Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

Pernikahan Mulia Nabi Muhammad saw

Selasa, 16 Maret 2010

Nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau kalian nikahi budak-budak yang kalian miliki. Hal itu adalah lebih dekat pada sikap tidak berbuat aniaya. (QS an-Nisâ’ [4]: 3)


Ayat ini turun pada akhir tahun kedelapan Hijriah, yakni setelah Rasulullah saw. menggauli seluruh istrinya. Pada saat turunnya ayat tersebut, beliau telah menikahi lebih dari empat orang wanita. Akan tetapi, tidak seorang pun dari istri-istrinya itu diceraikan oleh beliau, bahkan beliau tetap memperistri mereka. Ini termasuk salah satu hal yang merupakan kekhususan bagi beliau, yaitu memiliki istri lebih dari empat. Hal ini tidak berlaku bagi kaum Muslim pada umumnya. Di antara kekhususan Rasulullah adalah menikahi lebih dari empat wanita seraya tetap hidup bersama mereka semua, meskipun telah diturunkan ayat yang membatasi jumlah istri tidak boleh lebih dari empat. Perbuatan Nabi saw. tentu tidak akan bertentangan dengan perkataan beliau yang diucapkannya. Oleh karena itu, jika ditemukan adanya kontradiksi antara perkataan dan perbuatan Rasulullah saw., berarti perbuatan itu adalah khusus diperuntukkan bagi beliau, sedangkan perkataan beliau tetap berlaku umum bagi kaum Muslim. S
ebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul fikih, perbuatan Nabi saw. tidak akan bertentangan dengan perkataan beliau yang khusus ditujukan bagi umatnya. Kalau pun perbuatan Nabi saw. bertentangan dengan perkataannya sendiri, berarti perbuatan tersebut khusus berlaku hanya untuk beliau. Sebab, perintah Nabi saw. kepada umatnya, yang memang khusus ditujukan bagi mereka, adalah diambil dari dalil-dalil tentang keharusan meneladani beliau dengan cara mengikuti beliau, baik dalam ucapan maupun penbuatan. Artinya, perkara yang umum dibangun atas perkara yang khusus. Kaum Muslim tidak boleh meneladani Nabi saw. dalam perbuatan yang bertentangan dengan perkara-perkara yang telah diperintahkan kepada mereka, misalnya yang berkaitan dengan kebolehan beliau beristri lebih dari empat, mengawini wanita yang menyerahkan dirinya kepada beliau, dan sebagainya, sebagaimana yang telah ditunjukkan di dalam berbagai ayat al-Quran al-Karîm. Allah Swt. berfirman:


Wahai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya; hamba-hamba sahaya yang kamu miliki yang merupakan bagian dari apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah kepadamu; anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu; anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu; anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu; anak-nak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu; dan perempuan Mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, dan tidak untuk orang-orang Mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. (QS al-Ahzâb [33]: 50)


Dalam ayat ini ada pernyataan, khâlishatan laka min dûnil mu’minîn (sebagai pengkhususan bagimu, dan tidak untuk orang-orang Mukmin). Kata khâlishah adalah mashdar mu’akkad (kata yang menguatkan atau mempertegas) apa saja yang ada dalam kalimat sebelumnya. Kalimat itu berarti, ‘Kami (Allah) telah mengkhususkan bagimu pengghalalan terhadap apa saja yang telah Kami halalkan’. Dalilnya adalah bahwa hal itu mencakup secara keseluruhan apa saja yang telah disebutkan sebelumnya, yang khusus ditujukan kepada Rasulullah saw.

Penghalalannya disebutkan setelah penghalalan empat orang wanita, yakni penghalalan mengawini mereka; memiliki hamba sahaya secara langsung dari hasil rampasan perang (fa’î), anak-anak perempuan dan kerabat dekat yang turut berhijrah bersama Nabi saw.; dan wanita-wanita yang menyerahkan dirinya kepada beliau. Semua itu disebutkan dengan disertai adanya penekanan (tawkîd). Penekanan ini lebih dikuatkan lagi oleh kalimat berikutnya setelah pengertiannya disebutkan secara sempurna, juga setelah kalimat, min dûnil mu’minîn (bukan untuk orang-orang Mukmin), yakni firman Allah yang maknanya, ‘Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki’. Artinya, ‘Semua ini adalah berbeda dengan apa yang telah Kami wajibkan kepada mereka (kaum Mukmin)’. Oleh karena itu, Allah Swt. berfirman setelah itu yang maknanya demikian, ‘supaya tidak menjadi kesempitan bagimu’, yakni agar tidak menjadi beban atas Nabi Muhammad saw.

Atas dasar ini, perkawinan Nabi saw. tidak dapat dijadikan contoh untuk dipraktekkan, dan tidak juga bisa dijadikan objek pengkajian hukum Islam, karena perkara tersebut khusus berlaku bagi beliau saja. Apalagi, realitas menunjukkan bahwa, hal itu terkait dengan perkawinan Nabi saw.; bukan perkawinan seorang laki-laki biasa yang melakukan perkawinan dengan semata-mata dilatarbelakangi oleh dorongan biologis dan pemenuhan hasrat seksual, dan semata-mata didasarkan pada aspek hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan.

Dengan merujuk pada kenyataan sejarah, kita akan menemukan bahwa, Nabi saw. mengawini Khadîjah r.a. pada saat beliau berusia 23 tahun. Khadîjah r.a. wafat pada tahun kesebelas setelah ke-Nabian, atau dua tahun sebelum hijrah setelah pembatalan pemboikotan (embargo) beberapa bulan sebelumnya, atau sebelum Nabi saw. pergi ke Thaif, yaitu tahun 620 M. Pada saat Khâdijah wafat, usia Nabi saw. sudah mencapai lima puluh tahun. Sejak menikah dengan Khadîjah r.a., beliau belum pernah memikirkan akan melakukan pernikahan lagi dan memiliki lebih dari satu istri hingga wafatnya Khadîjah r.a. Padahal, saat itu poligami sudah merupakan tradisi di kalangan masyarakat Arab. Beliau telah hidup bersama Khadîjah r.a. selama tujuh belas tahun sebelum diangkat sebagai Rasul dengan penuh kebahagiaan dan sukacita. Beliau tetap tinggal bersamanya selama sebelas tahun setelah pengangkatannya sebagai Rasul; mengarungi kehidupan dakwah dan kehidupan yang berhadapan dengan berbagai pemikiran kufur, tanpa pernah berpikir akan menikah lagi.

Sebelum dan setelah pernikahannya dengan Khadîjah, orang tidak pernah mengenal beliau sebagai lelaki yang mudah tergoda oleh perempuan. Padahal, saat itu para wanita Jahiliah biasa bersolek untuk menggoda para lelaki. Oleh karena itu, sangat aneh sekali kalau kita sampai menemukan bahwa, setelah berusia 50 tahun, Nabi saw. berubah dengan tiba-tiba, yaitu dengan tidak merasa cukup memiliki istri satu saja, melainkan menikah lagi dan terus menikah lagi sampai memiliki sebelas orang istri. Dalam usia 55 tahun (dasawarsa keenam dari usianya) saja, beliau telah menikahi lebih dari 7 orang istri, dan pada usia 57 tahun (menginjak usia 60 tahun) atau mengawali usia 70 tahun (dasawarsa ketujuh dari usianya), beliau telah mengumpulkan 9 orang istri. Dalam usia ke sekian itu, apakah mungkin perkawinannya dengan banyak istri itu didorong oleh keinginan beliau terhadap wanita dan dorongan untuk memenuhi naluri seksualnya dengan menampakkan kebutuhan biologisnya? Ataukah karena ada alasan lain berupa fakta kehidupan yang harus beliau jalani yang mengharuskan beliau bertindak demikian, yaitu kehidupan yang terkait dengan penyampaian risalah Islam kepada seluruh manusia? Untuk memahami hal itu, kami akan memaparkan berbagai peristiwa pernikahan Nabi saw.

Pada tahun kesebelas setelah ke-Nabian atau pada tahun wafatnya Khadîjah r.a., Rasulullah saw. berpikir untuk menikah, sementara usia beliau waktu itu 50 tahun. Beliau kemudian meminang ‘Aisyah binti Abû Bakar, putri sahabatnya, Abû Bakar, salah seorang dari kelompok orang yang pertama beriman kepada beliau dari kalangan pria. ‘Aisyah r.a., yang saat itu masih kecil, yakni berusia enam tahun, kemudian beliau nikahi. Akan tetapi, beliau belum tinggal serumah dengan ‘Aisyah, kecuali tiga tahun setelah itu, yaitu setelah beliau berhijrah dan usia ‘Aisyah r.a. menginjak sembilan tahun. Akan tetapi, tidak lama setelah akad nikahnya dengan ‘Aisyah, beliau menikah lagi dengan Saudah binti Zum‘ah, janda mendiang Sukran ibn ‘Amr ibn ‘Abdi Syams, salah seorang Muslim yang turut berhijrah ke Habsyah yang kemudian kembali ke Makkah, lalu wafat di sana. Saudah bersama suaminya itu telah memeluk Islam. Ia kemudian turut berhijrah bersama suaminya, menderita berbagai rintangan yang juga dialami oleh suaminya, dan menemui berbagai cobaan sebagaimana juga dialami suaminya. Setelah suaminya wafat, ia dinikahi oleh Rasulullah saw. Pada diri Saudah tidak ditemukan garis-garis kecantikan, kekayaan, ataupun kedudukan yang memungkinkan Rasulullah bisa memperoleh kemewahan dunia dengan menikahinya. Artinya, jika Rasulullah saw. menikahi Saudah setelah ditinggal wafat oleh suaminya, maka dapat dimengerti bahwa, pernikahan beliau saat itu adalah dalam rangka mengangkat kedudukannya serta meninggikan martabatnya menjadi Ummul Mukminin. Setelah Rasulullah saw. hijrah, beliau kemudian membangun tempat tinggal Saudah di sisi masjid. Ini merupakan tempat pertama yang dibangun Rasulullah saw. untuk istri-istrinya.

Kemudian, pada tahun pertama Hijrah, yakni setelah Nabi saw. berhasil mempersaudarakan orang-orang Anshar dengan kaum Muhajirin, beliau membangun tempat tinggal untuk ‘Aisyah r.a. di samping tempat tinggal Saudah yang terletak di sisi masjid. Tempat itu, yakni rumah ‘Aisyah, sekaligus beliau jadikan sebagai tempat singgahnya Abû Bakar sebagai sahabat sekaligus pembantu beliau dalam urusan pemerintahan.

Pada tahun kedua Hijrah, yakni seusai Perang Badar dan sebelum Perang Uhud, Rasulullah saw. menikahi Hafshah binti ‘Umar ibn al-Khaththâb. Sebelumnya, Hafshah adalah istri Khunays, salah seorang yang termasuk angkatan pertama yang memeluk Islam. Khunays wafat tujuh bulan sebelum Rasulullah saw. menikahi Hafshah. Dengan resminya Nabi saw. menikahi Hafshah, beliau kemudian menjadikan pembantu keduanya dalam urusan pemerintahan dan sekaligus sahabatnya, yaitu ‘Umar ibn al-Kthathâb, untuk menjumpainya di tempat putrinya itu.

Pernikahan Nabi saw. dengan ‘Aisyah dan Hafshah berarti merupakan pernikahan beliau dengan kedua putri pembantunya itu. Keduanya adalah putri kedua sahabat beliau yang selalu menyertai beliau dalam urusan dakwah, pemerintahan, peperangan, dan berbagai urusan lainnya. Dengan demikian, pernikahan beliau bukanlah perkawinan biasa (yang didasari oleh motif seksual semata, pen). Jika memang pernikahan Nabi saw. dengan ‘Aisyah adalah karena kecantikannya, maka hal yang sama tidak dijumpai dalam diri Hafshah. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, pernikahan Nabi saw. dengan ‘Aisyah dan Hafshah bukan didasarkan pada tujuan untuk memuaskan kebutuhan biologisnya.

Pada tahun kelima Hijrah, yakni dalam Peperangan Bani Mushthaliq, Nabi saw. menikahi Juwayriah binti al-Hârits ibn Abî Dharâr. Pernikahannya dengan Juwayriah adalah dalam rangka mempererat hubungannya dengan ayahnya dan demi mengangkat kedudukan Juwayriyah sendiri, di samping ia merupakan bagian dari rampasan perang (sabâyâ) dari bani Mushthaliq yang telah diberikan dan dimiliki oleh salah seorang Anshar. Juwayriah adalah putri pemimpin bani Mushthaliq, yang bersedia membayar tebusan dengan dirinya dan tuannya, sehingga menjadikan dirinya hamba sahaya. Pembayaran tebusan itu dipermudah setelah diketahui bahwa Juwayriah adalah putri pemimpin bani Mushthaliq. Ayahnya kemudian datang menjumpai Nabi saw. untuk membayar tebusan putrinya. Lalu, dibayarlah tebusan itu. Segera setelah itu, ia memeluk Islam dan beriman kepada risalah Nabi saw. Ia lantas membawa putrinya, Juwayriah, ke hadapan Nabi saw. yang segera memeluk Islam sebagaimana ayahnya. Nabi saw. kemudian melamarnya dan menikahinya. Beliau telah menikahi putri pemimpin suatu kabilah yang telah ditundukkannya. Dengan itu, beliau ingin mendapatkan sekaligus menarik rasa cinta pemimpin kabilah itu.

Selanjutnya, pada tahun ketujuh Hijrah, yakni setelah kaum Muslim mendapatkan kemenangan dalam Perang Khaibar, Nabi saw. menikahi Shafiyah binti Huyay ibn Akhthab, salah seorang tokoh Yahudi. Dalam peristiwa pernikahan ini, Shafiyah awalnya temasuk salah seorang dari bagian rampasan perang yang terdiri dari kaum wanita dan menjadi bagian (milik) kaum Muslim yang berhasiI menaklukkan benteng-benteng Khaibar. Sebagian kaum Muslim berkata kepada Nabi saw., ‘Shafiyah adalah tokoh bani Qurayzhah dan bani Nadhir. Ia tidak layak, kecuali untuk engkau’.

Rasulullah saw. kemudian memerdekakannya sekaligus menikahinya. Hal itu dilakukan dalam rangka memelihara dan menjaganya, membebaskannya dari perbudakan karena merupakan tawanan perang, sekaligus mengangkat martabatnya. Ada riwayat bahwa Abû Ayyûb Khâlid al-Anshârî merasa khawatir kalau-kalau rasa dendam muncul pada diri Shafiyah terhadap Nabi saw. yang telah membunuh bapaknya, suaminya, dan kaumnya. Oleh karena itu, Abû Ayyûb berjaga-jaga sambil menyandang pedangnya di sekitar kemah Rasulullah saw. yang sedang bermalam pertama dengan Shafiyah dalam perjalanan pulang dari Khaibar. Memasuki waktu subuh, Rasulullah saw. melihat ke arahnya dan bertanya, ‘Ada apa denganmu’?

Abû Ayyûb menjawab, ‘Aku mengkhawatirkan dirimu dari wanita itu (maksudnya Shafiyah, pen). Sebab, engkau telah membunuh bapaknya, suaminya, dan kaumnya. Padahal, banyak pengkhianatan terhadap perjanjian yang dilakukan dengan orang-orang kafir’.

Mendengar itu, Nabi saw. kemudian menenangkan Abû Ayyûb. Sementara itu, Shafiyah sendiri tetap mendampingi Nabi saw. dengan tetap menunjukkan kesetiaannya kepada beliau hingga beliau wafat dipanggil oleh Allah Swt.

Pada tahun kedelapan Hijrah, Nabi saw. menikahi Maymunah, saudara perempuan Ummu Fadhl, istri ‘Abbas ibn ‘Abd al-Muthalib. Beliau menikahinya di akhir pelaksanaan Umrah al-Qadhâ’. Riwayat menyebutkan bahwa, tatkala beliau menikahinya, usia Maymunah sekitar 26 tahun. Saudaranyalah, yaitu Ummu Fadhal, yang menjadi wakil dalam pernikahannya. Ketika Maymunah melihat kaum Muslim pada peristiwa Umrah al-Qadhâ, ia tergerak condong pada Islam. ‘Abbas kemudian melamar keponakannya, Muhammad saw., dan menyampaikan keinginannya agar beliau mau menikahi Maymunah r.a. Nabi saw. pun menerimanya. Hari ketiga yang telah ditetapkan (manakala kaum Muslim boleh tinggal di Makkah) dalam Penjanjian Hudaybiah telah berakhir. Akan tetapi, Nabi saw. menginginkan agar pernikahannya dengan Maymunah r.a. menjadi wasilah untuk meningkatkan saling pengertian antara beliau dengan orang-orang Quraisy. Ketika itu, Suhayl ibn ‘Amr dan Huwaythab ibn ‘Abdul ‘Uzza dari pihak Quraisy datang kepada Nabi saw. Mereka berdua kemudian berkata kepada beliau, ‘Waktumu telah habis. Oleh karena itu, pergilah kamu dari sisi kami’!

Nabi saw. berkata, ‘Apa ruginya kalau kalian membiarkan diriku? Aku baru saja menikah. Aku bermaksud mennyelenggarakan pesta pernikahan. Aku akan menyediakan makanan dan kalian bisa menghadirinya’.

Kedua orang itu menjawab, ‘Kami tidak membutuhkan makananmu. Pergilah engkau dari sisi kami’!

Tanpa ragu-ragu, Rasulullah saw. keluar kota Makkah diikuti oleh kaum Muslim.

Sementara itu, pernikahan Nabi saw. dengan Zaynab binti Khuzaymah dan Ummu Salamah adalah pernikahan dengan janda dari dua orang sahabatnya yang syahid di medan perang. Zaynab sebelumnya adalah istri Ubaydah ibn al-Hârits ibn al-Muthalib yang syahid dalam Penang Badar. Zaynab tidak cukup cantik. Namun demikian, ia dikenal dengan kebajikan dan kedermawanannya sehingga digelari Ummul Masâkîn (Ibu Kaum Miskin). Usianya sudah tidak muda lagi. Rasulullah saw. menikah dengan Zaynab pada tahun kedua Hijrah, yakni usai Perang Badar dan setelah suaminya gugur sebagai syahid. Ia hidup bersama Rasulullah saw. kurang dari dua tahun karena kemudian dipangggil oleh Allah Swt. Dengan demikian, ia termasuk satu-satunya istri Nabi saw. yang wafat setelah Khadîjah.

Ummu Salamah adalah mantan istri Abû Salamah. Ia memiliki banyak anak. Abû Salamah mendapat luka yang serius pada Perang Uhud. Setelah agak sembuh lukanya, Nabi saw. memerintahkan kepadanya untuk berangkat ke medan Perang Bani Asad. Pada perang tersebut, dia berhasil mencerai-beraikan musuhnya. Ia kemudian ke Madinah dengan memperoleh banyak ghanîmah. Tidak lama, luka lamanya ketika Perang Uhud kambuh, hingga akhirnya ia wafat. Ketika wafat, Nabi saw. menyaksikannya di atas tempat pembaringannya. Nabi saw. berada di sisinya seraya mendoakannya hingga ia wafat sehingga beliau menutupkan kedua matanya. Empat bulan setelah kematiannya, Rasulullah saw. melamar Ummu Salamah tanpa perantara. Akan tetapi, Ummu Salamah kemudian memaparkan ‘uzur’-nya, yaitu banyaknya anak yang ditinggalkan suaminya, di samping ia sendiri sudah tidak terbilang muda lagi. Namun demikian, Nabi saw. tetap menikahinya dan membesarkan sendiri anak-anaknya itu.

Dengan demikian, kedua istri Rasulullah saw. itu dinikahi semata-mata untuk meringankan beban kedua keluarga sahabatnya yang telah wafat.

Selanjutnya, pernikahan Nabi saw. dengan Ummu Habîbah binti Abî Sufyân adalah pernikahan beliau dengan seorang wanita Mukmin yang telah berhijrah ke Habsyah untuk mempertahankan agamanya, kemudian ia bersikap sabar di jalan Islam setelah suaminya murtad. Ummu Habîbah bernama Ramlah binti Abî Sufyân, tokoh kota Makkah dan pemimpin kaum musyrik. Ia adalah istri dari anak bibinya Rasulullah saw., yaitu ‘Ubaydillâh ibn Jahsy al-Asadi. ‘Ubaydillâh memeluk Islam, demikian pula istrinya, Ramlah, sementara bapaknya tetap dalam kekafiran. Karena khawatir akan siksaan bapaknya, ia berhijrah ke Habsyah bersama suaminya, padahal saat itu ia dalam keadaan hamil yang memberatkannya. Di sana, ia melahirkan putrinya, Habîbah binti ‘Ubaydillâh, yang kemudian menjadi nama yang melekat pada ibunya, sehingga ibunya dipanggil Ummu Habîbah. Namun kemudian, tidak lama setelah itu, suaminya, ‘Ubaydillâh ibn Jahsy murtad dari Islam dan memeluk Nasrani, yakni agama orang-orang Habsyah. Ia berusaha menarik istrinya, Ramlah, keluar dari Islam. Akan tetapi, Ramlah tetap bersabar dalam agamanya. Selanjutnya, Nabi saw. mengirim surat kepada Najâsyî agar ia mewakilinya untuk menikahi Ummu Habîbah. Najâsyî lantas memberitahukan hal itu kepada Ummu Habîbah. Ummu Habîbah kemudian menunjuk wakilnya, Khâlid ibn Sa‘îd ibn ‘Ash dalam pernikahannya. Setelah itu, berlangsunglah pernikahan Rasulullah saw. dengan Ummu Habîbah. Saat itu, Khâlid menjadi wakil Ummu Habîbah, sementara Najâsyî mewakili Rasulullah saw. Selanjutnya setelah kaum Muhajirin Habsyah kembali ke Madinah setelah Perang Khaibar, Ummu Habîbah pun ikut kembali bersama mereka. Ummu Habîbah kemudian memasuki rumah Rasulullah saw. Penduduk Madinah pun lantas mengadakan jamuan pernikahan Rasululah saw. dengan Ummu Habîbah yang sudah mulai tinggal bersama dengan beliau di rumahnya.

Sementara itu, pernikahan Nabi saw. dengan Zaynab binti Jahsyi mengandung beberapa persoalan yang terkait dengan syariat. Pertama adalah dalam rangka menghilangkan apa yang dikenal dengan kafâ’ah (kesetaraan) antara pria dan wanita yang melangsungkan pernikahan. Nabi saw. menikahkan putri bibinya, Zaynab, yang termasuk pemuka Quraisy, dengan pelayannya, seorang budak yang telah dimerdekakan. Kedua adalah dalam upaya meruntuhkan kepercayaan orang-orang Quraisy bahwa siapa saja yang telah mengangkat seorang anak laki-Iaki sebagai anaknya, maka ia tidak boleh menikahi mantan istri anak angkatnya itu. Pernikahan Nabi saw. dengan wanita mantan istri dari mantan budak yang telah dimerdekakannya setelah istrinya diceraikannya adalah dalam rangka meruntuhkan adat-istiadat semacam itu.

Berkaitan dengan kisah pernikahan Nabi saw. dengan Zaynab binti Jahsyi disebutkan bahwa, istrinya itu adalah putri bibinya, Umaymah binti ‘Abdul Muthalib. Zaynab dipelihara dan dibesarkan oleh Nabi saw. Kedudukan Zaynab di sisi beliau adalah seperti anaknya sendiri atau saudara perempuannya yang terkecil. Beliau tentu mengetahui sejauh mana kecantikan Zaynab, sekaligus mengetahui apakah ia memiliki berbagai kecakapan ataukah tidak, sebelum beliau menikahkannya dengan Zayd, pelayan beliau. Nabi saw. tentu menyaksikan pula pertumbuhan Zaynab sejak masa kanak-kanak hingga masa remaja, sehingga tidak ada yang tidak diketahui oleh beliau dari diri Zaynab, bahkan kedudukannya seperti anak perempuannya sendiri. Nabi saw. lalu melamarnya untuk dikawinkan dengan Zayd, bekas budaknya. Akan tetapi, saudara laki-lakinya, yaitu ‘Abdullâh ibn Jahsyi, menolak jika sampai saudara perempuannya itu—yang berasal dari suku Quraisy dari kalangan bani Hasyim, apalagi ia adalah putri dari bibi Rasulullah saw.—dinikahkan dengan bekas budak yang dahulunya dibeli oleh Khadîjah, lalu dimerdekakan oleh Muhammad saw. ‘Abdullâh ibn Jahsyi melihat bahwa pernikahan Zayd dengan Zaynab adalah aib yang amat besar, bahkan di mata orang-orang Arab hal itu dipandang benar-benar memalukan. Jika hal itu terjadi, maka Zaynab tidak akan lagi tergolong wanita mulia, karena telah menikah dengan seorang budak, meskipun telah dimerdekakan.

Akan tetapi, Nabi saw. ingin menghilangkan anggapan-anggapan semacam ini dari jiwa orang-orang yang fanatik terhadap kesukuan (‘ashabiyah), sekaligus memberikan pengertian kepada manusia seluruhnya bahwa tidak ada keutamaan orang Arab atas orang non-Arab, kecuali karena ketakwaannya. Di samping itu, agar orang memahami firman Allah Swt.:


Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. (QS al-Hujurât [49]: 13)


Bagi Zayd tidak ada sesuatu yang menghalangi dirinya untuk menikah dengan wanita itu, kecuali keluarganya saja. Zaynab binti Jahsyi-lah, yakni putri bibi Rasulullah saw., yang akan menanggung risiko dari tindakannya mendobrak kepercayaan dan tradisi orang-orang Arab. Ia akan berhadapan dengan perkataan orang-orang mengenai dirinya yang tidak disenanginya. Sementara itu, Zayd adalah mantan budak yang telah dimerdekakan dan telah dijadikan anak angkat. Menurut kepercayaan dan tradisi Arab, ia berhak mendapatkan warisan sebagaimana anak-anaknya yang lain (anak kandung). Dialah yang akan memperistri Zaynab. Demikianlah, ia mempersiapkan diri demi pengorbanan yang telah disediakan oleh Allah Swt. terhadap propaganda yang menganggap Zayd sebagai anak. Rasulullah saw. memberi pengertian agar Zaynab dan saudaranya, ‘Abdullâh, mau menerima Zayd, mantan budak beliau, menikahi Zaynab. Akan tetapi, Zaynab maupun saudaranya, ‘Abdullâh, tetap menolak hal itu. Allah Swt. lantas menurunkan firman-Nya:


Tidaklah patut bagi Mukmin pria dan tidak pula bagi Mukmin wanita, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan mereka. Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah benar-benar tersesat. (QS al-Ahzâb [33]: 36)


Oleh karena itu, saat itu juga tidak ada pilihan lain bagi ‘Abdullâh dan Zaynab, kecuali kepatuhan, seraya berkata demikian:


Kami berdua rela (menerimanya), wahai Rasulullah.


Setelah itu, berlangsunglah pernikahan antara Zayd dan Zaynab setelah Nabi saw. membayarkan maharnya. Namun demikian, kehidupan rumah tangga Zayd dan Zaynab tidak berjalan sesuai dengan harapan, bahkan terjadi guncangan dan suasana yang keruh. Zaynab tidak menerima sepenuhnya pernikahan itu setelah dilangsungkan, meskipun hal itu adalah perintah Allah Swt. dan Rasul-Nya. Ia tidak bersikap lembut terhadap suaminya. Ia tidak mau tunduk kepada suaminya dan malah sering membangkangnya. Ia membanggakan dirinya di hadapan Zayd bahwa ia tidak mau tunduk terhadap seorang budak. Akibatnya, kehidupan Zayd menjadi keruh. Zayd sering mengadukan hal ini kepada Nabi saw. dan menjelaskan kepada beliau perlakuan istrinya terhadap dirinya, sekaligus meminta izin kepada beliau untuk menceraikannya. Namun, Nabi saw. hanya meminta agar menjaga istrinya baik-baik. Setelah itu, Allah Swt. memberitahu Nabi saw melalui wahyu-Nya bahwa setelah peristiwa ini, Zaynab akan menjadi istri beliau. Bagi Rasulullah saw. sendiri, berita ini akan menjadi peristiwa besar yang amat dikhawatirkannya. Beliau khawatir terhadap perkataan orang-orang yang akan melontarkan kata-kata bahwa Muhammad mengawini istri anaknya sendiri. Orang-orang pasti akan mencela dirinya karena ia telah mengangkat Zayd sebagai anaknya. Inilah alasan mengapa Nabi saw. tidak menghendaki Zayd untuk menceraikan istrinya. Meskipun demikian, Zayd berkali-kali meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk menceraikannya, walau Rasulullah sendiri telah mengetahui bahwa Zaynab bakal menjadi istrinya, sebagaimana hal itu telah Allah Swt. sampaikan kepada dirinya melalui wahyu-Nya. Akan tetapi, Nabi saw. bersabda kepada Zayd:


Jaga baik-baik istrimu, dan takutlah engkau kepada Allah.


Allah Swt. lantas menegur Nabi saw. Ketika itu, Allah Swt. berfirman kepada beliau, ‘Sesungguhnya Aku akan mengawinkanmu dengannya, tetapi engkau malah khawatir terhadap apa yang hendak Allah paparkan’. Inilah makna dari firman Allah Swt. berikut:


Sedangkan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan nyatakan. (QS al-Ahzâb [33]: 37)


Yang dimaksud dengan apa yang disembunyikan oleh Nabi saw. adalah pengetahuannya bahwa beliau akan mengawini Zaynab, meskipun Zaynab adalah istri dari anak angkatnya. Inilah yang akan diungkapkan Allah Swt. kemudian, yaitu perkawinan Nabi saw. dengan wanita yang telah diceraikan oleh anak angkatnya. Alasan mengapa Nabi saw. mengkhawatirkan pernikahan ini—yang kemudian diungkapkan oleh Allah Swt.—adalah karena orang-orang Arab memiliki kebiasaan untuk melekatkan hubungan anak angkat dengan keluarga yang mengangkatnya dan asal-usul keluarga itu, memberikan segala hak anak kandung kepada anak angkat, serta memberlakukan seluruh pelaksanaan hukum, termasuk hukum waris dan nasab, kepada anak angkat. Oleh karena itu, ketika Allah Swt. memberitahukan kepada beliau bahwa Zaynab, istri anak angkatnya, akan menjadi istrinya kelak, beliau khawatir terhadap hal yang telah diketahuinya ini, seraya menegaskan kepada Zayd agar ia menjaga istrinya baik-baik dan jangan menceraikannya. Padahal, Zayd telah meminta izin kepada Nabi saw. berkali-kali sekaligus telah mengadukan seluruh persoalannya kepada beliau, di samping sudah tidak adanya lagi kecocokan dan keserasian hidup sebagai suami-istri sejak perkawinannya dengan Zaiynab. Zayd tetap meminta izin kepada Nabi saw. untuk menceraikan Zaynab. Akhirnya, Nabi saw. pun mengizinkan perceraian itu tanpa diketahui oleh Zayd bahwa kelak Zaynab akan dinikahi oleh beliau sendiri. Begitu pula Zaynab, ia tidak pernah mengetahui bahwa dirinya akan dinikahi oleh Rasulullah saw., sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim, dan An-Nasâ’î melalui Sulaymân ibn Mughîrah. Hadis tersebut dituturkan oleh Tsâbit yang bersumber dari Anas. Ia bertutur demikian:


Tatkala masa ‘iddah Zaynab berakhir, Rasulullah saw. berkata kepada Zayd, “Berilah Zaynab kabar gembira karena aku.” Zayd berkata, “Aku pun pergi menjumpai Zaynab dan berkata kepadanya, ‘Zaynab, bergembiralah! Aku telah diutus oleh Rasulullah saw. untuk menyampaikan sesuatu kepadamu.’” Zaynab berkata, “Aku tidak dapat berbuat apa-apa sampai aku diperintahkan oleh Tuhanku.” Zaynab kemudian bangkit dan pergi menuju ke masjid. Setelah itu, turunlah ayat al-Quran. Bersamaan dengan itu, Rasulullah datang dan masuk ke ruangan (Zaynab) tanpa meminta izin. Ketika itulah Allah menurunkan firman-Nya:


Tatkala Zayd telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami lantas mengawinkan kamu dengannya supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak angkat mereka. (QS al-Ahzâb [33]: 37)


Seandainya Zayd mengetahui, dia tidak akan berkata kepada Zaynab, ‘Bergembiralah’! dan seandainya Zaynab mengetahui, dia pun tidak akan berkata, ‘Terserah perintah Tuhanku’, yaitu akan dipilih oleh Muhammad sebagai istri. Sementara itu, ‘illat perkawinan Nabi saw. dengan Zaynab adalah agar tidak ada keberatan bagi orang-orang Mukmin untuk mengawini istri dari anak-anak angkat mereka.

Demikianlah kisah pernikahan Nabi saw. dengan sejumlah istrinya. Setiap istri Nabi saw. memaparkan suatu fakta mengenai perkawinan beliau yang tujuannya bukan semata-mata untuk pernikahan saja.

Berdasarkan penjelasan di atas, tampaklah makna dari perkawinan Nabi saw. dengan lebih dari empat orang wanita, dan tampak pula arti kekhususan beliau dengan jumlah istri sebanyak itu yang tidak diperuntukkan bagi umatnya. Kita pun mengerti bahwa perkawinan Nabi saw. bukan karena dorongan naluri seksual dari seorang lelaki yang telah berumur lebih dari 50 tahun; seorang lelaki yang amat disibukkan oleh aktivitas dakwah dan urusan Daulah (negara); dan seorang lelaki yang senantiasa disibukkan dengan risalah Tuhannya yang harus disampaikan ke seluruh penjuru dunia. Dia adalah lelaki yang telah membangun masyarakat dengan suatu bentuk bangunan yang baru setelah sebelumnya berhasil meruntuhkan bangunan yang lama. Dia kemudian mendirikan negara yang menantang dunia di hadapannya dalam rangka mengemban dakwah Islam kepada seluruh umat manusia. Setiap orang yang menyibukkan pikirannya untuk membangkitkan umat, menegakkan negara, membangun masyarakat, dan sekaligus mengemban risalah ke seluruh dunia tidak mungkin disibukkan dengan urusan wanita, sehingga ia akan berpaling dari mereka. Sementara itu, Nabi saw. melakukan pernikahan rata-rata sekali dalam setahun. Namun demikian, beliau tetap memikul beban dakwahnya, seraya tetap dapat menikmati kehidupan suami-istri secara wajar, sebagaimana yang juga dinikmati oleh manusia mana saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse