Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

Kedudukan Wanita dan Pria di Hadapan Syariat

Selasa, 16 Maret 2010

Islam datang dengan membawa taklif syariat yang dibebankan kepada kaum wanita dan kaum pria. Hukum-hukum syariat telah menerangkan pemecahan terhadap aktivitas keduanya. Kenyataan semacam ini tidak perlu melahirkan pandangan atau perhatian apa pun yang mempersoalkan ihwal kesetaraan ataupun keunggulan satu sama lain di antara keduanya. Islam hanya memandang bahwa di antara keduanya terdapat suatu problem yang memerlukan pemecahan. Oleh karena itu, Islam memecahkan persoalan yang terjadi di antara keduanya tanpa memperhatikan lagi apakah problem tersebut merupakan problem wanita atau problem pria. Sebab, pemecahan yang diupayakan ditujukan bagi aktivitas manusia atau problem yang terjadi, bukan semata-mata demi kepentingan pria atau wanita itu sendiri. Oleh karena itu pula, persoalan tentang ada atau tidak adanya aspek kesetaraan (gender) antara pria dan wanita bukan termasuk topik pembahasan dalam masalah ini. Istilah semacam itu tidak pernah ditemukan dalam wacana syariat Islam. Yang ada dalam Islam hanyalah hukum syariat tentang peristiwa yang terjadi, yang dihadapi oleh manusia, baik pria ataupun wanita.

Berdasarkan hal ini, ihwal kesetaran (gender) antara pria dan wanita bukanlah problem yang harus didiskusikan, dan bukan pula persoalan yang menjadi topik pembahasan dalam wacana sistem interaksi atau pergaulan pria dan wanita (an-nizhâm al-ijtimâ‘î). Sebab, kedudukan seorang wanita yang sama dengan kedudukan seorang pria atau sebaliknya, bukanlah termasuk perkara yang memiliki pengaruh terhadap kehidupan sosial yang perlu mendapatkan perhatian. Persoalan semacam ini tidak
mungkin terjadi di tengah-tengah kehidupan Islam. Istilah semacam ini pun hanya muncul dan dikenal di dunia Barat, tidak pernah dilontarkan oleh seorang Muslim pun, kecuali yang mengekor kepada Barat, yang memang telah merenggut hak-hak asasi kaum wanita selaku manusia. Karena itulah, wanita-wanita Barat menuntut dikembalikannya hak-hak tersebut sekaligus menjadikan tuntutan tersebut sebagai wacana kesetaraan (gender) sebagai cara untuk mendapatkan hak-hak mereka.

Lain halnya dengan Islam. Islam tidak mengenal istilah-istilah semacam ini. Sebab, Islam telah menegakkan sistem sosialnya di atas landasan yang kokoh. Sistem ini dapat menjamin keutuhan dan ketinggian komunitas yang ada dalam masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Sistem ini mampu memberikan kepada kaum wanita dan kaum pria kebahagiaan yang hakiki sesuai dengan keutamaan manusia yang telah dimuliakan oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:


Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam. (QS al-Isrâ’ [17]: 70)


Islam telah menetapkan kepada kaum wanita hak-haknya sebagaimana telah menetapkan pula atas mereka kewajiban-kewajibannya. Islam pun telah menetapkan bagi pria hak-haknya sebagaimana telah menetapkan pula atas mereka kewajiban-kewajibannya. Adanya penetapan berbagai hak dan kewajiban ini tidak lain terkait dengan kemaslahatan keduanya dalam pandangan Allah sebagai asy-Syâri‘ (Pembuat Hukum). Pemecahan atas berbagai aktivitas yang mereka lakukan didasarkan pada anggapan bahwa ia merupakan perbuatan tertentu yang dilakukan oleh seorang manusia tertentu. Pemecahan yang diberikan akan sama jika memang tabiat keduanya selaku manusia mengharuskan adanya pemecahan yang sama. Sebaliknya, pemecahan yang diberikan kepada keduanya akan berbeda jika memang watak salah satu dari keduanya menuntut adanya pemecahan yang berlainan. Namun demikian, adanya kesamaan di dalam sejumlah hak dan kewajiban di antara keduanya bukan didasarkan pada ada atau tidak adanya aspek kesetaraan. Demikian pula dengan adanya perbedaaan dalam sejumlah hak dan kewajiban di antara keduanya; tidak dilihat dari ada atau tidak adanya unsur kesetaraan. Sebab, Islam hanya memandang komunitas masyarakat, baik pria atau wanita, dengan menganggapnya sebagai suatu komunitas yang bernama manusia, lain tidak. Dalam konteks ini, salah satu watak (karakter) dari suatu komunitas masyarakat manusia adalah adanya kaum pria dan kaum wanita. Allah Swt. berfirman:


Wahai manusia, hendaklah kalian bertakwa kepada Tuhan Yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa. Dari jiwa itu, Allah lalu menciptakan istrinya, dan dari keduanya, Allah kemudian mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang amat banyak. (QS an-Nisâ’ [4]: 1)


Atas dasar pandangan inilah, Allah Swt. memberikan taklif syariat. Atas dasar ini pula, Allah Swt. memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada kaum pria maupun kaum wanita. Berbagai hak dan kewajiban ini merupakan hak dan kewajiban yang bersifat manusiawi (insâniyyah). Artinya, berbagai taklif yang ada adalah terkait dengan kedudukan mereka sebagai manusia. Dalam realitas semacam ini akan ditemukan adanya kesamaan di antara berbagai hak dan kewajiban atau adanya kesatuan taklif. Dengan demikian, berbagai hak dan kewajiban setiap pria maupun wanita adalah sama, tidak berbeda. Taklif bagi pria ataupun wanita juga sama. Dari sini, kita akan menemukan bahwa, Islam tidak melakukan diskriminasi terhadap pria ataupun wanita dalam menyeru manusia ke jalan keimanan, dan tidak pula melakukan pembedaan terhadap pria maupun wanita dalam membebankan taklif berupa keharusan mengemban dakwah Islam. Islam telah menjadikan taklif yang berhubungan dengan aspek ibadah seperti shalat, shaum, haji, dan zakat sebagai beban yang sama-sama harus dipikul, baik oleh pria maupun wanita. Islam telah menjadikan sifat tenang yang diperintahkan oleh hukum-hukum syariat sebagai akhlak yang sama-sama harus dimiliki oleh pria maupun wanita. Islam telah menjadikan hukum-hukum muamalat yang berhubungan dengan persoalan jual-beli, perburuhan (ijârah), perwakilan (wakâlah), pertanggungjawaban (kafâlah), dan semacamnya sebagai satu taklif yang dibebankan kepada pria maupun wanita. Islam telah menerapkan berbagai sanksi (‘uqûbât)—berupa hudûd, jinâyât, dan ta‘zîr—atas tindakan melanggar hukum-hukum Allah terhadap pria maupun wanita; tanpa ada perlakuan diskriminatif di antara keduanya, karena keduanya sama-sama dipandang sebagai manusia. Islam pun telah mewajibkan aktivitas belajar-mengajar atas kaum Muslim, tanpa membedakan lagi gender (jenis kelamin), apakah laki-laki atau perempuan.

Dengan demikian, Allah Swt. telah mensyariatkan seperangkat hukum yang berkaitan dengan manusia—dalam kedudukan atau predikatnya sebagai manusia—sebagai satu ketentuan yang sama-sama harus dijalankan oleh kaum pria maupun kaum wanita. Dari sini berarti, taklif serta berbagai hak dan kewajiban pria dan wanita adalah sama. Sebab, ayat-ayat maupun hadis-hadis yang menunjuk hukum-hukum dalam persoalan-persoalan seperti di atas bersifat general (umum) sekaligus integral (mencakup), yakni berlaku bagi manusia—pria dan wanita—dalam kedudukan atau predikatnya sebagai manusia; juga berlaku bagi kaum Mukmin—pria dan wanita—dalam kedudukan atau predikatnya sebagai orang beriman. Oleh karena itu, banyak ayat yang menetapkan bahwa taklif hukum ditujukan bagi pria maupun wanita. Allah Swt., misalnya, berfirman sebagai berikut:


Sesungguhnya kaum Muslim dan Muslimat, kaum Mukmin dan Mukminat, pria dan wanita yang senantiasa berlaku taat, pria dan wanita yang selalu berlaku benar, pria dan wanita yang biasa berlaku sabar, pria dan wanita yang senantiasa takut (kepada Allah), pria dan wanita yang gemar bersedekah, pria dan wanita yang suka berpuasa, pria dan wanita yang selalu memelihara kemaluan (kehormatan)-nya, serta pria dan wanita yang banyak menyebut asma Allah, telah Allah sediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS al-Ahzâb [33]: 35)


Tidaklah bagi seorang Mukmin maupun Mukminat—jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan—ada pilihan dalam urusan mereka. (QS al-Ahzâb [33]: 36)


Siapa saja yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki ataupun perempuan, sementara ia seorang Mukmin, sesungguhnya Kami akan memberikan kepada mereka kehidupan yang baik, dan Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada amal yang telah mereka kerjakan. (QS an-Nahl [16]: 97)


Siapa saja yang mengerjakan amal salih, baik laki-laki ataupun perempuan, sementara ia seorang Mukmin, mereka pasti akan masuk ke dalam surga, dan mereka tidak akan dianiaya sedikit pun. (QS an-Nisâ’ [4]: 124)


Tuhan mereka kemudian memperkenankan permohonan mereka seraya berfirman, “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal salah seorang di antara kalian, baik laki-laki ataupun perempuan, satu sama lain. (QS Ali ‘Imrân [3]: 195)


Bagi kaum pria ada bagian dari harta yang ditinggalkan oleh kedua orangtua dan karib-kerabatnya; bagi kaum wanita pun ada bagian dari harta yang ditinggalkan oleh kedua orangtua dan karib-kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak, sesuai dengan bagian yang telah ditetapkan. (QS an-Nisâ’ [4]: 7)


Bagi kaum pria ada bagian dari apa yang diusahakannya. Bagi kaum wanita pun ada bagian dari apa yang diusahakannya. (QS an-Nisâ’ [4]: 32)


Demikianlah, kita menyaksikan bahwa seluruh hukum syariat terkait dengan manusia dalam kedudukan atau predikatnya sebagai manusia, apa pun hukumnya serta apa pun jenis dan macamnya. Allah Swt. telah menjelaskan bahwa hukum syariat tersebut pada dasarnya satu dan berlaku baik bagi pria maupun wanita. Namun demikian, realitas semacam ini bukan merupakan legitimasi atas adanya kesetaraan (gender)—sebagaimana yang dimaksudkan dalam terminologi Barat, pen—antara pria dan wanita. Yang dimaksud tidak lain bahwa hukum-hukum tersebut disyariatkan oleh Allah Swt. kepada manusia, sama saja apakah ia pria atau wanita, karena keduanya sama-sama manusia. Hukum-hukum tersebut hakikatnya merupakan seruan Allah Swt. yang terkait dengan amal-perbuatan manusia.

Berbagai hak dan kewajiban serta taklif syariat terkait dengan watak wanita dengan predikatnya sebagai wanita, kedudukannya di dalam suatu komunitas (jamaah), atau keberadaannya di dalam masyarakat. Berbagai hak dan kewajiban serta taklif syariat juga terkait dengan pria dengan predikatnya sebagai pria, kedudukannya di dalam suatu komunitas (jamaah), dan keberadaannya di dalam masyarakat. Dalam realitas semacam ini, berbagai hak dan kewajiban serta taklif syariat menjadi banyak ragamnya di antara pria dan wanita. Sebab, syariat Islam tidak hanya merupakan solusi bagi manusia secara umum, tetapi juga merupakan solusi bagi manusia ditinjau dari perspektif gender (jenis kelamin)-nya. Sebab, dalam perspektif gender, manusia memang memiliki watak (karakteristik) kemanusiaan yang berlainan satu sama lain. Oleh karena itu, solusi Islam tentu ditujukan pula secara khusus bagi manusia dengan gender tertentu (laki-laki atau perempuan), bukan semata-mata ditujukan bagi manusia secara umum. Dalam konteks ini, persaksian dua orang wanita, misalnya, sebanding dengan kesaksian seorang pria dalam aktivitas-aktivitas yang terjadi di dalam komunitas (jamaah) pria maupun dalam kehidupan sosial secara umum; seperti kesaksian mereka dalam kaitannya dengan sejumlah hak tertentu (huqûq) dan muamalat (mu‘âmalah). Allah Swt. berfirman:


Persaksikanlah oleh dua orang saksi pria di antara kalian. Jika tidak ada dua orang saksi pria, boleh dengan seorang pria dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kalian ridhai, agar jika salah seorang dari wanita itu lupa, yang lainnya akan segera mengingatkannya. (QS al-Baqarah [2]: 282)


Kesaksian satu orang wanita hanya dapat diterima di dalam perkara-perkara yang terjadi di tengah-tengah komunitas (jamaah) wanita semata, yang di dalamnya tidak bercampur dengan kaum pria, seperti perkara pidana (jinâyah) yang terjadi di kamar mandi wanita, misalnya. Kesaksian seorang wanita dipandang cukup dalam perkara-perkara yang hanya disaksikan para wanita atau terjadi di tengah-tengah kaum wanita. Contoh lain dalam konteks ini adalah dalam persoalan yang menyangkut kegadisan (keperawanan), janda, atau persusuan. Sebab, Rasulullah saw. sendiri menerima kesaksian seorang wanita dalam masalah persusuan. Selain itu, Islam pun telah menetapkan hak wanita dalam konteks pembagian harta warisan separuh dari hak yang didapatkan pria dalam beberapa keadaan. Allah Swt. berfirman:


Allah mensyariatkan bagi kalian tentang pembagian harta warisan untuk anak-anak kalian, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan dua bagian seorang anak perempuan. (QS an-Nisâ [4]: 11)


Hal ini terjadi dalam ‘ashâbah seperti anak laki-laki, saudara-saudara sekandung, dan saudara-saudara sebapak. Sebab, kedudukan wanita dalam keadaan semacam ini, pemenuhan nafkahnya menjadi tanggungan saudara laki-lakinya, meskipun saudaranya tersebut fakir atau wanita tersebut mampu bekerja. Namun demikian, Allah Swt. telah menetapkan bagian wanita sama dengan bagian pria dalam sebagian keadaan tertentu. Allah Swt. berfirman:


Jika seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun perempuan, tidak meninggalkan ayah maupun anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari keduanya mendapat seperenam bagian harta. Akan tetapi, jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam sepertiga bagian harta itu. (QS an-Nisâ’ [4]: 12)


Hal ini terjadi pada saudara seibu, karena yang dinamakan kalâlah adalah orang yang terputus (maqthû‘); tidak memiliki akar ataupun cabang keturunan; tidak pula memiliki saudara, baik saudara sekandung ataupun saudara sebapak. Dengan demikian, jelas bahwa, yang dimaksud adalah saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu. Dalam situasi seperti ini, pemenuhan nafkah seorang wanita bukanlah tanggungan saudaranya yang seibu. Sebab, meskipun ia termasuk mahram-nya, tetapi ia tidak termasuk orang yang wajib memberikan nafkah kepadanya.

Islam juga telah memerintahkan agar wanita mengenakan pakaian yang berbeda dengan pakaian pria. Demikian pula sebaliknya, pakaian pria berlainan dengan pakaian wanita. Islam telah melarang satu sama lain untuk saling menyerupai (tasyabbuh) dalam berpakaian, karena adanya pengkhususan atau pembedaan satu dengan lainnya, seperti menghiasi anggota bagian tubuh tertentu. Dalam hal ini, Abû Hurayrah pernah menyatakan demikian:


Rasulullah saw. telah melaknat seorang pria yang berpakaian menyerupai pakaian wanita dan melaknat seorang wanita yang berpakaian menyerupai pakaian pria.


Ibn Abî Mulaykah juga menyatakan demikian:


Pernah dikatakan kepada ‘Aisyah r.a. demikian, “Sesungguhnya ada seorang wanita yang mengenakan terompah.” ‘Aisyah berkata, “Rasulullah telah melaknat wanita yang menyerupai pria (rajulah).”


‘Abdullah ibn ‘Amr juga bertutur:


Saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Bukan termasuk golongan kami wanita yang menyerupai pria.”


Ibn ‘Abbas juga menuturkan hal yang sama:


Rasulullah saw. telah melaknat pria yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai pria.


Ibn ‘Abbas juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda demikian:


Keluarkanlah oleh kalian para wanita yang menyerupai pria dari rumah-rumah kalian.


Ibn ‘Abbas melanjutkan:


Rasulullah lantas mengeluarkan seseorang, dan ‘Umar pun mengeluarkan seseorang.


Dalam redaksi lain disebutkan demikian:


Rasulullah saw. telah melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.


Islam juga telah menetapkan bahwa mahar (mas kawin) adalah kewajiban seorang pria (suami) terhadap wanita (istri), sebaliknya ia merupakan hak bagi seorang wanita (istri). Meskipun demikian, keduanya boleh memanfaatkannya secara bersama-sama. Allah Swt. berfirman:


Berikanlah kepada para wanita (yang kalian nikahi) mahar (mas kawin)-nya sebagai pemberian yang disertai dengan kerelaan. Kemudian, jika mereka memberikan sebagiannya kepada kalian dengan senang hati, kalian boleh memakannya (sebagai makanan) yang sedap dan bermanfaat. (QS an-Nisâ’ [4]: 4)


Nihlah maknanya adalah pemberian, karena mahar memang bermakna pemberian, dan bukan sebagai ‘pengganti harga’ kemaluan wanita sebagaimana prasangka sebagian orang. Rasulullah saw. telah menjelaskan tentang mahar kepada pria yang hendak menikah dengan sabdanya:


Apakah engkau memiliki sesuatu yang hendak diberikan kepadanya sebagai mahar?


Orang yang ditanya kemudian mengusahakannya, tetapi ia tidak menemukan apa pun. Rasulullah saw. lantas bersabda:


Usahakanlah, walaupun hanya sekadar sebuah cincin besi.


Akan tetapi, orang tersebut tetap tidak berhasil mendapatkannya. Oleh karena itu, dia kemudian menikah dengan bacaan (hafalan) al-Quran yang ada padanya.

Allah Swt. telah menetapkan usaha untuk mencari nafkah sebagai kewajiban bagi seorang pria. Sebaliknya, mencari nafkah tidak ditetapkan sebagai kewajiban bagi wanita, tetapi hanya sekadar mubah (boleh) saja—jika dia menghendaki, dia boleh melakukannya; jika dia tidak menghendakinya, dia boleh untuk tidak melakukannya. Allah Swt. berfirman:


Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah sesuai dengan kemampuannya. (QS ath-Thalaq [65]: 7)


Dalam ayat di atas, yang dianggap mampu tidak disebutkan kecuali untuk pria. Allah Swt. juga berfirman:


Kewajiban ayah adalah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS al-Baqarah [2]: 23)


Artinya, Allah telah menetapkan bahwa mencari nafkah adalah kewajiban bagi pria.

Islam telah menetapkan bahwa urusan kepemimpinan (qawwâmah)—di dalam rumah tangga, pen—adalah diperuntukkan bagi pria (baca: suami) atas wanita (baca: istri). Artinya, para suami memiliki wewenang untuk mengendalikan kepemimpinan serta mengeluarkan perintah dan larangan di dalam kehidupan rumah tangga. Allah Swt. berfirman:


Kaum pria (para suami) adalah pemimpin kaum wanita (para istri), karena Allah telah memberikan kelebihan kepada sebagian mereka (kaum pria) atas sebagian yang lain (kaum wanita), dan karena mereka telah memberikan nafkah dari sebagian harta mereka. Oleh karena itu, wanita-wanita salih adalah mereka yang senantiasa berlaku taat kepada Allah dan memelihara diri pada saat suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara mereka. Sementara itu, terhadap para wanita yang kalian khawatirkan nusyûz (penentangan)-nya, hendaklah kalian menasihati mereka, memisahkan mereka di tempat tidur mereka, dan memukul mereka. Akan tetapi, jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan (untuk menyusahkan mereka). Sesungguhnya Allah Mahatinggi dan Mahabesar. (QS an-Nisâ’ [4]: 3)


Dengan demikian, Allah Swt. telah menjelaskan bahwa kepemimpinan dalam rumah tangga merupakan kewenangan pria, karena Dia telah menetapkan berbagai kelebihan kepada mereka dalam kaitannya dengan sejumlah taklif, seperti: kekuasaan dalam pemerintahan, imam dalam shalat, wali dalam pernikahan, dan hak menjatuhkan talak dalam perceraian. Allah Swt. berfirman, sebagaimana dikemukakan dalam ayat di atas, demikian:


….karena Allah telah memberikan kelebihan kepada sebagian mereka atas sebagian yang lan. (QS an-Nisâ’ [4]: 3)


Ihwal kepemimpinan ini juga ditunjukkan oleh adanya taklif atas pundak pria (para suami) untuk memberikan mahar dan nafkah, sebagaimana firman-Nya:


….karena mereka telah memberikan nafkah dari harta-harta mereka. (QS an-Nisâ’ [4]: 3)


Lebih dari itu, Allah Swt. juga telah menetapkan adanya hak bagi seorang suami untuk mendidik istrinya dengan cara memberi nasihat yang baik, memisahkan tempat tidurnya, atau memukulnya dengan pukulan yang tidak sampai menyakitkan (melukai); sesuai dengan kadar dosa (pelanggaran) yang dilakukannya. Sikap semacam ini dilakukan jika memang istri melakukan kedurhakaan, kemaksiatan, atau penentangan terhadap suami.

Sebaliknya, Allah Swt. telah menetapkan bahwa seorang istri memiliki hak untuk menyusui anak, baik anak lelaki ataupun anak perempuan, sedangkan pria terlarang untuk itu. Allah Swt. juga telah menetapkan bagi wanita hak untuk memberikan nafkah secara langsung kepada anaknya jika ayah mereka tidak pernah mengunjungi mereka atau ayah mereka kikir; sedangkan pria, dalam kondisi semacam ini, terlarang untuk melakukannya secara langsung. Dalam konteks ini, Hindun pernah mendatangi Rasulullah saw. Ia lantas berkata, ‘Ya Rasulullah, Abû Sufyân sesungguhnya pria yang sangat kikir. Ia tidak pernah memberikan nafkah yang cukup bagi diriku dan anakku’.

Rasulullah saw. kemudian menjawab sebagai berikut:


Ambil saja olehmu secara baik-baik hartanya dengan kadar yang dipandang cukup untuk dirimu dan anakmu.


Dalam kondisi semacam ini, seorang qâdhî (hakim) akan memaksa sang suami untuk menyerahkan nafkah kepada istrinya agar dibelanjakannya secara langsung, dan akan menolak pemberian infak kepada istrinya secara langsung.

Demikianlah, Islam datang dengan membawa sejumlah hukum yang beraneka-ragam; sebagiannya khusus ditujukan untuk pria, dan sebagiannya lagi ditujukan khusus bagi wanita, seraya membedakan proporsi di antara keduanya. Allah Swt. telah memerintahkan kepada keduanya untuk sama-sama bersikap ridha terhadap adanya pengkhususan hukum-hukum tersebut. Sebaliknya, Allah Swt. telah melarang masing-masing pihak untuk bersikap saling iri dan dengki serta untuk berangan-angan akan apa yang telah Allah karuniakan atas yang lain. Allah Swt. berfirman:


Janganlah kalian berangan-angan tentang apa yang telah Allah lebihkan kepada kalian atas yang lain. Bagi kaum pria ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi kaum wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. (QS an-Nisâ’ [4]: 32)


Ayat di atas merupakan pengkhususan (takhshîsh) di dalam ketetapan hukum, bukan upaya penafian atas adanya kesetaraan. Sebab, ayat di atas merupakan solusi atas aktivitas wanita dalam kedudukannya sebagai wanita dan pemecahan bagi aktivitas pria dalam kedudukannya sebagai pria. Semuanya telah diberikan solusinya berdasarkan seruan Allah Swt. yang berhubungan dengan aktivitas (perbuatan) para hamba-Nya. Jika kita mengkaji seluruh realitasnya, akan tampak jelas bahwa hukum-hukum tersebut merupakan solusi atas persoalan yang dihadapi oleh manusia dalam perspektif gender, sehingga tentu berbeda dengan pemecahan atas persoalan yang dihadapi oleh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia (tanpa melibatkan aspek gender, pen). Di dalamnya tidak disinggung sama sekali pandangan tentang ada atau tidak adanya aspek kesetaraan (gender), karena hal itu memang di luar konteks pembahasan. Yang ada hanyalah pandangan tentang solusi tertentu atas problem tertentu yang ditujukan bagi manusia jenis tertentu (pria atau wanita).

Itulah realitas sebenarnya dari adanya keragaman hukum yang berlaku di antara pria dan wanita dalam sejumlah hukum yang berbeda-beda seperti yang telah disebutkan. Dalam kondisi apa pun, hukum-hukum tersebut harus dipandang sebagai solusi atas persoalan yang dihadapi manusia secara umum; baik solusi yang sama yang berlaku bagi pria dan wanita, seperti menuntut ilmu; ataupun solusi yang berbeda bagi keduanya, seperti adanya keragaman dan perbedaan aurat di antara keduanya. Adanya perbedaan tersebut tidak boleh dipandang sebagai bentuk diskriminasi seorang manusia atas manusia yang lain.

Dalam pada itu, keterangan yang terdapat dalam atsar bahwa para wanita memiliki kekurangan dalam akal dan agama, hal itu hanya merupakan penisbatan terhadap akal dan agama, tidak bermakna bahwa mereka memiliki kelemahan akal dan kelemahan agama. Sebab, secara fitrah, potensi akal pada pria ataupun wanita adalah sama. Demikian pula agama bagi masing-masing pihak dilihat dari perspektif keimanan dan amal. ‘Kekurangan atau kelemahan akal’ yang dimaksud oleh atsar tersebut adalah kekurangan atau kelemahan wanita dalam hal kesaksian, yakni bahwa kesaksian dua wanita hanya sebanding dengan kesaksian seorang pria. Sementara itu, ‘kekurangan atau kelemahan agama’, maksudnya adalah kekurangan waktu-waktu shalat pada wanita, yakni pada saat mereka mengalami haid setiap bulan atau ketika mereka sedang nifas sehabis melahirkan, dan tidak adanya puasa bagi mereka di bulan Ramadhan pada saat-saat tersebut.

Demikianlah topik pembahasan di seputar hak-hak dan kewajiban dalam Islam atau taklif syariat yang telah ditetapkan oleh Allah Swt., baik yang berlaku atas manusia secara umum dalam kedudukannya sebagai manusia, ataupun berlaku bagi jenis manusia tertentu karena adanya perbedaan gender (jenis kelamin): laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, dalam perspektif gender, manusia tetap dipandang memiliki sifat kemanusiaan dan karakteristik yang sama di hadapan syariat. Adanya perbedaan perlakuan di antara pria dan wanita tidak dimaksudkan sebagai bentuk diskriminasi salah satunya atas yang lain. Dalam hal ini, syariat Islam tidak menaruh perhatian sedikit pun atas persoalan ada atau tidak adanya aspek kesetaraan (gender) di antara keduanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse