Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

KEWAJIBAN PEMISAHAN PRIA DAN WANITA DALAM KEHIDUPAN ISLAM

Senin, 15 Maret 2010

Dalam konteks kehidupan Islam, yaitu kehidupan kaum Muslim dalam segala kondisi secara umum, telah ditetapkan di dalam sejumlah nash syariat, baik yang tercantum dalam al-Quran maupun as-Sunnah, bahwa kehidupan kaum pria terpisah dari kaum wanita. Ketentuan ini berlaku dalam kehidupan khusus, seperti di rumah-rumah tempat tinggal dan yang sejenisnya, ataupun dalam kehidupan umum, seperti di pasar-pasar; di jalan-jalan umum; dan yang sejenisnya. Ketentuan tersebut merupakan ketetapan yang diambil secara pasti dari sejumlah hukum Islam yang berkaitan dengan pria, wanita, atau kedua-duanya; juga diambil dari seruan al-Quran kepada kaum wanita dalam kedudukannya sebagai wanita dan kepada kaum pria dalam kedudukannya sebagai pria. Dalam salah satu potongan ayat-Nya, Allah Swt. berfirman:


….kaum pria dan kaum wanita yang gemar bersedekah, kaum pria dan kaum wanita yang gemar berpuasa, kaum pria dan kaum wanita yang senantiasa memelihara kehormatannya, kaum pria dan kaum wanita yang banyak menyebut nama Allah…. (QS al-Ahzâb [33]: 35)


Kehidupan pria dan wanita yang terpisah semacam ini telah dimanifestasikan secara praktis dan bersifat massal oleh masyarakat Islam pada masa Rasulullah saw. dan pada seluruh kurun sejarah Islam.


Jika kita meneliti sejumlah dalil al-Quran dan as-Sunnah, kita akan menemukan bahwa Allah Swt. tidak menerima kesaksian kaum wanita dalam perkara jinâyât (tindak kriminal). Masalahnya, kaum wanita tidak hidup dalam wilayah yang dimungkinkan terjadinya tindakan kriminal. Allah Swt. sendiri telah mewajibkan kaum wanita untuk mengenakan jilbab jika mereka hendak keluar rumah. Allah telah menjadikan seluruh tubuh wanita sebagai aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Allah telah mengharamkan atas wanita untuk memperlihatkan perhiasannya terhadap selain mahram-nya. Allah pun telah melarang kaum pria melihat aurat wanita, meskipun hanya sekadar rambutnya. Allah juga telah melarang para wanita bepergian, meskipun untuk keperluan ibadah haji, jika mereka tidak disertai oleh mahram-nya. Di samping itu, kita akan menemukan pula bahwa, Allah Swt. telah melarang seseorang untuk memasuki rumah orang lain, kecuali dengan seizin penghuninya. Kita pun akan menemukan bahwa, Allah Swt. tidak mewajibkan kaum wanita melakukan shalat berjamaah, shalat Jumat, ataupun melibatkan diri dalam aktivitas jihad (perang). Sebaliknya, Allah mewajibkan semua aktivitas tersebut bagi kaum pria. Allah Swt. juga telah mewajibkan kaum pria berusaha mencari penghidupan, tetapi Dia tidak mewajibkan hal itu bagi kaum wanita.

Seluruh fakta-fakta di atas bisa dinisbatkan pada apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Beliau telah memisahkan kaum pria dari kaum wanita; menjadikan shaf-shaf kaum wanita, ketika menunaikan shalat di dalam masjid, berada di belakang shaf-shaf kaum pria; memerintahkan kaum wanita keluar lebih dulu—setelah selesai menunaikan shalat berjamaah di dalam masjid—yang kemudian disusul oleh kaum pria. Dengan itu, keterpisahan antara kaum wanita dengan kaum pria senantiasa terjaga.

Suatu saat, tatkala Rasulullah saw. mengajar di masjid, kaum wanita mengadu kepada beliau, ‘Kami telah dikalahkan oleh kaum pria. Oleh karena itu, hendaklah engkau menyediakan waktu khusus bagi kami satu hari saja’.

Semua hukum, kondisi, dan realitas yang seperti itu menunjukkan tentang fakta kehidupan Islam yanng sesungguhnya. Kehidupan Islam adalah kehidupan yang memisahkan antara kaum pria dan kaum wanita. Keterpisahnya keduanya dalam kehidupan Islam adalah bersifat umum; tidak dibedakan apakah hal itu menyangkut kehidupan khusus atau kehidupan umum. Alasannya, kehidupan Islam di masa Rasulullah saw. pun telah memisahkan kaum pria dari kaum wanita secara mutlak, baik dalam kehidupan khusus maupun dalam kehidupan umum, tidak ada pengecualian.

Namun demikian, Allah Swt. telah memberikan ketetapan yang membolehkan adanya interaksi di antara keduanya, baik dalam kehidupan khusus maupun dalam kehidupan umum. Dalam konteks ini, Allah Swt., misalnya, telah membolehkan kaum wanita untuk melakukan jual-beli serta mengambil dan menerima barang; mewajibkan mereka untuk menunaikan ibadah haji; membolehkan mereka untuk hadir dalam shalat berjamaah, berjihad melawan orang-orang kafir, memiliki harta dan mengembangkannya, dan sejumlah aktivitas lain yang memang dibolehkan atas mereka. Semua aktivitas di atas dibolehkan oleh syariat Islam terhadap kaum wanita, atau bahkan diharuskan atas mereka; jika memang pelaksanaan berbagai aktvitas di atas, mau tidak mau, mengharuskan adanya interaksi dengan kaum pria. Akan tetapi, interaksi yang dibolehkan harus tetap berada dalam koridor atau rambu-rambu yang telah ditentukan oleh syariat dan berada dalam wilayah aktivitas yang dibolehkan atas mereka, seperti: aktivitas jual-beli, perburuhan (ijârah), pendidikan, kedokteran, paramedis, pertanian, industri, dan sebagainya. Sebab, dalil tentang kebolehan atau keharusan adanya interaksi di antara keduanya memang karena adanya aktivitas-aktivitas semacam itu.

Sementara itu, berkaitan dengan berbagai aktivitas yang sama sekali tidak mengharuskan adanya interaksi di antara keduanya—seperti berjalan bersama-sama di jalan-jalan umum; pergi bersama-sama ke masjid, ke pasar, mengunjungi sanak-famili, atau bertamasya; makan-minum bersama; dan yang sejenisnya—seorang wanita haram melakukan pertemuan atau berinteraksi dengan seorang pria. Sebab, dalil-dalil tentang keharusan adanya pemisahan kaum pria dari kaum wanita bersifat umum. Tidak pernah ditemukan satu dalil pun yang membolehkan adanya pertemuan dan interaksi di antara pria dan wanita dalam perkara-perkara di atas, kecuali dalam aktivitas yang memang telah dibolehkan oleh syariat untuk dilakukan oleh seorang wanita. Oleh karena itu, adanya pertemuan dan interaksi antara pria dan wanita dalam perkara-perkara tersebut di atas dipandang sebagai perbuatan dosa, meskipun hal itu dilakukan dalam kehidupan umum.

Atas dasar ini, adanya pemisahahan kaum pria dari kaum wanita dalam kehidupan Islam merupakan suatu kewajiban; sedangkan keterpisahan keduanya dalam kehidupan khusus mesti dilakukan secara sempurna, kecuali dalam perkara-perkara yang dibolehkan oleh syariat.

Walhasil, dalam kehidupan umum, pada dasarnya status keduanya adalah terpisah. Keduanya tidak boleh melakukan pertemuan dan interaksi selain yang telah dibolehkan, diharuskan, atau disunnahkan bagi wanita. Pengecualian ini berlaku bagi wanita dalam sejumlah aktivitas yang memang menuntut adanya pertemuan dan interaksi dengan pria; baik dilakukan secara terpisah, seperti halnya di dalam masjid, atau disertai dengan adanya ikhtilâth (campur-baur), sebagaimana dalam aktivitas ibadah haji atau jual-beli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse