bersama-sama Rasulullah saw. pada hari Ied. Ketika itu, shalat dimulai sebelum khutbah tanpa azan maupun iqamat. Rasulullah saw. kemudian berdiri sambil memegang tongkat seraya memerintahkan kaum Muslim agar bertakwa kepada Allah Swt. dan menganjurkan mereka agar menaati-Nya. Beliaupun menasihati dan memperingatkan mereka. Setelah itu, beliau berlalu sampai datang para wanita kepadanya. Beliau kemudian bersabda kepada mereka, “Hendaklah kalian bersedekah, karena sesungguhnya kebanyakan penghuni neraka adalah para wanita.” Salah seorang wanita di antara kerumunan itu, sambil memukul-mukul pipinya, berkata, “Mengapa demikian, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Karena kalian banyak mengeluh dan menolak keluarga kalian.” Kemudian Rasulullah saw. menganjurkan mereka untuk menyedekahkan perhiasan-perhiasan yang mereka miliki, baik berupa kalung maupun cincin, yang kemudian dikumpulkan pada kainnya Bilal.


Kedua, riwayat ‘Athâ’ ibn Abî Rabbâh. Ia menuturkan demikian:


Ibn ‘Abbas pernah berkata kepadanya, “Maukah engkau aku tunjukkan seorang wanita yang termasuk ahli surga?” Aku menjawab, “Ya.” Ia kemudian menceritakan bahwa wanita tersebut berkulit hitam. Wanita itu pernah datang kepada Nabi saw. lalu berkata, “Aku ini menderita penyakit ayan sehingga auratku sering tersingkap. Karena itu, aku mohon engkau berdoa kepada Allah Swt. untukku.” Rasulullah saw. menjawab. “Sesungguhnya jika engkau menghendaki dan berlaku sabar, balasannya adalah surga. Akan tetapi, jika engkau menghendaki, aku bisa mendoakanmu supaya engkau sembuh.” Wanita itu berkata, “Kalau begitu, aku mau bersabar. Akan tetapi, auratku sering tersingkap. Karena itu, doakanlah agar auratku tidak tersingkap.” Setelah itu, Nabi saw. mendoakannya.


Ketiga, riwayat Fâthimah binti Qays. Disebutkan bahwa, Abû ‘Amr ibn Hafsh telah menjatuhkan talak tiga kepadanya, sedangkan Abû ‘Amr sendiri tidak ada di tempat waktu itu. Fâthimah lantas mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan keadaannya. Beliau kemudian menyuruhnya untuk menunggu ‘iddah di rumah Ummu Syarîk seraya bersabda:


Wanita itu telah tertipu sahabatku. Hendaklah engkau menunggu masa ‘iddah di rumah Ummi Maktum, sebab ia adalah lelaki buta. Engkau bisa membuka pakaian, sementara ia tidak melihat.


Dengan demikian, Nabi saw. secara tidak langsung membiarkan Fâthimah binti Qays dilihat oleh kaum pria tatkala beliau menyuruhnya untuk menunggu masa ‘iddah-nya di rumah Ummu Syarîk. Namun demikian, beliau tidak membolehkan ia membuka pakaiannya di rumah Ummu Syarîk yang selalu didatangi oleh kaum pria agar tidak tampak apa yang diharamkan untuk dilihat. Beliau kemudian menyuruh Fâthimah binti Qays untuk pindah dan menghabiskan masa ‘iddah-nya di rumah Ummi Maktum.

Keempat, riwayat Abû Bakar yang bersumber dari Ibn Jurayj. Ia menuturkan bahwa ‘Aisyah pernah berkata demikian:


Keponakan perempuanku pernah masuk ke ruanganku seraya bersolek. Rasulullah saw. kemudian masuk pula ke ruanganku sambil berpaling. Aku lantas berkata, “Wahai Rasulullah, ia adalah keponakan perempuanku, dan ia masih kecil.” Akan tetapi, Rasulullah saw. bersabda, “Jika seorang wanita telah mengalami haid, ia tidak boleh menampakkan tubuhnya, kecuali wajah dan ini.” Beliau berkata demikian sambil menggenggam tangannya dan membiarkan jari-jemarinya saling menggenggam satu sama lain.


Kelima, adanya riwayat yang menunjukkan bahwa telapak tangan wanita bukanlah aurat adalah kenyataan bahwa Rasulullah saw. berjabat tangan dengan kaum wanita tatkala mereka membaiat beliau. Dalam hal ini, Ummu ‘Athiyah bertutur demikian:


Kami telah membaiat Nabi saw. Beliau kemudian memerintahkan kami agar tidak menyekutukan Allah Swt. dengan sesuatu yang lain dan melarang kami untuk meratap. Tiba-tiba, salah seorang wanita di antara kami melepaskan tangannya lalu berkata, “Seorang wanita telah membahagiakan diriku dan aku ingin sekali membalasnya.” Beliau tidak mengomentarinya sedikit pun. Wanita itu pergi dan lalu kembali lagi.


Hadis ini dengan jelas menunjukkan bahwa para wanita Muslimah telah berbaiat dengan tangan mereka. Alasannya, salah seorang dari mereka telah menarik tangannya setelah sebelumnya diulurkannya ketika hendak berbaiat. Dengan demikian, hadis ini menunjukkan bahwa tangan wanita tersebut—sebagaimana tangan para wanita lainnya (pen)—digenggam tatkala terdengar ucapan baiat. Kenyataan ini secara jelas menunjukkan bahwa baiat dilakukan dengan tangan dan Rasulullah saw. telah membaiat kaum wanita dengan tangannya yang mulia.

Memang, ada riwayat dari ‘Aisyah tatkala ia berkata:


Tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan seorang wanita pun, kecuali wanita yang dimilikinya.


Pernyataan ini hanya merupakan pendapat ‘Aisyah r.a. sebatas apa yang diketahuinya. Jika pernyataan ‘Aisyah ini diperbandingkan dengan hadis yang dituturkan oleh Ummu ‘Athiyah, maka hadis yang dituturkan Ummu ‘Athiyah jelas lebih kuat (valid), karena hadis tersebut menunjukkan aktivitas real yang terjadi di hadapan Rasulullah saw., sekaligus menunjukkan perbuatan Rasulullah saw. sendiri. Hadis ini jelas lebih kuat dibandingkan dengan pendapat ‘Aisyah. Oleh karena itu, para perawi hadis memandang kuat hadis Ummu ‘Athiyah ini. Mereka mengambil hadis ini dan karenanya membolehkan kaum pria berjabat tangan dengan kaum wanita.

Kelima hadis di atas menunjukkan gambaran yang pasti bahwa yang biasa tampak pada kaum wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan mereka. Hadis yang keempat menunjukkan bahwa Rasulullah saw. memalingkan pandangannya terhadap seorang wanita yang sedang bersolek karena ia menampakkan bagian tubuh selain yang biasa tampak. Beliau lalu menjelaskan bahwa ia tidak boleh menampakkan bagian tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Kenyataan ini mengisyaratkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat, baik pada waktu shalat maupun di luar waktu shalat, karena ayatnya berbentuk umum:


Hendaklah mereka tidak menampakkan perhiasannya, kecuali apa yang biasa tampak pada dirinya. (QS an-Nûr [24]: 31)


Sementara itu, ayat sesudahnya jika dipahami, menunjukkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat, karena Allah Swt. berfirman:


Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke wilayah dada mereka. (QS an-Nûr [24]: 31)


Kata khumûr (kerudung) pada ayat di atas adalah bentuk jamak dari kata khimâr, yaitu sebentuk kain yang berfungsi untuk menutupi kepala; sedangkan kata juyûb (kerah baju) adalah bentuk jamak dari kata jayb yaitu sepotong kain penutup atau kemeja. Dengan demikian, Allah Swt. memerintah para wanita Muslimah untuk mengulurkan kerudungnya di atas leher dan dada mereka. Keduanya wajib untuk ditutupi. Sebaliknya, para wanita Muslimah tidak diperintahkan untuk menutupi wajahnya dengan kainnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi, makna kata jayb bukanlah dada sebagaimana yang mereka pahami, melainkan tawqah (kain yang mengelilingi leher) yang terlipat dan terhampar di sekitar leher dan di atas dada. Memakai kerudung di atas jayb maknanya adalah mengulurkan kerudung di atas (lipatan) kerah pakaian di sekitar bagian leher sampai ke bagian dada. Sebab, perintahnya adalah menutup kepala hingga ke leher dan dada, kecuali wajah, sehingga hal itu menunjukkan bahwa wajah bukan aurat. Walhasil, tidak ada keharusan mengenakan hijab atas wajah bagi wanita. Allah Swt. sendiri mensyariatkan hal semacam ini.

Itulah dalil-dalil yang digali dari al-Quran.

Sementara itu, ada sejumlah dalil yang bersumber dari hadis yang mengisyaratkan bahwa hijab atas wajah tidak disyariatkan oleh Allah Swt., sekaligus menyatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukan merupakan aurat. Misalnya, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abû Dâwud yang bersumber dari ‘Aisyah r.a. Disebutkan bahwa, Asma binti Abû Bakar r.a. pernah memasuki ruangan Nabi saw. dengan mengenakan pakaian tipis, sehingga Rasulullah saw. pun berpaling seraya bersabda kepadanya:


Asmâ’, sesungguhnya seorang wanita itu jika telah baligh tidak pantas untuk dilihat kecuali ini dan ini. (Beliau mengatakan demikian sambil memberi isyarat pada wajah dan kedua tangannya).


Imam Abû Dâwud juga meriwayatkan hadis yang bersumber dari penuturan Qatâdah. Dikatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda demikian:


Jika seorang anak wanita telah mencapai usia balig, tidak pantas terlihat dari dirinya selain wajah dan kedua telapak tangannya sampai bagian pergelangannya.


Imam al-Bayhaqî juga meriwayatkan hadis yang berasal dari penuturan Asmâ’ binti Umays. Ia bertutur demikian:


Rasulullah saw. pernah masuk ke kamar ‘Aisyah binti Abû Bakar, sementara ia bersama dengan saudara perempuannya, yaitu Asmâ’ binti Abû Bakar, yang saat itu sedang mengenakan pakaian tipis (transparan) yang bagian lengannya longgar. Ketika Rasulullah saw. melihatnya, beliau segera bangkit dan kemudian keluar kamar. ‘Aisyah lantas berkata sambil mengikuti Rasulullah saw. Rasulullah tampak seperti melihat sesuatu yang tidak disukainya sehingga ‘Aisyah pun menghampirinya. Akan tetapi kemudian, Rasulullah saw. masuk kembali. Beliau lantas ditanya oleh ‘Aisyah, mengapa beliau sampai bangkit dan keluar? Beliau kemudian bersabda, “Tidakkah engkau melihat keadaannya? Ia seperti bukan wanita Muslimah yang seharusnya hanya menampakkan ini dan ini.” Beliau berkata demikian seraya mengambil kain dan menutupkannya pada kedua tangannya sehingga yang tampak hanya jari-jemarinya. Beliau kemudian melilitkan kain tersebut dengan kedua tangannya ke arah pelipis (kepala)-nya hingga yang tampak hanya bagian wajahnya.


Hadis-hadis di atas secara jelas menunjukkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat. Hadis-hadis tersebut sekaligus menunjukkan bahwa Allah Swt. tidak mensyariatkan agar para wanita menutupi wajah dan kedua telapak tangan mereka. Mereka pun tidak diperintahkan untuk mengenakan hijab atas wajah mereka. Sebab, jika hal itu memang disyariatkan, sudah pasti ayat di atas akan bertentangan dengan sejumlah hadis yang tidak memungkinkan adanya penafsiran atau penakwilan apa pun. Hadis-hadis yang ada bahkan mengisyaratkan secara jelas dan terang, bahwa wanita Muslimah terbiasa keluar menuju pasar dengan menampakkan wajah dan kedua telapak tangan mereka. Mereka juga terbiasa bercakap-cakap dengan pria asing (bukan-mahram) seraya tetap menampakkan wajah dan kedua telapak tangan mereka. Mereka melakukan berbagai interaksi sosial sebagaimana yang telah disyariatkan seperti jual-beli, memberi upah, mendapatkan upah, tolong-menolong, perwakilan (wakâlah), pengasuhan anak (kafâlah), dan lain-lain seraya tetap menampakkan wajah dan dua telapak tangan mereka. Hijab atas wajah, dalam hal ini, tidak disyariatkan oleh Allah Swt., kecuali kepada istri-istri Rasulullah saw.

Meskipun demikian, pendapat mengenai keharusan wanita Muslimah untuk mengenakan hijab atas wajah merupakan pendapat yang Islami, karena terdapat syubhah ad-dalîl (sesuatu yang mirip dalil). Pendapat semacam ini telah dilontarkan oleh sejumlah pemuka mujtahid dari berbagai mazhab. Akan tetapi, harus diakui bahwa, syubhah ad-dalîl yang diungkapkan oleh mereka termasuk lemah sehingga nyaris tidak relevan untuk dijadikan sebagai dalil.

Kini, tinggal satu persoalan yang masih tersisa, yakni berkaitan dengan pendapat yang dilontarkan oleh sebagian mujtahid bahwa, hijab atas wajah telah disyariatkan kepada wanita karena adanya kekhawatiran akan munculnya fitnah. Artinya, mereka menyatakan bahwa wanita dilarang menampakkan wajahnya di tengah-tengah kaum pria bukan karena wajah itu aurat, tetapi karena adanya kekhawatiran akan munculnya fitnah. Pendapat semacam ini keliru ditinjau dari berbagai sisi.

Pertama, tidak ada dalil yang melarang menampakkan wajah disebabkan adanya kekhawatiran akan munculnya fitnah, baik itu dalam al-Quran, Sunnah, Ijma sahabat, ataupun ‘illat syar‘iyyah yang dapat di-qiyâs-kan (dianalogikan) terhadap masalah ini. Oleh karena itu, pendapat semacam ini tidak ada nilainya di hadapan syariat dan tidak dianggap sebagai hukum Islam. Sebab, hukum Islam adalah seruan asy-Syâri‘ (Pembuat Hukum), yakni Allah, sementara larangan untuk menampakkan wajah karena adanya kekhawatiran akan munculnya fitnah tidak berasal dari seruan-Nya. Jika telah diketahui bahwa dalil-dalil syariat datang dalam bentuk yang mengikat, berarti ayat-ayat dan hadis-hadis yang ada telah membolehkan wanita Muslimah untuk menampakkan wajah dan kedua tangannya secara mutlak; tanpa persyaratan apa pun dan tanpa ada pengecualian dalam keadaan apa pun. Artinya, larangan untuk menampakkan wajah merupakan upaya pengharaman atas apa yang telah dihalalkan oleh Allah Swt., dan kewajiban untuk menutupinya merupakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah diwajibkan oleh Allah Penguasa semesta alam. Dengan kata lain, pendapat semacam ini, selain tidak dianggap sebagai bagian dari hukum Islam, juga bertentangan dengan hukum Islam itu sendiri yang secara jelas tercantum dalam nash.

Kedua, sesungguhnya upaya untuk menjadikan kekhawatiran akan munculnya fitnah sebagai ‘illat untuk melarang wanita Muslimah menampakkan wajah sekaligus untuk mewajibkan wanita Muslimah agar menutupinya, tidak terdapat dalam nash syariat mana pun, baik secara jelas (sharâhatan), melalui penunjukan (dilâlatan), lewat proses penggalian (istinbâthan), maupun melalui analogi (qiyâsan). Artinya, tidak ditemukan adanya ‘illat syar‘iyyah (alasan yang digali dari syariat). Yang ada hanyalah ‘illat ‘aqliyyah (alasan yang hanya diambil dari proses rasionalisasi). Padahal, ‘illat ‘aqliyyah tidak ada nilainya di hadapan hukum syariat. Yang diakui hanyalah ‘illat syar‘iyyah, bukan yang lain. Walhasil, kekhawatiran akan munculnya fitnah tidak bisa dijadikan tolok-ukur di dalam proses penetapan larangan untuk menampakkan wajah sekaligus penetapan kewajiban untuk menutupinya. Sebab, ketetapan semacam ini tidak ditemukan dalam nash syariat.

Ketiga, terkait dengan kaidah berikut:


Sarana yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang haram adalah haram.


Kaidah semacam ini tidak relevan dengan larangan untuk menampakkan wajah hanya karena takut munculnya fitnah. Sebab, kaidah ini mengharuskan adanya dua hal: (1) Sarana yang dapat mengantarkan pada sesuatu yang haram tersebut harus diduga kuat memang dapat menghasilkan keharaman, artinya, akibat yang bakal ditimbulkannya (baca: keharaman) adalah sesuatu yang pasti dan diduga kuat tidak akan meleset. (2) Keharaman yang ditetapkan itu memang telah dinyatakan secara jelas dengan nash, bukan dengan dilandaskan pada akal.

Dalam konteks ini, kedua aspek di atas tidak terdapat dalam topik tentang larangan untuk menampakkan wajah karena adanya kekhawatiran akan munculnya fitnah. Jika memang yang mereka katakan adalah kewajiban menutup wajah hanya karena adanya kekhawatiran munculnya fitnah—bukan karena adanya kepastian akan munculnya fitnah—berarti topik di seputar upaya menampakkan wajah karena khawatir akan adanya fitnah tidak relevan jika dikaitkan dengan kaidah di atas, yakni mengharamkan apa yang akan menyebabkan munculnya suatu keharaman. Dalam hal ini, harus diberi catatan, bahwa fitnah haram atas orang yang terfitnah (yakni pria yang terpesonan karena memandang wanita, pen). Yang pasti, bukan ini yang menjadi topik dasar dalam masalah ini. Apalagi kekhawatiran akan munculnya fitnah tidak disebutkan sama sekali dalam nash mana pun sebagai dalil bagi adanya pengharaman. Lebih dari itu, Allah Swt. tidak mengharamkan fitnah itu sendiri atas orang yang membuat fitnah (dalam hal ini, wanita yang menampakkan wajahnya, pen) terhadap orang lain. Yang diharamkan adalah fitnah atas orang yang memandang wanita dengan pandangan yang akan menimbulkan fitnah bagi dirinya, bukan atas obyek yang dipandang. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abû Dâwud sebagai berikut:


Fadhl ibn ‘Abbas pernah (menaiki hewan tunggangan bersama) Rasulullah saw. tiba-tiba, datanglah Khuts‘amiyah untuk meminta pendapat. Fadhl lantas memandang wanita tersebut dan si wanita itu pun memandangnya. Karena itu, Rasulullah saw. kemudian memalingkan wajah Fadhl dari wanita itu.


Artinya, Rasulullah saw. memalingkan wajah Ibn ‘Abbas dari wanita tadi. Dalam riwayat lain, redaksi dari potongan hadis tersebut adalah sebagai berikut:


Karena itu, Rasulullah saw. kemudian memegang Fadhl seraya memalingkan wajahnya dari sisi yang lain.


Riwayat tersebut juga diceritakan oleh ‘Alî ibn Abî Thâlib dengan ada tambahan redaksi:


Ibn ‘Abbas lalu berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, mengapa engkau menundukkan leher keponakanmu ini?” Rasulullah saw. menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dengan seorang pemudi yang tidak aman dari gangguan setan.”


Atas dasar ini, jelaslah bahwa, Rasulullah saw. memalingkan wajah Fadhl dari Khuts‘amiyah. Sebaliknya, beliau tidak memerintahkan Khuts‘amiyah agar menutupi wajahnya, padahal wajahnya jelas terlihat. Seandainya fitnah itu diharamkan atas orang yang membuat fitnah (sebagaimana Khuts‘amiyah, pen), maka Rasulullah saw. pasti telah memerintahkan Khuts‘amiyah untuk menutupi wajahnya, karena jelas sekali pandangan Fadhl kepada wanita itu telah menimbulkan fitnah (keterpesonaan) pada dirinya. Namun demikian, beliau tidak menyuruh Khuts‘miyah untuk menutupi wajahnya. Beliau malah memalingkan pandangan Fadhl. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, pengharaman tersebut ditujukan bagi orang yang melihat (pria), bukan bagi yang dilihat (wanita). Atas dasar ini pula, pengharaman adanya fitnah pada diri seseorang karena memandang wanita sebetulnya tidak dinyatakan dalam satu nash pun yang menetapkan adanya keharaman atas wanita yang menimbulkan fitnah. Bahkan, nash yang ada justru menunjukkan tidak adanya keharaman fitnah tersebut atas wanita, sehingga—dengan sendirinya—apa yang dapat menimbulkan fitnah itu tidaklah haram, meskipun hal itu bersifat pasti. Meskipun demikian, Daulah Khilafah boleh saja menerapkan suatu kebijakan—sebagai upaya praktis dalam rangka mengurus umat—untuk menjauhkan seseorang dari pandangan yang dapat menimbulkan fitnah. Upaya ini dilakukan untuk menghindarkan sumber fitnah di tengah-tengah masyarakat, jika memang fitnah telah menyebar secara merata pada setiap individu yang ada. Kebijakan semacam ini pernah diterapkan oleh Khalifah ‘Umar ibn al-Khaththâb terhadap Nashr ibn Hajjâj. Ia dipindahkan ke wilayah Bashrah karena banyak wanita terpikat oleh ketampanannya. Fenomena semacam ini bisa terjadi secara umum, baik pada pria maupun wanita.

Dengan demikian, pendapat bahwa wanita haram menampakkan wajahnya karena khawatir dapat memunculkan fitnah tidak bisa diterima, meskipun munculnya fitnah tersebut sudah diprediksikan pasti terjadi. Walhasil, kaidah yang berbunyi, al-Washîlah ilâ al-harâm muharramah (Sarana yang dapat mengantarkan pada suatu keharaman adalah haram pula), tidak relevan dalam masalah ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse