Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

MELIHAT WANITA

Senin, 15 Maret 2010

Siapa saja yang ingin menikahi seorang wanita, ia boleh melihat wanita tersebut dengan tidak berkhalwat dengannya. Jâbir telah menuturkan riwayat sebagai berikut:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ. قَالَ: فَخَطَبْتُ إِمْرَأَةً فَكُنْتُ أتخبأ لَهَا حَتَّى رَأَيْتُ مِنْهَا مَا دَعَانِيْ إِلَى نِكَاحِهَا فَتَزَوَّجْتُهَا.

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian ingin melamar seorang wanita, sementara ia mampu untuk melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya, hendaklah ia melakukannya.” Jâbir kemudian berkata, “Aku lantas melamar seorang wanita yang sebelumnya secara sembunyi-sembunyi aku lihat hingga aku memandang apa yang mendorongku untuk menikahinya.”


Seorang pria boleh melihat wanita yang hendak dinikahinya, baik dengan seizinnya ataupun tidak, karena Nabi saw. sendiri telah memerintahkan kepada kita untuk melihat wanita yang hendak dinikahi. Di dalam hadis yang dituturkan Jâbir di atas terdapat lafal yang maknanya, ‘yang sebelumnya sering aku lihat’. Namun demikian, ia tidak boleh berkhalwat dengan wanita itu, karena Rasulullah saw. juga telah bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يَخْلُوَنَّ بِإِمْرَأَةٍ لَيْسَ مَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ مِنْهَا فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

Siapa saja yang beriman kepada Allah Swt. dan hari Akhir, janganlah sekali-kali ia berkhalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya, karena yang ketiga di antara keduanya adalah setan.


Hadis tentang larangan berkhalwat di atas bersifat umum, tidak ada pengecualian, termasuk bagi pelamar. Ia hanya boleh
melihat saja. Ia boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan wanita yang hendak dilamarnya ataupun selain kedua bagian anggota tubuhnya. Alasannya, sekadar kebolehan melihat wajah dan kedua telapak tangan wanita, hal itu memang bersifat umum, yakni berlaku baik bagi pelamar ataupun bukan. Artinya, jika seorang pelamar hanya boleh melihat kedua bagian anggota tubuh wanita itu saja, maka pengecualian bagi dirinya tidak berarti lagi. Dengan demikian, seorang pelamar pada dasarnya boleh melihat bagian-bagian anggota tubuh wanita yang hendak dilamarnya, di samping wajah dan kedua telapak tangannya. Sebab, Rasulullah saw. sendiri bersabda:

أَنْ يَنْطُرَ إِلَيْهَا

Hendaklah ia melihatnya.


Bentuk kalimat di atas bermakna umum. Artinya, hal itu mencakup kebolehan melihat wajah, kedua telapak tangan, ataupun bagian tubuh wanita lainnya yang lazim untuk diketahui, semata-mata untuk tujuan nikah. Dengan melihatnya, seorang pria yang berhasrat untuk menikah akan terdorong untuk melamarnya.

Selain alasan di atas, Allah Swt. telah memerintahkan kaum Mukmin untuk menundukkan pandangan mereka. Menundukkan pandangan berarti menafikan adanya unsur kesengajaan dalam melihat lawan jenis, baik dari pihak pria kepada wanita ataupun sebaliknya. Akan tetapi kemudian, terdapat hadis Nabi saw., sebagaimana yang dituturkan oleh Jâbir, yang justru membolehkan seorang pelamar melihat wanita secara sengaja. Artinya, hadis ini merupakan pengecualian terhadap perintah untuk menundukkan pandangan. Dengan kata lain, kaum Mukmin diwajibkan untuk menundukkan pandangan mereka terhadap lawan jenisnya, kecuali bagi orang yang hendak melamar seorang wanita; mereka boleh untuk tidak menundukkan pandangannya terhadap wanita yang hendak dilamarnya.

Sementara itu, suami-istri, masing-masing boleh melihat seluruh bagian tubuh pasangannya. Kebolehan ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakîm. Hadis tersebut pernah dituturkan oleh bapaknya yang bersumber dari kakeknya. Dalam hadis tersebut, kakeknya menyatakan demikian:

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ عَوْرَتُنَا مَا نَأْتِيَ مِنْهَا وَمَا نَذَرُ؟ فَقَالَ لِيْ: إِِحْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلاَّ مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَ.

Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah saw., manakah bagian aurat kami yang harus kami tutupi dan mana yang boleh kami biarkan?” Rasulullah saw. lalu bersabda kepadaku, “Jagalah auratmu, kecuali terhadap istrimu atau hamba sahayamu.”


Seorang pria boleh melihat wanita yang termasuk mahram-nya, baik Muslimah ataupun bukan, lebih dari sekadar wajah dan kedua telapak tangannya. Ia boleh melihat bagian-bagian tubuh wanita yang menjadi tempat melekatnya perhiasannya, tanpa dibatasi bagian-bagian tubuh tertentu. Kebolehan ini, secara mutlak, ditetapkan oleh nash. Allah Swt. berfirman:


Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak pada dirinya. Hendaklah mereka pun menutupkan kain kerudung ke seputar dadanya. Janganlah mereka menampakkan perhiasannya selain kepada suami mereka, ayah mereka, mertua laki-laki mereka, anak-anak kandung mereka, anak-anak tiri mereka, saudara laki-laki mereka, keponakan-keponakan mereka (dari saudara laki-laki mereka), saudara perempuan mereka, keponakan-keponakan mereka (dari saudara perempuan mereka), wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki, pelayan laki-laki yang tidak lagi memiliki hasrat seksual, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. (QS an-Nûr [24]: 31)


Orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas boleh melihat bagian-bagian tubuh wanita mulai dari rambut, leher, pergelangan tangan, pergelangan kaki, dan bagian-bagian tubuh lain yang biasa menjadi tempat melekatkan perhiasan mereka. Sebab, dalam ayat di atas, Allah Swt. menggunakan kata, ‘walâ yubdîna zînatahunna’, yakni tempat-tempat melekatkan perhiasan mereka. Artinya, wanita tidak boleh menampakkannya, kecuali terhadap orang-orang yang telah disebutkan dalam ayat tersebut. Mereka inilah yang boleh melihat apa yang tampak pada wanita ketika mereka memakai pakaian sehari-hari, yaitu ketika mereka membuka baju luarnya. Imam asy-Syâfi‘î, dalam Musnad-nya, menuturkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Zaynab binti Abî Salamah sebagai berikut:

أَنَّهَا إِرْتَضَعَتْ مِنْ أَسْمَاءِ إِمْرَأَةُ الزُّبَيْرِ، قَالَتْ: فَكُنْتَ أَرَاهُ أَبَّا وَكاَنَ يَدْخُلُ عَلَيَّ وَأَنْ أُمَشِّطَ رَأْسِيْ فَيَأْخُذُ بَعُضَ قُرُوْنَ رَأْسِيْ وَيَقُوْلُ: أَقْبِلِيْ عَلَيَّ.

Zaynab pernah disusui oleh Asma, istri Zubayr. Ia berkata, “Karena itu, aku menganggapnya (Zubayr) sebagai bapak. Ia pernah masuk, sementara aku sedang menyisir rambutku. Ia bahkan kemudian memegang sebagian ikatan rambutku. Ia lantas berkata, “Menghadaplah kepadaku.”


Diriwayatkan pula bahwa Abû Sufyân pernah memasuki rumah anaknya, yaitu Ummu Habîbah, istri Rasulullah saw. Ketika itu, Abû Sufyân merasa perlu untuk datang ke Madinah dalam rangka memperbaharui perjanjian Hudaibiyah. Serta-merta Ummu Habîbah menggulung tikar Rasulullah saw. agar tidak diduduki oleh Abû Sufyân. Saat itu, Ummu Habîbah tidak berhijab. Ummu Habîbah menceritakan semua itu kepada Rasulullah saw. Beliau ternyata menyetujuinya tanpa memerintah istrinya untuk memakai hijab. Sebab, meskipun Abû Sufyân seorang musyrik, tetapi ia adalah mahram-nya.

Sementara itu, selain mahram, pelamar, dan suami, seseorang boleh melihat jika memang ada keperluan untuk itu; baik pria melihat wanita atau sebaliknya. Ia boleh melihat bagian tubuh sebatas yang diperlukan saja serta tidak boleh melihat bagian-bagian tubuh yang lainnya selain wajah dan kedua telapak tangan. Orang yang terpaksa ada keperluan untuk melihat bagian tubuh wanita dan secara syar‘î memang dibolehkan adalah dokter, paramedis, pemeriksa, atau yang lainnya; yang memang terpaksa harus melihat bagian-bagian tubuh tersebut, baik termasuk aurat ataupun bukan. Ada riwayat sebagai berikut:

أَنَّ النَّبِيَّ r لَمَّا حَكَّمَ سَعْدًا فِيْ بَنِيْ قُرَيْظَةَ كاَنَ يَكْشِفُ عَنْ مُؤْتَزَرِهِمْ.

Nabi saw., ketika mengangkat Sa‘ad sebagai hakim untuk kalangan bani Qurayzhah, memerintahkan untuk menyingkap penutup tubuh mereka.


‘Utsmân ibn ‘Affân menuturkan bahwa, suatu kali, pernah dihadapkan kepada beliau seorang anak yang baru saja mencuri. Beliau lalu berkata, ‘Periksalah sarung yang melekat pada tubuhnya’.

Orang-orang mendapati pada anak itu belum tumbuh rambut (pada kemaluannya-pen). Oleh karena itu, beliau tidak memotong tangannya.

Apa yang dilakukan oleh ‘Utsmân ini dilihat dan didengar oleh para sahabat dan tidak seorang pun di antara mereka mengingkarinya.

Berbeda halnya dengan orang yang tidak memiliki keperluan apa pun, sementara ia bukan termasuk mahram tetapi tidak memiliki keinginan terhadap wanita. Ia boleh untuk melihat wajah dan kedua telapak tangan wanita, tetapi tetap diharamkan untuk melihat lebih dari itu.

‘Aisyah r.a. telah menuturkan riwayat bahwa Asma binti Abû Bakar pernah masuk ke ruangan wanita dengan berpakaian tipis, sehingga Rasulullah saw. pun berpaling seraya bersabda:

يَا أَسْمَاءَ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَّغَتْ المَحِيْضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا، وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيِهِ.

Asma, sesungguhnya perempuan itu, jika telah baligh, tidak pantas untuk ditampakkan dari tubuhnya kecuali ini dan ini—sambil menunjuk telapak tangan dan wajahnya.


Di dalam al-Quran, Allah Swt. sendiri telah mengecualikan wajah dan kedua telapak tangan ketika Dia melarang kaum wanita untuk menampakkan perhiasan yang merupakan bagian anggota tubuh mereka. Allah Swt. berfirman:


Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak pada dirinya. (QS an-Nûr [24]: 31)


Ibn ‘Abbas menafsirkan kalimat ‘yang biasa tampak pada dirinya’ sebagai wajah dan kedua telapak tangan. Dengan demikian, larangan terhadap kaum wanita untuk menampakkan perhiasannya adalah larangan untuk menampakkan auratnya. Larangan untuk menampakkan aurat wanita, secara pasti, menunjukkan pada larangan untuk melihat bagian tubuh wanita yang terlarang untuk ditampakkan. Adanya pengecualian atas apa yang biasa tampak pada diri wanita—dari keseluruhan bagian tubuhnya yang dilarang untuk ditampakkan—juga menunjukkan pada pengecualian atas larangan untuk melihatnya. Artinya, seseorang boleh melihat bagian-bagian tubuh wanita yang dikecualikan tadi. Dengan demikian, seorang pria asing boleh memandang wajah dan kedua telapak tangan wanita yang bukan mahram-nya dengan pandangan yang memungkinkan bagi dirinya untuk mengetahui si wanita tersebut dengan mata-kepalanya sendiri. Kebolehan ini bisa dalam rangka agar dia dapat menjadi saksi atas wanita tersebut jika diperlukan adanya kesaksian; bisa dalam rangka agar ia dapat kembali menemuinya tatkala melakukan aktivitas jual-beli atau ijârah (transaski kerja berdasarkan sistem penggajian); bisa pula dalam rangka agar ia dapat meyakini wanita tersebut manakala ia melakukan transaski uang-piutang, yakni memberi utang atau menunaikan pembayaran piutangnya, atau ada wanita lain yang menyerupainya; dan sebagainya. Sebaliknya, seorang wanita pun boleh melihat pria, kecuali auratnya, berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah tatkala ia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ r يَسْتُرُوْنِيْ بِرِدَائِهِ وَأَنَا أَنْظُرَ إِلَى الْحَبْشَةِ يَلْعَبُوْنِ فِيْ اْلمَسْجِدِ.

Rasulullah saw. menutupiku dengan kainnya, sedangkan waktu itu aku sedang melihat orang-orang Habsyah bermain pedang di Masjid.


Sementara itu, pada saat Rasulullah saw. selesai berkhutbah di hari Raya, dinyatakan demikian:

مَضَى إِلَى النِّسَاءِ فَذَكَّرَهُنَّ وَمَعَهُ بِلاَلٌ فَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ.

Beliau kemudian mendatangi kaum wanita. Beliau lantas mengingatkan mereka, sementara ketika itu beliau disertai Bilâl, dan memerintahkan mereka untuk bersedekah.


Hadis di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw. membolehkan kaum wanita untuk melihat pria. Dalam kaitannya dengan aktivitas memandang selain aurat, sesungguhnya pandangan ‘Aisyah r.a. terhadap orang-orang Habsyah ketika mereka bermain pedang menunjukkan bahwa, ‘Aisyah melihat seluruh apa yang tampak pada mereka, kecuali aurat mereka. Pandangan tersebut bersifat muthlâq (mutlak) dan tidak terdapat adanya taqyîd (pembatasan). Apalagi, Amr ibn Syu‘aib telah menuturkan riwayat dari bapaknya yang bersumber dari kakeknya. Kakeknya menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda sebagai berikut:

إِذَا زَوَّجَ أَحَدُكُمْ خَادِمَهُ عَبْدَهُ أَوْ أَجِيْرَهُ فَلاَ يَنْظُرُ إِلَى مَادُوْنَ السُّرَّةِ وَفَوْقَ رُكْبَةِ فَإِنَّهُ عَوْرَةٌ.

Jika ada di antara kalian yang menikahkan pembantu, baik seorang budak ataupun pegawainya, hendaklah ia tidak melihatnya kecuali selain bagian tubuh antara pusat dan di atas lututnya, karena bagian tersebut termasuk aurat.


Hadis di atas menunjukkan adanya kebolehan melihat bagian tubuh pria selain kedua bagian tersebut. Kebolehan memandang ini bersifat mutlak, baik bagi pria ataupun wanita.

Memang, ada sebuah hadis yang diriwayatkan dari ‘Ummu Salamah. Ia bertutur demikian:

كُنْتُ قَاعِدَةٌ عِنْدَ النَّبِيِّ r أَنَا وَحَفْصَةٌ فَاسْتَأْذَنَ إِبْنُ أُمِّ مَكْتُمْ، فَقَالَ النَّبِيُّ r إِحْتَجِبْنَ مِنْهُ. فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ ضَرِيْرٌ لاَ يُبْصِرُ. قَالَ: أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا لاَ تُبْصِرَانَهُ؟

Aku pernah duduk di samping Nabi saw. dan Hafshah, lalu datanglah Ibn Ummi Maktûm meminta izin. Kemudian Nabi saw. memerintahkan kami untuk mengenakan hijab. Aku bertanya kepada beliau, “Wahai Rasulullah, dia itu buta, tidak dapat melihat.” Beliau bersabda, “Apakah kalian berdua juga buta dan tidak melihatnya?”


Hadis di atas dikeluarkan oleh Imam Abû Dâwûd dan yang lainnya yang bersumber dari riwayat Nabhân. Tentang Nabhân, Imam an-Nasâ’î berkata, ‘Kami tidak mengetahui para perawi yang menuturkan riwayat dari Nabhân, kecuali Az-Zuhrî’.

Sedangkan Imam Ibn ‘Abd al-Barr berkata, ‘Nabhân itu majhûl (tidak dikenal). Ia tidak diketahui, kecuali dari riwayat Az-Zuhrî mengenai hadis ini’.

Hadis yang diriwayatkan dari perawi yang majhûl adalah dhâ‘îf dan tidak bisa dijadikan hujjah.

Ada juga hadis yang diriwayatkan dari Jarîr ibn ‘Abdillâh. Ia bertutur demikian:

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ r عَنْ نَظْرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِيْ.

Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. mengenai pandangan yang tiba-tiba. Beliau kemudian menyuruhku untuk memalingkan pandanganku.


Selain itu, ada pula hadis yang diriwayatkan dari ‘Alî r.a. Ia menuturkan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda kepadanya:

لاَ تَتَّبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّمَا لَكَ اْلأُوْلَى وَلَيْسَ لَكَ اْلآخِرَةَ.

Janganlah engkau mengikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Pandangan pertama adalah untukmu, sedangkan pandangan berikutnya bukan untukmu.


Kedua hadis di atas berkenaan dengan pandangan pria terhadap wanita, bukan pandangan wanita terhadap pria. Maksud hadis pertama adalah pandangan terhadap selain wajah dan kedua telapak tangan karena keduanya boleh untuk dilihat. Sedangkan maksud hadis kedua adalah larangan untuk memandang secara berulang-ulang karena dapat mengakibatkan munculnya syahwat, tetapi bukan larangan untuk tidak memandang sama sekali.

Allah Swt. berfirman:


Katakanlah kepada kaum pria Mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka. (QS an-Nûr [24]: 30)


Ayat di atas mengandung makna perintah untuk menundukkan pandangan terhadap apa yang diharamkan dan membatasi hal-hal yang dihalalkan unuk dipandang. Ayat di atas tidak mengandung perintah untuk menundukkan pandangan sama-sekali. Alasannya, Allah telah menjelaskan bahwa para mahram boleh melihat rambut, dada, payudara, anggota tubuh, betis, dan kaki wanita; sedangkan yang bukan mahram hanya boleh melihat wajah dan kedua telapak tangannya. Sebab, ghadh al-bashar (menundukkan pandangan) bermakna khafdh al-bashar (merendahkan pandangan). Dalam kamus terdapat kalimat:

غَضَّ طَرُفَهُ غِضَاضًا بِالْكَسْرِ وَغَضًّا وَغَضَاضًا وَغَضَاضَةً بِفَتْحِهِنَّ خَفَضَهُ

Dia benar-benar menundukkan/merendahkan pandangannya.


Dari paparan di atas, jelaslah bahwa, pria ataupun wanita, masing-masing boleh memandang satu sama lain, kecuali auratnya, tanpa disertai maksud untuk mendapatkan kenikmatan dan kepuasan syahwat. Aurat pria adalah bagian tubuh mulai dari pusat hingga lututnya, sedangkan aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Punggung wanita adalah aurat, demikian pula rambutnya, meskipun hanya selembar. Bagi orang yang bukan mahram, rambut wanita, dilihat dari sisi mana pun, adalah aurat. Seluruh tubuh wanita, kecuali wajah dan kedua telapak tangan, adalah aurat yang wajib ditutup. Allah Swt. berfirman:


Hendaknya mereka tidak menampakkan perhiasan mereka, kecuali yang biasa tampak pada dirinya. (QS an-Nûr [24]: 31)


Yang dimaksud dengan ‘yang biasa tampak pada dirinya’ adalah ‘wajah dan kedua telapak tangan’. Kedua anggota tubuh wanita inilah yang biasa tampak pada kaum Muslimah di hadapan Nabi saw. dan beliau membiarkannya. Kedua anggota tubuh wanita ini pula yang biasa tampak dalam ibadah-ibadah tertentu seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat pada masa Rasulullah saw., yaitu pada masa ayat al-Quran masih turun. Di samping itu, terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Rasulullah saw. bersabda:

اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ

Wanita adalah aurat.

إِذَا عَرَكَتْ المَرْأَةُ لَمْ يَجُزْ لَهَا أَنْ تُظْهِرَ إِلاَّ وَجْهَهَا وَإِلاَّ مَا دُوْنَ هَذَا، وَقَبَضَ عَلَى ذِرَاعِ نَفْسِهِ فَتَرَكَ بَيْنَ قَبْضَتِهِ وَبَيْنَ الْكَفِّ مِثْلَ قَبْضَةٍ أُخْرَى وَنَحْوِهِ.

Jika seorang wanita telah baligh, ia tidak boleh menampakkan tubuhnya kecuali wajahnya dan ini (Rasulullah saw. lantas menggenggam pergelangan tangannya sendiri, lalu membiarkan telapak tangannya saling menggenggam satu sama lain.).


Nabi saw. juga pernah berkata kepada Asma binti Abû Bakar sebagai berikut:

يَا أَسْمَاءَ إِنًّ المَرْأَةَ إِذَا بَلَّغَتْ المَحِيْضَ لَمْ يَصْلُحْ اَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا، وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ.

Asma, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah baligh (mengalami haid), tidak pantas untuk ditampakkan dari tubuhnya kecuali ini dan ini—seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.


Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Dengan demikian, wanita wajib untuk menutupi auratnya. Ia wajib menutup seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya.

Berkaitan dengan pertanyaan, dengan apa wanita menutupi auratnya, di sini syara tidak menentukan pakaian tertentu untuk menutupi aurat tersebut. Syariat Islam membiarkan secara mutlak hal tersebut tanpa menentukannya. Syariat Islam hanya cukup mencantumkan lafal, ‘an lâ yazhhara minhâ’, yang maknanya, ‘hendaklah tidak menampakkan aurat’.

Berkaitan dengan lafal-lafal seperti wa lâ yubdîna (janganlah mereka menampakkan), lam yajuz lahâ an tazhhar (ia tidak boleh memperlihatkan), atau lam yashluh an yurâ minhâ (tidak pantas untuk ditampakkan dari tubuhnya), maka pakaian apa pun yang berfungsi sebagai penutup seluruh auratnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangan, dianggap sudah mencukupi, bagaimanapun bentuknya. Kain yang panjang dapat dianggap sebagai penutup aurat. Begitu pula celana panjang, rok, dan kaos. Sebab, bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syariat. Berdasarkan hal ini, setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat dan tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup aurat yang sah menurut syariat, tanpa memperhatikan lagi bentuk, jenis, ataupun macamnya.

Namun demikian, syariat telah mensyaratkan agar pakaian tersebut dapat menutupi kulit luar. Kaum wanita wajib untuk mengenakan pakaian yang menutupi kulit luarnya; baik kulitnya berwarna putih, merah, coklat, hitam, ataupun yang lainnya. Dengan kata lain, kain penutup (pakaian) wanita wajib menutupi warna kulit sehingga warnanya tidak diketahui. Jika tidak demikian, berarti ia dianggap tidak menutup aurat. Oleh karena itu, jika kain penutup (pakaian) itu tipis (transparan) sehingga tetap menampakkan warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat. Artinya, menampakkan warna kulit dianggap tidak menutup aurat. Sebab, secara syar‘î, menutup aurat tidak dipandang sempurna, kecuali menutupi kulit sekaligus warnanya. Dalil syariat yang telah menetapkan kewajiban atas wanita untuk menutupi kulitnya sehingga tidak diketahui warnanya adalah hadis Nabi saw. yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. Disebutkan bahwa, Asma’ binti Abû Bakar pernah masuk ke ruangan Nabi saw. dengan mengenakan pakaian tipis (transparan). Nabi saw. lantas berpaling seraya bersabda:

يَا أَسْمَاءَ إِنًّ المَرْأَةَ إِذَا بَلَّغَتْ المَحِيْضَ لَمْ يَصْلُحْ اَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا

Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah baligh (mengalami haid), tidak pantas untuk menampakkan tubuhnya, kecuali ini dan ini.


Artinya, Rasulullah saw. menganggap bahwa kain tipis bukan merupakan penutup aurat, malah dianggap sebagai penyingkap aurat. Oleh karena itulah, Nabi saw. kemudian berpaling seraya memerintahkan Asma’ untuk menutupi auratnya, yaitu dengan mengenakan pakaian yang dapat menutupi auratnya.

Dalil tentang persoalan ini juga terdapat dalam hadis Nabi saw. yang diriwayatkan dari Usâmah. Disebutkan bahwa, ia pernah ditanya oleh Nabi saw. tentang kain tipis (al-qabthiyah). Usâmah menjawab bahwa ia telah mengenakannya kepada istrinya. Mendengar itu, Rasulullah saw. kemudian bersabda kepadanya:

مُرْهَا أَنْ تَضَعَ تَحْتَهَا غِلاَلَةً فَإِنِّيْ أَخَافُ أَنْ تَصِفَ حَجْمَ عِظَامِهَا

Suruhlah istrimu untuk mengenakan kain tipis (ghilâlah) lagi di bagian dalamnya, karena sesungguhnya aku khawatir kalau sampai lekuk tubuhnya tampak.


Kata qabthiyah dalam kalimat di atas bermakna sehelai kain tipis. Oleh karena itu, tatkala Rasulullah saw. mengetahui bahwa ‘Usâmah mengenakan kepada istrinya kain tipis, beliau memerintahkan agar dipakaikan lagi di bagian dalamnya kain tipis (ghilâlah), supaya tidak kelihatan warna kulitnya yang berada di balik kain tipis itu. Beliau bersabda, ‘Suruhlah istrimu melilitkan kain tipis (ghilâlah) di bagian dalamnya’.

Rasulullah saw. pun memberikan alasan (baca: ‘illat) dalam perkara tersebut dengan sabdanya, ‘Sesungguhnya aku khawatir kalau sampai lekuk-tubuhnya tampak’; sebagaimana cermin yang memantulkan sesuatu yang ada di hadapannya.

Dengan kata lain, Rasulullah saw. khawatir kalau sampai tampak warna kulit tubuhnya. Sebab, kata tashifu pada kalimat di atas mengandung makna menggambarkan dan menampakkan apa yang ada di balik itu atau menampakkan apa yang ada di belakangnya; sebagaimana cermin yang memantulkan apa yang ada di hadapannya. Kata yashifu berasal dari kata al-washf. Tidak bisa dikatakan al-washf, kecuali bermakna menampakkan (izhhâran) apa yang ada di baliknya, bukan membentuk (tasykîlan) apa yang ada di belakangnya. Jadi, lanjutan hadis di atas bermakna, ‘Aku khawatir kalau sampai lekuk tubuhnya tergambar’. Yang dimaksudkannya adalah tergambar warnanya, bukan bentuknya.

Dengan demikian, kedua hadis di atas merupakan bukti yang sangat jelas bahwa Allah Swt. telah mensyaratkan agar penutup aurat hendaknya berupa kain yang dapat menutupi kulit dan tidak menggambarkan apa yang ada di baliknya.

Atas dasar ini, wanita wajib menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis, yaitu pakaian yang tidak memungkinkan apa yang ada di belakang ataupun di depannya tergambar.

Inilah topik mengenai penutup aurat. Topik ini tidak layak dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum atau dikaitkan dengan upaya memamerkan sebagian pakaian tersebut. Dalam hal ini, tidak berarti bahwa, jika wanita telah mengenakan pakaian penutup aurat, ia boleh berjalan di jalanan umum dengan pakaian tersebut. Sebab, untuk berjalan di jalanan umum terdapat pakaian tertentu bagi wanita yang telah ditetapkan oleh syariat. Ketika hendak berjalan di jalanan umum, seorang wanita tidak cukup hanya mengenakan pakaian penutup—seperti celana panjang, misalnya—meskipun sudah dapat menutupi aurat. Ia tidak layak hanya mengenakan pakaian seperti itu dalam kehidupan umum atau di jalanan umum. Sebab, untuk kondisi seperti di jalanan umum, terdapat pakaian tertentu yang wajib secara syar‘î dipakai oleh wanita. Jika seorang wanita menyimpang dari perintah syariat, yakni ia mengenakan pakaian yang berbeda dengan dengan apa yang telah ditentukan oleh syariat, berarti ia berdosa, karena telah mengabaikan salah satu kewajiban syariat.

Dengan demikian, kita tidak boleh mencampuradukkan pembahasan tentang penutup aurat dengan pembahasan tentang pakaian wanita dalam kehidupan umum, atau mencampuradukkan pembahasan tentang topik menutupi aurat dengan topik tabarruj (memamerkan kecantikan). Meskipun seorang wanita telah mengenakan celana panjang yang sudah dapat menutupi aurat dan tidak tipis, tidak berarti bahwa ia boleh memakainya di hadapan pria yang bukan mahram; sementara ia menampakkan kecantikan dan memperlihatkan perhiasannya. Jika ia melakukannya, walaupun ia telah menutupi auratnya, ia dipandang telah ber-tabarruj. Tabarruj dilarang oleh syariat atas wanita, kendati ia telah menutupi auratnya. Seorang wanita yang telah menutupi auratnya belum tentu dianggap tidak ber-tabarruj. Atas dasar ini, kita tidak boleh mencampuradukkan pembahasan tentang topik menutupi aurat dengan topik tabarruj, karena keduanya berlainan.

Sementara itu, dalam hubungannya dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum atau di pasar-pasar, Allah Swt. telah mewajibkan kepada wanita untuk mengenakan pakaian luar—yakni pakaian yang dikenakan di luar pakaian sehari-hari—jika keluar (rumah) menuju pasar-pasar atau berjalan di jalanan umum. Mereka wajib mengenakan mula-ah atau milhafah (semacam kain selimut atau pakaian/kain terusan-pen) Pakaian terusan tersebut harus dikenakan di bagian luar pakaian dalamnya lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua (telapak) kakinya. Jika ia tidak memilikinya, hendaklah ia meminjam kepada tetangganya, temannya, atau kerabatnya. Jika ia tidak mampu meminjam atau tidak dipinjami, tidak dibenarkan bagi dirinya untuk keluar rumah tanpa pakaian tersebut. Jika ia keluar tanpa mengenakan pakaian luarnya berarti ia telah berdosa, karena telah mengabaikan salah satu kewajiban yang telah diperintahkan Allah Swt. terhadap mereka.

Penjelasan di atas terkait dengan pakaian bagian bawah. Sedangkan dalam kaitannya dengan pakaian bagian atas, wanita harus mengenakan kerudung (khimâr), atau apa saja yang serupa, atau kain yang dapat menutupi seluruh kepala, punggung, dan wilayah dada. Pakaian jenis inilah yang khusus dikenakan oleh kaum wanita ketika mereka hendak keluar rumah menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum. Pakaian seperti itulah yang layak dipakai oleh wanita dalam kehidupan umum. Jika seorang wanita telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan kerudung), ia boleh keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini, ia tidak boleh keluar dalam kondisi apa pun, karena perintah untuk mengenakan kedua jenis pakaian ini bersifat umum. Perintah tersebut tetap dalam maknanya yang bersifat umum dan berlaku dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

Dalil tentang kewajiban untuk mengenakan kedua jenis pakaian ini adalah firman Allah Swt. mengenai pakaian wanita bagian atas dan bagian bawah. Mengenai pakaian bagian atas, Allah Swt. berfirman:


Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimâr) ke dadanya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak pada dirinya. (QS an-Nûr [24]: 31)


Mengenai pakaian wanita bagian bawah Allah Swt. berfirman:


Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka. (QS al-Ahzâb 33: 59)


Ummu ‘Athiyah pernah bertutur demikian:

أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ r أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي اْلفِطْرِ وِاْلأَضْحَى، الْعَوَاتِقُ وَاْلحَيْضُ وَذَوَاتِ الْخُدُوْرِ، فَأَمَّا الْحَيْضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِيْنَ. قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُوْنُ لَهَا جِلْبَابٌ. قاَلَ: لِتُلْبِسَهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

Rasulullah saw. memerintahkan kami—baik ia budak wanita, wanita haid, ataupun wanita perawan—agar keluar (menuju lapangan) pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Bagi para wanita yang sedang haid diperintahkan untuk menjauh dari tempat shalat, tetapi tetap menyaksikan kebaikan dan seruan atas kaum Muslim. Aku lantas berkata, “Ya Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Rasulullah pun menjawab, “Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya kepadanya.”


Dalil-dalil di atas menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah Swt. telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Keduanya wajib dikenakan oleh wanita dalam kehidupan umum. Mengenai pakaian wanita bagian atas, Allah Swt. berfirman:


Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka. (QS an-Nûr [24]: 31)


Maksudnya, hendaknya para wanita menghamparkan kain penutup kepalanya di atas leher dan dadanya agar lipatan pakaian dalam dan pakaian luar pada leher dan dadanya tersembunyi.

Mengenai pakaian wanita bagian bawah, Allah Swt. berfirman:


Hendaklah mereka mengulurkan jilbab atas diri mereka. (QS al-Ahzâb [33]: 59)


Maksudnya, hendaknya para wanita mengulurkan pakaian yang dikenakan pada bagian luar pakaian kesehariannya jika mereka hendak keluar rumah. Pakaian tersebut (baca: jilbab) berupa kain panjang (milhafah) atau sejenis selimut (mulâ’ah) yang diulurkan sampai ke bagian bawah. Tentang cara mengenakan pakaian luar tersebut, Allah Swt. berfirman:


Janganlah mereka menampakkan perhiasaan mereka kecuali yang biasa tampak pada dirinya. (QS an-Nûr [24]: 31)


Maksudnya, janganlah mereka menampakkan tempat perhiasan dan anggota tubuh mereka seperti sepasang telinga, sepasang lengan, sepasang betis kaki, ataupun yang selain itu; kecuali apa yang biasa tampak pada diri mereka di dalam kehidupan umum. Ketika ayat ini turun, yakni pada zaman Rasulullah saw., yang biasa tampak pada diri wanita adalah wajah dan kedua telapak tangan.

Dengan penggambaran yang rinci seperti di atas, jelaslah bagaimana pakaian wanita di dalam kehidupan umum dan apa saja kewajiban mereka berkaitan dengan pakaian tersebut.

Selain keterangan di atas, ada sebuah hadis yang dituturkan oleh Ummu ‘Athiyyah yang menerangkan secara tegas tentang kewajiban wanita untuk mengenakan pakaian (jilbab) di atas pakaian kesehariannya ketika hendak keluar rumah. Ketika itu, Ummu ‘Athiyah berkata kepada Rasul saw., ‘Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab’. Maksudnya, ada di antara wanita pada masa itu yang tidak memiliki jilbab yang ia kenakan di atas (di bagian luar) pakaian kesehariannya ketika ia hendak keluar rumah. Rasulullah saw. kemudian memenintahkan agar saudaranya meminjamkan jilbabnya yang dapat ia kenakan di atas pakaian kesehariannya. Jika saudaranya tidak bisa meminjaminya, maka yang bersangkutan tidak boleh keluar rumah. Ini adalah indikasi yang menunjukkan bahwa perintah kepada kaum wanita untuk mengenakan jilbabnya adalah wajib. Dengan kata lain, wanita wajib untuk mengenakan jilbab di atas pakaian kesehariannya jika ia hendak keluar rumah. Sebaliknya, jika ia tidak mengenakan jilbab, ia tidak boleh keluar rumah.

Jilbab disyaratkan untuk diulurkan ke bawah sampai menutupi kedua telapak kakinya. Allah Swt. sendiri telah berfirman:


Hendaklah mereka mengulurkan jilbab atas diri mereka. (QS al-Ahzâb [33]: 59)


Maknanya, hendaklah mereka mengulurkan jilbab. Kata min pada ayat di atas tidak berfungsi sebagai tab‘îd (mengacu pada makna sebagian), tetapi sebagai bayân (penjelasan). Dengan kata lain, pengertiannya adalah, hendaklah mereka mengulurkan mulâ’ah (kain panjang yang tidak berjahit) atau milhafah (selimut) hingga menjulur kebawah (irkhâ’). Dalam konteks ini, lbn ‘Umar pernah menuturkan demikian:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةِ: فَكَيْفَ يَصْنَعُ النِّسَاءُ بِذُيُوْلِهِنَّ؟ قَالَ: يُرْخِيْنَ شِبْرًا. قَالَتْ: إِذًا يَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ. قَالَ: يُرْخِيْنَ ذِرَاعًا لاَ يَزِدْنَ عَلَيْهِ.

Rasulullah saw. telah bersabda, “Siapa saja yang mengulurkan pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat.” Ummu Salamah bertanya, “Lantas, bagaimana dengan ujung pakaian yang dibuat oleh para wanita?” Rasulullah saw. menjawab, “Hendaklah diulurkan sejengkal.” Ummu Salamah berkata lagi, “Kalau begitu, akan tampak kedua telapak kakinya.” Rasulullah menjawab lagi, “Hendaklah diulurkan sehasta dan jangan ditambah.”


Hadis ini menjelaskan bahwa pakaian luar (jilbab), yakni mulâ’ah atau milhafah, mesti diulurkan ke bawah sampai menutupi kedua (telapak) kakinya. Kedua (telapak) kaki wanita yang telah tertutup dengan kaus kaki ataupun sepatu tidak cukup dikatakan telah irkhâ (mengulurkan jilbab ke bawah hingga menutupi kedua telapak kakinya). Dalam hal ini, yang dipentingkan bukanlah menutup kedua telapak kaki dengan kaus kaki atau sepatu, tetapi secara nyata mengulurkan jilbab sampai ke bawah. Dengan itu diketahui bahwa pakaian tersebut adalah pakaian untuk kehidupan umum yang wajib dikenakan oleh wanita di dalam kehidupan umum. Dengan itu pula, dalam konteks berjilbab, berarti telah terwujud adanya irkhâ’, yakni terulurnya jilbab ke bawah hingga menutupi kedua telapak kaki, sebagai realisasi atas firman Allah Swt. dalam kalimat, ‘yudnîna’, yaitu mengulurkan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa, wanita wajib mengenakan jilbab atau pakaian luar di atas pakaian kesehariannya jika hendak keluar rumah. Jika ia tidak memilikinya, sementara ia ingin keluar, hendaklah ia meminjam kepada saudaranya atau wanita Muslimah mana saja yang bersedia meminjaminya. Jika tidak ada yang meminjaminya, ia tidak boleh keluar rumah sampai pakaian tersebut didapatkannya. Jika ia keluar rumah tanpa mengenakan jilbab yang terhampar hingga ke bawah, berarti ia tetap dipandang berdosa, meskipun pakaian kesehariannya telah menutupi seluruh auratnya. Sebab, seorang wanita wajib mengenakan jilbab yang terhampar ke bawah hingga menutupi kedua telapak kakinya. Menyalahi ketentuan ini dipandang berdosa di sisi Allah Swt. dan pelakunya akan dikenai sangsi atau hukuman berupa ta‘zîr oleh Daulah (Negara) Islam.

Dengan uraian di atas, berarti ada dua persoalan lagi yang terkait dengan pembahasan di seputar topik wanita melihat pria atau sebaliknya. Pertama, keberadaan pria asing (non-mahram) di dalam rumah dengan seizin penghuninya. Di dalam rumah dia biasa melihat wanita yang mengenakan pakaian sehari-hari (yang lazim digunakan di rumah) serta memandang bagian tubuhnya di samping wajah dan kedua telapak tangannya. Kedua, keberadaan wanita non-Muslim dan sebagian kaum Muslimah yang berjalan di jalanan umum ataupun gang umum dalam keadaan menampakkan anggota tubuhnya, lebih dari sekadar wajah dan kedua telapak tangannya. Kedua persoalan ini tampak jelas dalam realitas hidup sehari-hari. Keberadaannya pun dirasakan oleh seluruh kaum Muslim. Oleh karena itu, hukum Islam tentang kedua persoalan tersebut perlu dijelaskan.

Persoalan pertama, yaitu keberadaan saudara atau kerabat yang tinggal bersama para wanita dalam satu tempat tinggal, sementara para wanita tersebut terlihat oleh saudara atau kerabat mereka yang laki-laki dengan mengenakan pakaian sehari-hari. Karena mengenakan pakaian sehari-hari di dalam rumah, akan tampak rambut, punggung, tubuh, betis ataupun bagian tubuh lainnya. Dalam situasi seperti ini, saudara laki-laki suami wanita atau kerabatnya yang bukan mahram—sebagaimana halnya saudara laki-laki bapak mereka atau siapa saja yang menjadi mahram mereka—dengan leluasa melihat wanita tersebut, meskipun mereka termasuk orang asing (non-mahram) bagi dirinya, yakni sama kedudukannya dengan orang lain. Kadang-kadang, sebagian kerabatnya—seperti anak paman, anak bibi, dan kerabatnya yang lain yang bukan mahram—ataupun kalangan yang bukan kerabatnya berkunjung ke rumahnya. Dalam kunjungan tersebut, biasanya mereka memberi salam kepadanya dan duduk-duduk bersamanya, sementara yang dikunjungi (yakni wanita tersebut) mengenakan pakaian kesehariannya. Dalam keadaan seperti ini, biasanya tampak pada wanita yang bersangkutan bagian tubuhnya selain wajah dan kedua telapak tangannya, seperti: rambut, punggung, jemari, betis, dan yang lainnya. Sementara itu, para pengunjungnya memperlakukan dirinya seperti mahram-nya saja.

Fenomena seperti ini ada di mana-mana dan telah menimpa sebagian besar kaum Muslim, khususnya di daerah perkotaan. Umumnya mereka menyangka bahwa fenomena seperti itu dibolehkan. Padahal, dalam kasus seperti ini, Allah Swt. telah mengharamkan sama sekali wanita untuk dipandang atau dinikmati. Allah hanya membolehkan wanita untuk dilihat dan dinikmati oleh suaminya. Allah pun membolehkan perhiasan wanita terlihat oleh dua belas orang, sebagaimana yang telah dijelaskan di muka, termasuk orang yang semisal dengan mereka, seperti paman dari bapak atau paman dari ibu. Sementara itu, wajah dan kedua telapak tangan wanita boleh terlihat oleh seluruh pria. Meskipun demikian, menikmati atau memandang wanita dengan syahwat tetap diharamkan sama sekali, kecuali bagi suami, sedangkan sekadar memandang wajah dan kedua telapak tangan wanita adalah mubah. Akan tetapi, memandang bagian tubuh wanita selain wajah dan kedua telapak tangan sama sekali diharamkan, kecuali bagi mahram-nya atau oang yang semisal dengan mereka.

Inilah hukum Islam yang berkaitan dengan kehidupan umum yang telah disebutkan di dalam sejumlah nash.

Sementara itu, dalam konteks kehidupan khusus, Allah telah membolehkan para wanita untuk menampakkan bagian tubuhnya di samping wajah dan kedua telapak tangan mereka, yakni apa saja yang memang biasa tampak dalam kehidupan sehari-hari mereka. Allah Swt. berfirman:


Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki ataupun perempuan) yang kalian miliki dan anak-anak yang belum balig di antara kalian meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat subuh; ketika kalian menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari; dan sesudah shalat isya. (QS an-Nûr [24]: 58-59)


Allah Swt. telah memerintahkan kepada anak-anak yang belum baligh dan para hamba sahaya agar tidak memasuki ruangan (kamar) wanita dalam tiga waktu tersebut. Di luar itu, mereka boleh memasuki ruangan tersebut, sebagaimana dikuatkan oleh lanjutan ayat di atas:


(Itulah) tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak pula atas mereka di luar waktu-waktu itu. Mereka melayani kalian; sebagian kalian (ada keperluan) kepada sebagian yang lain. Demikianlah Allah Swt. menjelaskan ayat-ayatnya kepada kalian. Allah Swt. Mahatahu dan Mahabijaksana. (QS an-Nûr [24]: 58-59)


Ayat di atas dengan jelas menerangkan bahwa di luar ketiga waktu tersebut -yakni pada waktu seorang wanita mengenakan pakaian kesehariannya yang lazim dipakai di dalam rumah-, anak-anak dan para hamba sahaya boleh memasuki ruangan (kamar)-nya tanpa seizinnya. Dari sini, dapat dipahami pula bahwa seorang wanita, di dalam rumahnya, hidup dengan mengenakan pakaian sehari-hari yang biasa dipakainya. Pada saat berpakaian seperti ini, biasanya ia akan terlihat oleh anak-anak dan hamba sahayanya.

Atas dasar ini, wanita boleh—tanpa ada keraguan—tinggal di dalam rumahnya dengan pakaian sehari-hari yang lazim dipakainya. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak dianggap berdosa. Anak-anak kecil dan hamba sahaya boleh melihat wanita dalam kondisi semacam itu. Tidak ada halangan apa pun dalam kondisi seperti itu. Wanita tidak perlu menutup aurat dari mereka. Sebaliknya, mereka pun (yakni anak kecil dan hamba sahaya) tidak perlu meminta izin kepadanya ketika masuk. Serupa dengan hamba sahaya adalah para pembantu yang (biasa) membantu pekerjaan rumah tangga di dalam rumah, meskipun dari kalangan laki-laki asing yang bukan mahram-nya. Sebab, di dalam ayat ini, terdapat ‘illat yang membolehkan para hamba sahaya masuk ruang tanpa izin, karena mereka termasuk thawwâfûn (orang-orang yang biasa berinteraksi dengan—atau bergaul di sekeliling—tuan rumah, yakni anak-anak kecil, hamba sahaya, dan pembantu-pen). Allah Swt. berfirman:


Mereka biasa berinteraksi dengan kalian. Sebagian kalian bergaul dengan sebagian yang lain. (QS an-Nûr [24]: 56)


Dalam ayat di atas, thawwâfûn bermakna orang-orang yang senantiasa berinteraksi dengan—atau bergaul di sekeliling—tuan rumah. Inilah ‘illat yang terdapat pada hamba sahaya yang berlaku pula pada pembantu dan pada siapa pun yang menyerupai mereka. Dengan demikian, di dalam kehidupan khusus, wanita tidak wajib menutup bagian tubuh di luar wajah dan kedua telapak tangan, yaitu bagian tubuh yang biasa tampak ketika ia berpakaian sehari-hari (mihnah).Meskipun demikian, ia tetap tidak boleh telanjang atau tampak seperti telanjang, kecuali pada tiga keadaan atau pada tiga waktu.

Sementara itu, berkaitan dengan orang-orang selain yang telah dikecualikan oleh Allah pada kondisi tersebut—yakni mereka yang bukan termasuk anak kecil, hamba sahaya, atau pembantu—Allah Swt. telah menjelaskan hukum bagi mereka di dalam kehidupan khusus. Dalam konteks ini, Allah menuntut mereka agar selalu meminta izin ketika hendak memasuki rumah. Allah Swt. berfirman:


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum kalian meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. (QS an-Nûr [24]: 27)


Oleh karena itu, setiap Muslim dituntut untuk meminta izin sekaligus mengucapkan salam pada saat hendak memasuki rumah orang lain. Artinya, pada saat hendak memasuki rumahnya sendiri, ia tidak perlu meminta izin. Sebab, latar belakang turunnya (sabab an-nuzûl) ayat di atas adalah peristiwa ketika seorang wanita dari kalangan Anshar berkata kepada Nabi saw. ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku berada dalam rumah pada saat aku tidak suka seorang pun melihatku, baik orangtua maupun anak-anak. Akan tetapi, datanglah kemudian ayahku sendiri. Sesungguhnya seseorang (laki-laki) dari kalangan keluargaku sering memasuki rumahku, sedangkan aku sendiri selalu dalam keadaan demikian (tidak suka). Lalu, apa yang harus aku perbuat?’

Setelah itu, turunlah ayat mengenai izin tersebut.

Dengan demikian, jika dikomparasikan antara latar belakang turunnya ayat tersebut dengan makna tekstual (manthûq) dan makna kontekstual (mafhûm)-nya, maka ayat itu menunjukkan bahwa titik persoalannya adalah kehidupan khusus, bukan masalah menutup aurat atau tidak. Artinya, persoalannya adalah keadaan keseharian (hâlah at-tabadzdzul)yakni ketika wanita mengenakan pakaian sehari-hari), pen—yang dijalani oleh seorang wanita. Pada keadaan semacam ini, yakni dalam kondisi keseharian, wanita tidak diperintahkan untuk menutup auratnya. Kaum prialah yang diperintahkan untuk meminta izin. Pada kondisi khusus seperti ini tidak ada perbedaan antara mahram dan bukan, atau antara wanita dan pria. Dengan demikian, baik ayah ataupun pria asing (non-mahram), baik wanita atau pria, kedudukannya sama; tidak ada pengecualian kecuali bagi anak kecil, hamba sahaya, dan pembantu.

Atas dasar ini, dalam kehidupan suami-istri di rumah yang di dalamnya terdapat pria atau wanita lain, maka hukum bagi mereka sama saja; sebagaimana terhadap saudaranya dan ayahnya, ataupun seperti terhadap mahram-nya maupun non-mahram-nya. Bagi wanita sendiri, tidak menjadi soal jika ia menampakkan dirinya (di samping wajah dan kedua telapak tangan) di dalam kehidupan khusus, sedangkan seorang pria harus meminta izin terlebih dulu jika hendak memasuki rumah orang lain.

Sementara itu, ihwal seorang pria yang melihat wanita dalam situasi seperti ini, adalah masalah lain lagi, yang terkait dengan hukum melihat wanita. Di dalam kehidupan khusus atau umum, Allah Swt. telah mengharamkan orang-orang non-mahram melihat wanita pada selain wajah dan kedua telapak tangan, tetapi membolehkannya bagi mahram-nya. Allah Swt. memerintahkan kepada seorang pria untuk menundukkan pandangan dengan sungguh-sungguh terhadap wanita pada selain wajah dan telapak tangan, tetapi memaafkan pandangan yang tidak disengaja. Pengharaman terhadap upaya memandang wanita pada selain wajah dan kedua telapak tangan sudah demikian jelas. Demikian pula, perintah untuk menundukkan pandangan terhadap wanita pada selain wajah dan kedua telapak tangan. Allah Swt. berfirman:


Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka. (QS an-Nûr [24]: 30)


Maknanya adalah menundukkan pandangan terhadap wanita pada selain wajah dan kedua telapak tangan. Sebab, memandang wanita pada wajah dan kedua telapak tangannya memang dibolehkan. Dalam hal ini, ada riwayat yang menyatakan demikian:

قَالَ سَعِيْدُ ابْنُ الْحَسَنْ لِلْحَسَنْ إَنَّ نِسَاءُ اْلعَجْمِ يَكْشِفْنَ صُدُوْرَهُنَّ وَرُؤُوْسَهُنَّ. قَالَ: إِصْرِفْ بَصَرَكَ.

Sa‘îd ibn Abî al-Hasan berkata kepada Hasan, “Sesungguhnya para wanita non-Arab selalu menyingkapkan dada dan rambut mereka.” Mendengar itu, Hasan berkata, “Palingkan pandanganmu!” (HR Al-Bukhârî)


Sementara itu, di dalam hadis mengenai larangan untuk duduk-duduk di pinggir jalan, disebutkan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:

عُضِّ اْلبَصَرَ

Tundukkan pandanganmu!


Dalam konteks hadis di atas, disebutkan bahwa, para wanita yang berjalan di jalanan, anggota tubuhnya—selain wajah dan kedua telapak tangannya—acapkali tersingkap. Oleh karena itu, hendaklah kaum pria menundukkan pandangan mereka, bukan berarti tidak melihat sama sekali.

Allah Swt. mengharamkan kaum pria untuk memandang wanita pada selain wajah dan kedua telapak tangan jika pandangan itu disengaja. Akan tetapi, jika pandangan tersebut tidak disengaja, hal itu tidak diharamkan. Namun demikian, tidak berarti Allah tidak memerintahkan untuk meninggalkan pandangan semacam itu. Sebaliknya, Allah memerintahkan kaum pria untuk menundukkan pandangan mereka. Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman:


Hendaklah mereka menahan pandangan mereka. (QS an-Nûr [24]: 30)


Kata min pada ayat di atas mengandung makna at-tab‘îdh (mengacu pada makna sebagian). Artinya, ayat di atas mengandung pengertian, ‘Hendaklah mereka menundukkan sebagian pandangan atau penglihatan mereka’.

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa, pandangan yang terpelihara, yakni pandangan biasa (wajar) dan tidak tendensius, adalah dibolehkan.

Atas dasar ini, seorang pria, baik mahram-nya ataupun bukan (yaitu bapak, saudara laki-laki, dan sepupu laki-laki), boleh bertempat tinggal serumah dengan kerabatnya. Bagi wanita sendiri, tidak menjadi soal jika ia menampakkan dirinya dengan hanya mengenakan pakaian sehari-hari kepada orang yang tinggal serumah bersama suaminya atau saudara laki-lakinya. Akan tetapi, laki-laki yang tinggal serumah dengannya tetap harus menundukkan pandangannya, meskipun tidak menjadi soal baginya untuk memandang—dengan pandangan yang wajar—wanita yang sedang berpakaian sehari-hari; kecuali dalam tiga kondisi, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Penjelasan di atas terkait dengan orang-orang yang tinggal serumah.

Sementara itu, dalam kaitannya dengan orang-orang luar yang hendak memasuki rumah, baik mereka itu termasuk kerabat atau bukan, baik termasuk mahram atau bukan, semuanya harus meminta izin tanpa kecuali. Namun demikian, terhadap mahram-nya, wanita boleh untuk tidak menutupi perhiasannya, karena mereka memang boleh melihat perhiasan atau auratnya. Sebaliknya, terhadap orang-orang yang bukan mahram-nya, wanita harus selalu menutupi perhiasannya; ia tidak boleh memperlihatkan perhiasannya di hadapan mereka, kecuali sebatas wajah dan kedua telapak tangannya saja. Jika tidak mempedulikan hal ini seraya tetap mengenakan pakaian sehari-hani yang lazim ia pakai di dalam rumah, berarti ia berdosa. Sedangkan bagi seorang laki-laki, tidak ada sikap lain kecuali menundukkan pandangannya.

Ada perbedaan antara orang luar yang berkunjung ke rumah dengan penghuni rumah. Penghuni rumah tentu tidak perlu meminta izin untuk memasuki rumahnya sendiri. Demikian pula, wanita penghuni rumah tidak wajib untuk menutupi perhiasannya, karena ia berada dalam kehidupan khusus. Sebaliknya, tamu, sebagai orang luar rumah, diwajibkan oleh Allah Swt. untuk meminta izin ketika hendak memasuki rumah orang lain; kecuali jika ia termasuk mahram-nya. Izin tersebut akan menjadi isyarat bagi wanita penghuni rumah sehingga ia tidak hanya sekadar mengenakan mihnah (pakaian sehari-hari), tetapi juga menutup perhiasannya sesuai dengan latar-belakang turunnya ayat tersebut. Artinya, jika seseorang masuk ke rumah orang lain, ia harus meminta izin; baik termasuk mahram penghuni rumah ataupun bukan. Tuntutan untuk meminta izin, sekali lagi, akan menjadi isyarat bagi wanita penghuni rumah agar ia menutup auratnya dari selain mahram-nya.

Persoalan kedua, sejak peradaban Barat menyerang kita dan aturan-aturan kufurnya menguasai negeri-negeri kaum Muslim, kaum wanita non-Muslim keluar rumahnya dalam keadaan nyaris telanjang. Mereka menyingkapkan bagian dada, punggung, rambut, jemari, ataupun betis mereka. Kenyataan ini telah mendorong sebagian wanita Muslimah mengikuti gaya hidup mereka sehingga, pada gilirannya, wanita Muslimah pun keluar rumah menuju pasar dalam keadaan seperti itu. Pada akhirnya, orang tidak lagi dapat membedakan mana wanita Muslimah dan mana wanita non-Muslim. Mereka adalah para wanita yang berjalan di pasar-pasar atau yang berkunjung ke bar-bar (kedai-kedai arak) untuk melakukan transaksi jual-beli. Pada saat yang sama, kaum pria Muslim yang hidup di kota-kota saat ini tidak lagi memiliki jati diri untuk mengenyahkan kemungkaran semacam ini. Mereka bahkan tidak mampu lagi hidup di kota-kota tanpa melihat aurat wanita. Kenyataan ini merupakan akibat dari watak kehidupan yang dijalani oleh mereka dan struktur bangunan tempat tinggal mereka. Kedua faktor ini seolah memaksa kaum pria untuk selalu memandang aurat wanita. Akibatnya, pria mana pun sepertinya tidak mungkin mampu untuk menghindarkan pandangannya terhadap aurat wanita; entah sekadar jari-jemari, dada, punggung, betis, ataupun rambutnya—meskipun mereka sudah berusaha untuk tidak melihatnya—kecuali pada saat ia duduk-duduk di dalam rumahnya dan tidak keluar rumah. Padahal, sama sekali ia tidak mungkin terus-menerus tinggal di dalam rumahnya, karena ia sudah pasti perlu berhubungan dengan orang lain; baik dalam aktivitas jual-beli, upah-mengupah, bekerja, ataupun aktivitas lainnya. Persoalannya, di satu sisi, semua itu merupakan kebutuhan utama (dharûrî) bagi kehidupannya. Padahal, mereka tidak mungkin melakukan berbagai aktivitas semacam itu seraya terus-menerus memalingkan pandangan mereka dari aurat para wanita tersebut. Sementara itu, di sisi lain, di dalam al-Quran dan Sunnah sendiri terdapat larangan yang tegas untuk memandang aurat wanita. Jika demikian persoalannya, lantas apa yang harus dilakukan?

Dalam kondisi semacam ini, hanya ada dua kemungkinan untuk keluar dari problem. Pertama, memandang secara tiba-tiba (tidak disengaja). Artinya, seorang pria memandang wanita di jalanan secara tidak sengaja dengan pandangan yang pertama dan tidak meneruskannya dengan pandangan berikutnya, sebagaimana telah diriwayatkan dari Jarîr ibn ‘Abdillâh r.a. sebagai berikut:

سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللهِ r عَنْ نَظْرَةِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِيْ أَنْ أُصْرِفَ بَصَرِيْ.

Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang pandangan yang tiba-tiba (tidak disengaja). Rasulullah kemudian memerintahkan kepadaku untuk memalingkan pandanganku.


Selain itu, ‘Alî ibn Abî Thâlib r.a. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata kepadanya demikian:

لاَ تُتْبِعِ الْنّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّمَا لَكَ اْلُأوْلىَ وَلَيْسَتْ لَكَ اْلآخِرَةُ.

Janganlah engkau mengikut ipandangan yang pertama dengan pandangan berikutnya. Pandangan yang pertama adalah hakmu sedangkan pandangan berikutnya bukanlah hakmu.


Kedua, bercakap-cakap dengan wanita, sementara wanita tersebut menampakkan rambut, jari-jemari, atau bagian aurat mana saja yang biasa ia tampakkan. Dalam keadaan seperti ini, seorang pria wajib memalingkan pandangannya dari wanita tersebut dan berusaha untuk menundukkan pandangan terhadapnya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud:

كَانَ اْلفَضْلُ بْنُ الْعَبَّاسِ رَدَيْفَ النَّبِيِّ r فَجَاءَتْهُ الْخَثْعَمِيَّةُ تَسْتَفْتِيْهِ فَجَعَلَ اْلفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ فَصَرَفَ رَسُوْلُ اللهِ r وَجْهَهُ عَنْهَا

Suatu ketika, Fadhl ibn ‘Abbas membonceng Nabi saw. Tiba-tiba, datanglah seorang wanita bernama Khats‘amiyah hendak meminta pendapat. Fadhl lantas memandang wanita tersebut dan wanita itu pun memandangnya. Karena itu, Rasulullah kemudian memalingkan wajah Fadhl dari wanita itu.


Di samping itu, Allah Swt. juga berfirman:


Katakanlah kepada laki-Iaki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya mereka. (QS an-Nûr [24]: 30)

وَاْلمُرَادُ بِغَضِّ اْلبَصَرِ خَفَضَهُ

Menahan pandangan bermakna menundukkan pandangan.


Dengan demikian, solusi praktis atas persoalan ini adalah adanya upaya dari seorang pria untuk menundukkan pandangannya, seraya tetap melakukan aktivitasnya yang mengharuskan dirinya memperbincangkan masalah penting dengan seorang wanita. Ia bisa melakukannya seraya mengendarai mobil, duduk di tempat yang terlindung dari panas yang menyengat, atau melakukan hal lainnya. Keperluan untuk berinteraksi dengan wanita merupakan realitas kehidupan umum yang mesti dialami oleh seorang pria. Ia tidak mungkin dapat menghindar dari wanita. Pada saat yang sama, ia pun tidak mungkin mampu menolak implikasi negatif dari pandangannya terhadap aurat wanita. Atas dasar ini, seorang pria harus menundukkan pandangannya terhadap wanita dalam rangka memenuhi perintah Allah yang terkandung dalam ayat di atas. Ia tidak boleh sama sekali melakukan hal lain selain menundukkan pandangan.

Dalam konteks ini, kita tidak bisa mengatakan bahwa, bencana semacam ini sudah merupakan fenomena umum yang sulit untuk dihindari. Prinsip tersebut jelas bertentangan dengan syariat. Sebab, sesuatu yang haram tidak bisa berubah menjadi halal hanya karena telah merajalelanya bencana yang ada. Begitu pula sebaliknya, sesuatu yang halal tidak bisa menjadi haram hanya karena telah meratanya bencana yang ada. Kita juga tidak bisa mengatakan bahwa, mereka adalah wanita kafir yang bisa diperlakukan sama seperti para budak, yakni aurat mereka sama dengan aurat para budak (sehingga boleh untuk dilihat, pen). Pernyataan semacam ini tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, hadis tentang menutup aurat bagi wanita berlaku umum, dan tidak hanya ditujukan kepada wanita Muslimah saja. Rasulullah saw. bersabda:

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ اْلمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيْضَ لَمْ يَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا، وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكُفَّيْهِ

Asma’, sesungguhnya perempuan itu, jika telah baligh, tidak pantas menampakkan anggota tubuhnya kecuali ini dan ini—seraya menunjukkan wajah dan kedua telapak tangannya.


Hadis sahih di atas, secara implisit mengandung larangan untuk melihat wanita, baik wanita Muslimah ataupun wanita non-Muslim. Hadis di atas berlaku umum dalam seluruh keadaan, termasuk dalam kondisi di atas. Dalam konteks ini, wanita kafir tidak bisa dianalogikan dengan budak, karena dari sisi mana pun memang tidak dapat dianalogikan.

Berdasarkan paparan di atas, siapa saja yang berkunjung ke rumah orang lain, sementara di dalamnya terdapat seorang wanita yang bukan mahram-nya, ia wajib untuk menundukkan pandangannya, kecuali terhadap wajah dan kedua telapak tangannya. Sementara itu, mereka yang hidup di wilayah perkotaan dan terpaksa harus hidup di tengah-tengah masyarakat atau berinteraksi dengan para wanita kafir yang menampakkan aurat mereka—seperti membeli sesuatu dari mereka, memperbincangkan sesuatu yang penting dengan mereka, memperoleh upah dari mereka, mempekerjakan mereka, atau menjual sesuatu kepada mereka, atau aktivitas lainnya—wajib menundukkan pandangan mereka pada saat-saat semacam itu dan membatasi aktivitas mereka sekadar untuk memenuhi kebutuhan yang memang sangat mendesak bagi mereka.

Semua paparan di atas terkait dengan perbincangan di seputar tema melihat wanita.

Dalam kaitannya dengan paparan di atas, perlu juga dibicarakan ihwal persoalan di seputar berjabat tangan (mushâfahah) antara pria dan wanita. Dalam hal ini, seorang pria pada dasarnya boleh menjabat tangan seorang wanita, demikian pula sebaliknya, seorang wanita boleh menjabat tangan seorang pria; tanpa harus ada penghalang di antara keduanya. Kebolehan ini didasarkan pada pemahaman terhadap hadis yang terdapat di dalam Shahih Bukhari yang bersumber dari ‘Ummu ‘Athiyah. Disebutkan bahwa ‘Ummu ‘Athiyah pernah bertutur sebagai berikut:

بَايَعْنَا النَّبِيَّ r فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ لاَ تُشْرِكْنَ باِللهِ شَيْءٍ وَنَهَانَا عَنِ النِّيَاحَةِ فَقَبَضَتْ إِمْرَأَةً مَنَا يَدَهَا

Kami telah membaiat Nabi saw. Beliau kemudian menyatakan kepada kami untuk tidak akan menyekutukan Allah dan tidak akan meratap. Akan tetapi kemudian, seorang wanita di antara kami menarik kembali tangannya.


Baiat dilakukan dengan cara berjabatan tangan (mushâfahah). Kalimat, ‘qabadhat yadahâ’ (menarik kembali tangannya), mengandung makna menarik kembali tangannya setelah sebelumnya hendak melakukan baiat tersebut. ‘Menarik kembali tangannya’, mengandung pengertian bahwa, wanita tersebut sebelumnya benar-benar hendak melakukan baiat kepada Rasulullah saw. dengan cara berjabat tangan. Dari sini, bisa dipahami jika kalimat, ‘kemudian salah seorang wanita di antara kami menarik kembali tangannya’, mengandung pengertian bahwa, selain wanita tersebut, tidak menarik kembali tangan mereka. Ini berarti, para wanita selain wanita tersebut juga membaiat Rasulullah saw. dengan cara berjabat tangan (mushâfahah). Di samping itu, kebolehan mushâfahah (berjabat tangan) bisa dipahami dari firman Allah Swt.:


….Atau kalian telah menyentuh perempuan. (QS an-Nisâ [4]: 43)


Kalimat pada ayat di atas berbentuk umum untuk seluruh kaum wanita. Maknanya, bersentuhan dengan wanita membatalkan wudhu. Pengertian dari ayat tersebut menunjukkan bahwa hukumnya terbatas pada batalnya wudhu karena menyentuh wanita. Atas dasar ini, menyentuh wanita—tanpa disertai syahwat— tidaklah haram, sehingga berjabatan tangan dengan wanita pun bukan merupakan sesuatu yang diharamkan. Lebih dari itu, tangan wanita tidak termasuk aurat, dan melihatnya pun tidak diharamkan jika tidak disertai dengan syahwat. Walhasil, berjabat tangan dengan wanita bukan sesuatu yang terlarang.

Menjabat tangan wanita berbeda persoalannya dengan mencium wanita. Ciuman seorang pria terhadap wanita asing yang dikehendakinya atau sebaliknya, ciuman seorang wanita terhadap pria asing yang bukan mahramnya, adalah ciuman yang diharamkan. Ciuman semacam ini merupakan awal menuju perbuatan zina. Kenyataan bahwa ciuman merupakan awal menuju perbuatan zina adalah sesuatu yang sudah biasa terjadi; meskipun tanpa disertai dengan syahwat, atau tidak menghantarkan pada perbuatan zina, atau tidak sampai mengakibatkan terjadinya perzinaan. Sebab, Rasulullah saw. sendiri telah bersabda kepada Mâ‘iz—ketika ia ingin disucikan (dihukum rajam) karena telah melakukan perbuatan zina—dengan ucapan, ‘Sebelumnya engkau mungkin telah menciumnya’.

Pernyataan Rasulullah saw. ini menunjukkan bahwa berciuman merupakan tindakan pendahuluan menuju perbuatan zina. Lebih dari itu, ayat-ayat dan hadis-hadis yang mengharamkan zina telah pula mengharamkan seluruh tindakan pendahuluaun yang dapat menghantarkan pada perbuatan zina, walaupun cuma bersentuhan. Perilaku yang termasuk ke dalam pendahuluan ke arah zina antara lain adalah: memunculkan hasrat kepada wanita; menggoda wanita; mencium wanita dengan atau tanpa syahwat; menarik tubuh wanita ke arahnya; memeluk wanita; atau perilaku lainnya, sebagaimana yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muda, baik laki-laki ataupun perempuan, yang tidak mengindahkan sopan-santun dan akhlak.

Walhasil, ciuman semacam ini adalah haram, meskipun sebagai wujud ucapan selamat kepada orang yang baru datang dari suatu perjalanan. Sebab, berciuman antara pemuda dengan pemudi merupakan tindakan pendahuluan menuju perbuatan zina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse