Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

PENGATURAN HUBUNGAN PRIA DAN WANITA

Minggu, 14 Maret 2010

Islam telah menjadikan kerjasama antara pria dan wanita dalam berbagai aspek kehidupan serta interaksi antar sesama manusia sebagai perkara yang pasti di dalam seluruh aspek muamalat. Sebab, semuanya adalah hamba Allah Swt., dan semuanya saling menjamin untuk mencapai kebaikan serta menjalankan ketakwaan dan pengabdian kepada-Nya. Ayat-ayat al-Quran telah menyeru manusia kepada Islam tanpa membedakan apakah dia seorang pria ataukah wanita. Allah Swt. berfirman:


Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah Rasulullah yang diutus kepada kalian semuanya.” (QS al-A‘râf [7]: 158)


Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan kalian. (QS an-Nisâ’ [4]: 1)



Ada juga sejumlah ayat yang khusus ditujukan hanya kepada kaum Mukmin, baik pria ataupun wanita, agar mereka menerapkan hukum-hukum Islam, sebagaimana ayat berikut:


Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan Rasul-Nya jika Rasul menyeru kalian kepada suatu yang bisa memberikan kehidupan kepada kalian. (QS al-Anfâl [8]: 24)


Di samping itu, ada juga ayat-ayat yang bersifat umum yang ditujukan kepada pria maupun wanita, seperti ayat-ayat berikut ini:


Telah diwajibkan atas kalian berpuasa. (QS al-Baqarah [2]: 183)


Dirikanlah shalat oleh kalian. (QS al-Baqarah [2]: 110)


Ambillah oleh kamu sebagian harta mereka. (QS at-Taubah [9]: 103)


Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang fakir, miskin,… (QS at-Taubah [9] : 60)


(QS at-Taubah [9]: 34)
Orang-orang yang menyimpan emas dan perak….


Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula beriman pada Hari Akhir. (QS at-Taubah [9]: 29)


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai pemimpin jika mereka lebih mengutamakan kekafiran ketimbang keimanan. (QS at-Taubah [9]: 23)


Masih ada sejumlah ayat lain yang semuanya bersifat umum, yakni berkaitan dengan pria maupun wanita. Pelaksanaan berbagai taklif dari nash-nash tadi boleh jadi meniscayakan adanya ijtimâ‘ (pertemuan dan interaksi) antara pria dan wanita, bahkan dalam pelaksanaan aktivitas yang bersifat individual sekalipun seperti shalat. Semua itu menunjukkan bahwa, Islam membolehkan adanya interaksi antara pria dan wanita untuk melaksanakan berbagai taklif hukum dan segala aktivitas yang harus mereka lakukan.

Meskipun demikian, Islam sangat berhati-hati menjaga masalah ini. Oleh karena itulah, Islam melarang segala sesuatu yang dapat mendorong terjadinya hubungan yang bersifat seksual yang tidak disyariatkan. Islam melarang siapa pun, baik wanita maupun prianya, keluar dari sistem Islam yang khas dalam mengatur hubungan lawan jenis. Larangan dalam persoalan ini demikian tegas. Atas dasar itu, Islam menetapkan sifat ‘iffah (menjaga kehormatan) sebagai suatu kewajiban. Islam pun menetapkan setiap metode, cara, maupun sarana yang dapat menjaga kemuliaan dan akhlak terpuji sebagai sesuatu yang juga wajib dilaksanakan; sebagaimana kaidah ushul menyatakan:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Suatu kewajiban yang tidak akan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pun hukumnya adalah wajib.


Lebih dari itu, Islam telah menetapkan hukum-hukum Islam tertentu yang berkenaan dengan hal ini. Hukum-hukum tersebut banyak sekali jumlahnya. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, Islam telah memerintahkan kepada manusia, baik pria maupun wanita, untuk menundukkan pandangan. Allah Swt. berfirman:


Katakanlah kepada laki-laki Mukmin, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Sikap demikian adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahatahu atas apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita Mukmin, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. (QS an-Nûr [24]: 30-31)


Kedua, Islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian secara sempurna, yakni pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Mereka hendaknya mengulurkan pakaian hingga menutup tubuh mereka. Allah Swt. berfirman:


Janganlah mereka menampakkan perhiasannya selain yang biasa tampak padanya. Hendaklah mereka menutupkan kerudung (khimâr) ke bagian dada mereka. (QS an-Nûr [24]: 31)


Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan wanita-wanita Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. (QS al-Ahzâb [33]: 59)


Ayat di atas bermakna, hendaklah mereka tidak menampakkan tempat melekatnya perhiasan mereka, kecuali yang boleh tampak, yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Khimâr maknanya adalah penutup kepala, sedangkan jayb (bentuk tunggal dari kata juyûb) adalah bagian baju seputar dada dan leher, yaitu bagian untuk membuka baju di sekitar leher dan dada. Dengan ungkapan lain, ayat di atas mengatakan, hendaklah mereka menurunkan penutup kepala (kerudung) ke bagian leher dan dada mereka. Sementara itu, kalimat al-idnâ’u min al-jilbâb maknanya adalah mengulurkan kain baju kurung hingga ke bawah (irkhâ’).

Ketiga, Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari suatu tempat ke tempat lain selama sehari semalam, kecuali jika disertai dengan mahram-nya. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ يَحِلُّ لإِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ لَهَا

Tidak dibolehkan seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan selama sehari semalam, kecuali jika disertai mahram-nya.


Keempat, Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali wanita itu disertai mahramnya. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ

Tidak diperbolehkan seorang pria dan wanita berkhalwat, kecuali jika wanita itu disertai mahram-nya.


Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw. berkhutbah sebagai berikut:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِإِمْرَأَةٍ إِلاَّ وَمَعَهَا مَحْرَمٌ، وَلاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ إِمْرَأَتِيْ خَرَجَتْ حَاجَّةٌ وَإِنْ إِكْتَتَبْتُ فِيْ غَزْوَةِ كَذَا وَكَذَا. قَالَ: فَانْطَلَقْ فَحَجَّ مَعَ إِمْرَأَتِكَ

Janganlah sekali-kali seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita kecuali jika wanita itu disertai seorang mahramnya. Tidak boleh pula seorang wanita melakukan perjalanan kecuali disertai mahram-nya.

Tiba-tiba salah seorang sahabat berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah saw., sesungguhnya istriku hendak pergi menunaikan ibadah haji, sedangkan aku merencanakan pergi ke peperangan ini dan peperangan itu.” Rasulullah saw. menjawab, “Pergilah engkau menunaikan ibadah haji bersama istrimu.”


Kelima, Islam melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya. Karena suami memiliki hak atas istrinya, maka tidak dibenarkan seorang istri keluar dari rumah suaminya kecuali atas izinnya. Jika seorang istri keluar tanpa seizin suaminya, maka perbuatannya termasuk ke dalam kemaksiatan, dan dia dianggap telah berbuat nusyûz (pembangkangan) sehingga tidak lagi berhak mendapatkan nafkah dari suaminya.

Ibn Baththah telah menuturkan sebuah riwayat dalam kitab Ahkâm an-Nisâ’ yang bersumber dari penuturan Anas r.a. Disebutkan bahwa, ada seorang laki-laki yang bepergian seraya melarang istrinya keluar rumah. Kemudian dikabarkan bahwa ayah wanita itu sakit. Wanita itu lantas meminta izin kepada Rasulullah saw. agar dibolehkan menjenguk ayahnya. Rasulullah saw. kemudian menjawab:

إِتَّقِي اللهَ وَلاَ تُخَالِفِيْ زَوْجَكِ

Hendaklah engkau takut kepada Allah dan janganlah engkau melanggar pesan suamimu.


Tidak lama kemudian, ayahnya meninggal. Wanita itu pun kembali meminta izin kepada Rasulullah saw. agar dibolehkan melayat jenazah ayahnya. Mendengar permintaan itu, beliau kembali bersabda:

إِتَّقِي اللهَ وَلاَ تُخَالِفِيْ زَوْجَكِ

Hendaklah engkau takut kepada Allah dan janganlah engkau melanggar pesan suamimu.


Allah Swt. kemudian menurunkan wahyu kepada Nabi saw.:

إِنِّيْ قَدْ غَفَرْتُ لَهَا بِطَاعَةِ زَوْجِهَا

Sungguh, Aku telah mengampuni wanita itu karena ketaatan dirinya kepada suaminya.


Keenam, Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya jamaah (komunitas) kaum wanita terpisah dari jamaah (komunitas) kaum pria; begitu juga di dalam masjid, di sekolah, dan lain sebagainya. Artinya, Islam telah menetapkan bahwa, seorang wanita hendaknya hidup di tengah-tengah kaum wanita, sedangkan seorang pria hendaknya hidup di tengah-tengah kaum pria. Islam juga telah menetapkan bahwa, shaf (barisan) shalat kaum wanita berada di bagian belakang shaf shalat kaum pria. Islam pun menetapkan bahwa, kehidupan para wanita hanya bersama dengan para wanita atau mahram-mahram mereka. Meski demikian, dalam Islam, seorang wanita dapat melakukan aktivitas yang bersifat umum seperti jual-beli dan sebagainya. Akan tetapi, begitu ia selesai melakukan aktivitasnya, hendaknya ia segera kembali hidup bersama kaum wanita atau mahram-mahram-nya.

Ketujuh, Islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan-urusan muamalat; bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara wanita dengan pria yang bukan mahram-nya atau jalan-jalan bersama. Sebab, kerjasama antar keduanya bertujuan agar wanita mendapatkan apa yang menjadi hak-haknya dan kemaslahatannya, di samping agar mereka melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.

Dengan hukum-hukum ini, Islam dapat menjaga interaksi pria dan wanita, sehingga tidak menjadi interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual. Artinya, interaksi mereka tetap dalam koridor kerjasama semata dalam menggapai berbagai kemaslahatan dan melakukan berbagai macam aktivitas. Dengan hukum-hukum inilah, Islam mampu memecahkan hubungan-hubungan yang muncul dari adanya sejumlah kepentingan individual, baik pria maupun wanita, ketika masing-masing saling bertemu dan berinterkasi. Islam pun mampu memberikan solusi terhadap hubungan-hubungan yang mungkin mengemuka sebagai implikasi dari adanya interaksi antara pria dan wanita, seperti: masalah kewajiban memberi nafkah, status perwalian anak, pernikahan, dan lain-lain. Caranya adalah dengan membatasi interaksi yang terjadi—sesuai dengan maksud diadakannya hubungan tersebut—serta dengan menjauhkan pria dan wanita dari interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse