Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

KEHIDUPAN KHUSUS

Minggu, 14 Maret 2010

Watak kehidupan manusia telah menjadikan manusia menjalani kehidupan umum, yang memungkinkan dirinya hidup di antara sejumlah individu dalam masyarakat, seperti: dalam suku, desa, ataupun kota. Watak kehidupan manusia juga telah menjadikan manusia menjalani kehidupan khusus, yang menyebabkan dirinya hidup di rumahnya dan di antara anggota keluarga lainnya. Islam telah mengatur kehidupan khusus ini dengan hukum-hukum tertentu yang dapat memecahkan berbagai persoalan yang mungkin dihadapi oleh manusia, baik pria maupun wanita. Di antara hukum yang paling menonjol dalam persoalan ini ialah ketentuan bahwa Islam telah menetapkan kehidupan khusus seseorang di dalam rumahnya berada dalam kontrol dan wewenang penuh dirinya semata, seraya melarang siapa pun memasuki rumahnya tanpa seizinnya. Allah Swt. berfirman:


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Sikap demikian lebih baik bagi kalian agar kalian selalu ingat. (QS an-Nûr [24]: 27)


Dalam ayat ini, Allah Swt. melarang manusia memasuki rumah orang lain kecuali seizin penghuninya. Allah Swt. juga menganggap bahwa, memasuki rumah orang lain tanpa izin penghuninya sebagai tindakan liar, sedangkan memasuki rumah orang lain dengan seizin penghuninya dianggap sebagai tindakan sopan. Firman Allah Swt. yang berbunyi hattâ tasta’nisû menunjukkan makna tersamar (kinâyah), yakni permintaan izin. Sebab, tidak mungkin ada isti‘nâs (kerelaan) kecuali dengan dengan adanya izin. Dengan kata lain, kalimat hattâ tasta’nisû bermakna hattâ tasta’dzinû.


Imam ath-Thabrânî telah meriwayatkan sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:

مَنْ أَدْخَلَ عَيْنَهُ فِيْ بَيْتٍ مِنْ غَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهِ فَقَدْ دَمَّرَهُ

Siapa saja yang mengarahkan pandangannya (mengintip) ke dalam rumah orang lain tanpa seizin penghuninya, berarti ia telah benar-benar menghancurkannya.


Imam Abû Dâwûd juga menuturkan riwayat sebagai berikut:

أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ r أَأَسْتَأْذِنُ عَلَى أُمِّيْ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: إِنَّهُ لَيْسَ لَهَا خَاذِمٌ غَيْرِيْ أَأَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا كُلَّمَا دَخَلْتُ؟ قَالَ: أَتُحِبُّ أَنْ تَرَاهَا عَرْيَانَةً؟ قَالَ الرَّجُلُ: لاَ. قَالَ: فَاسْتَأْذِنْ.

Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Apakah aku harus meminta izin kepada ibuku?” Beliau menjawab, “Tentu saja.” Laki-laki itu kemudian berkata lagi, “Sesungguhnya ibuku tidak memiliki pembantu selain diriku. Lalu, apakah setiap kali aku masuk (rumah) harus meminta izin?”

Rasulullah saw. balik bertanya, “Apakah kamu senang melihat ibumu dalam keadaan telanjang?” Laki-laki itu pun berkata, “Tentu tidak.” Selanjutnya, beliau pun bersabda, “Oleh karena itu, mintalah izin kepadanya.”


Dalil-dalil di atas menunjukkan larangan bagi siapa pun untuk memasuki rumah tanpa seizin pemiliknya. Dalam konteks ini, tidak dibedakan lagi apakah pemilik rumah itu seorang Muslim ataukah non-Muslim. Alasannya, meskipun ayat di atas ditujukan kepada kaum Muslim, tetapi mereka diposisikan sebagai orang yang meminta izin. Sementara itu, rumah-rumah yang mungkin hendak dimasuki oleh mereka adalah bersifat mutlak tanpa ada pembatasan dan bersifat umum tanpa ada pengkhususan, sehingga mencakup semua rumah.

Dengan demikian, dalil-dalil di atas, secara tegas, telah menetapkan adanya pengakuan akan kehormatan rumah dan pengistimewaan kehidupan khusus dengan peraturan-peraturan tertentu. Di antaranya adalah ketentuan untuk meminta izin bagi siapa pun (yang bukan penghuninya) yang ingin memasukinya. Jika orang yang meminta izin tidak menjumpai seorang pun di dalam rumah yang hendak dimasukinya, ia tidak boleh masuk sampai ada izin untuknya. Jika penghuninya mengatakan, “Kembalilah!” maka ia wajib kembali dan tidak boleh memaksa untuk masuk. Allah Swt. berfirman:


Jika kalian tidak menjumpai seorang pun di dalamnya, janganlah kalian memasukinya sebelum kalian mendapat izin. Jika dikatakan kepada kalian, “Kembalilah kamu!” maka hendaklah kalian segera kembali. Sikap demikian adalah lebih suci bagi kalian. Allah Swt. Mahatahu atas apa yang kalian kerjakan. (QS an-Nûr [24]: 28)


Dengan kata lain, ‘Tidak boleh kalian bersikap memaksa dalam meminta izin atau memaksa agar dibukakan pintu. Tidak boleh pula kalian berdiri seraya menunggu-nunggu di depan pintu’.

Ketentuan ini berlaku dalam kaitannya dengan rumah yang ada penghuninya. Sementara itu, dalam hubungannya dengan rumah yang tidak berpenghuni, maka harus dipertimbangkan: jika orang yang hendak memasuki memiliki barang atau keperluan di rumah tersebut, ia boleh memasukinya, walaupun tanpa ada izin. Ketentuan ini merupakan pengecualian dari rumah yang diharuskan meminta izin lebih dulu sebelum memasukinya. Allah Swt. berfirman:


Tidak ada dosa atas kalian memasuki rumah yang tidak disediakan untuk didiami, sementara di dalamnya ada keperluan kalian. Allah Swt. Mahatahu atas apa yang kalian nyatakan dan apa yang kalian sembunyikan. (QS an-Nûr [24]: 28)


Mafhûm mukhâlafah (pemahaman kebalikan) dari ayat ini bermakna, ‘Jika kalian tidak memiliki keperluan di dalamnya, janganlah kalian memasukinya’.

Artinya, pengecualian ini khusus terkait dengan rumah yang memang tidak dihuni, sementara di dalamnya terdapat keperluan orang yang hendak memasukinya. Dengan hukum-hukum yang berkaitan dengan permintaan izin seperti ini, suasana kehidupan khusus dapat terjaga dari kebisingan pengetuk pintu, dan orang-orang yang berada di dalam rumah pun akan merasa aman dari mereka yang ada di luar rumah.

Ketentuan ini berlaku bagi selain hamba sahaya dan anak-anak. Hamba sahaya dan anak-anak yang belum baligh boleh memasuki rumah tanpa meminta izin penghuninya terlebih dulu, kecuali dalam tiga waktu yaitu: sebelum shalat subuh, menjelang zuhur, dan setelah shalat isya. Dalam tiga keadaan ini, mereka harus meminta izin. Waktu-waktu tersebut dianggap sebagai ‘aurat’. Pada waktu-waktu tersebut, biasanya orang mengganti bajunya menjelang tidur atau setelah bangun tidur. Sebelum subuh adalah waktu orang bangun tidur dan mengganti pakaian tidurnya; menjelang zuhur adalah waktu istirahat siang atau tidur dan orang-orang juga biasa berganti pakaian; sedangkan setelah shalat isya adalah waktu orang untuk tidur dan mengganti pakaian biasa dengan pakaian tidur. Tiga keadaan ini dipandang sebagai aurat yang mengharuskan para hamba sahaya dan anak-anak yang belum baligh meminta izin terlebih dulu. Di luar ketiga waktu tersebut, mereka boleh memasuki rumah tanpa izin. Sementara itu, bagi anak-anak yang kemudian menjadi baligh, hak mereka hilang, sehingga statusnya sama dengan orang lain, yaitu harus meminta izin. Allah Swt. berfirman:


Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki ataupun perempuan) yang kalian miliki dan anak-anak yang belum balig di antara kalian meminta izin kepada kalian tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat subuh; ketika kalian menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari; dan sesudah shalat isya. (Itulah) tiga aurat bagi kalian. Tidak ada dosa atas kalian dan tidak pula atas mereka di luar waktu-waktu itu. Mereka melayani kalian; sebagian kalian (ada keperluan) kepada sebagian yang lain. Demikianlah Allah Swt. menjelaskan ayat-ayatnya kepada kalian. Allah Swt. Mahatahu dan Mahabijaksana. Jika anak-anak kalian telah balig, hendaklah mereka meminta izin sebagaimana orang-orang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah Swt. menjelaskan ayat-ayat-Nya. Allah Swt. Mahatahu dan Mahabijaksana. (QS an-Nûr [24]: 58-59)


Dengan demikian, hukum Islam telah memelihara kehidupan khusus di rumah dari para pengetuk pintu yang hendak memasukinya; tidak dibedakan apakah mereka itu orang-orang asing, mahram yang dekat, maupun sanak-famili. Di antara hukum-hukum kehidupan khusus yang mengatur keadaan di dalam rumah adalah ketentuan bahwa, seorang wanita hidup bersama para wanita atau bersama mahram-nya. Alasannya, karena terhadap merekalah seorang wanita boleh menampakkan bagian anggota tubuh tempat melekatnya perhiasannya, di luar bagian yang tidak perlu ditampakkan dalam kehidupan khusus di dalam rumah. Selain sesama kaum wanita atau orang-orang yang bukan mahram-nya, tidak boleh hidup bersama mereka. Sebab, seorang wanita tidak boleh menampakkan kepada mereka bagian anggota tubuh tempat melekatnya perhiasan, yaitu bagian-bagian tubuh—selain wajah dan kedua telapak tangannya yang memang boleh untuk ditampakkan—yang biasa tampak pada seorang wanita pada saat melakukan suatu aktivitas di dalam rumah. Jadi, kehidupan khusus dibatasi hanya untuk wanita—tanpa dibedakan apakah Muslimah ataukah bukan, karena semuanya adalah termasuk wanita—dan para mahramnya. Ketentuan ini—yakni bahwa wanita dilarang menampakkan anggota tubuh yang menjadi perhiasannya terhadap pria asing tetapi tidak dilarang terhadap para mahramnya—merupakan bukti yang jelas bahwa kehidupan khusus dibatasi hanya untuk para mahram saja. Allah Swt. berfirman:


Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, serta janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak pada dirinya. Hendaklah mereka pun menutupkan kain kerudung ke seputar dadanya. Janganlah mereka menampakkan perhiasannya selain kepada suami mereka, ayah mereka, mertua laki-laki mereka, anak-anak kandung mereka, anak-anak tiri mereka, saudara laki-laki mereka, keponakan-keponakan (dari saudara laki-laki mereka), saudara perempuan mereka, keponakan-keponakan (dari saudara perempuan mereka), wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki, pelayan laki-laki yang tidak lagi memiliki hasrat seksual, atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. (QS an-Nûr [24]: 31)


Dalam ayat ini, status hamba sahaya disamakan dengan para mahram. Demikian pula orang-orang yang tidak memiliki hasrat seksual terhadap wanita; baik karena telah tua-renta, dikebiri, atau karena telah terpotong alat kelaminnya; ataupun orang-orang sejenisnya yang tidak memiliki lagi hasrat seksual terhadap wanita. Orang-orang semacam inilah yang boleh berada dalam kehidupan khusus. Para pria asing, yakni selain yang disebutkan di atas, sama sekali tidak boleh berada dalam kehidupan khusus, sekalipun mereka adalah para kerabat yang tidak termasuk mahram-nya. Alasannya, terhadap mereka, wanita telah dilarang menampakkan bagian anggota badan tempat melekatnya perhiasannya, yakni yang biasa tampak di dalam rumahnya.

Dengan demikian, interaksi antara pria asing dengan wanita di dalam kehidupan khusus hukumnya adalah haram secara mutlak. Di luar itu, yakni pada keadaan-keadaan tertentu yang telah ditentukan oleh syariat Islam, seperti pada acara jamuan makan dan silaturahmi (dengan syarat bahwa wanita hendaknya disertai mahram-nya dan harus menutup seluruh auratnya), wanita boleh berinteraksi dengan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse