Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

Kehidupan Suami-Istri

Selasa, 16 Maret 2010

Seorang istri bukanlah mitra (syarîkah) suami dalam kehidupan. Istri lebih merupakan sahabat (shâhibah) suami. Pergaulan di antara keduanya bukanlah pergaulan dalam konteks kemitraan. Mereka tidak pula dipaksa untuk menjalani pergaulan sepanjang kehidupannya. Pergaulan di antara keduanya adalah pergaulan dalam konteks persahabatan. Satu sama lain merupakan sahabat sejati dalam segala hal. Persahabatan yang dibangun oleh keduanya adalah persahabatan yang dapat memberikan kedamaian satu sama lain. Allah Swt. telah menjadikan seorang istri sebagai tempat yang penuh kedamaian bagi suami. Allah Swt. berfirman:


Dialah Yang telah menciptakan kalian dari diri satu jiwa, lalu dari jiwa itu Dia menciptakan istrinya agar dia merasa tenteram (senang) kepadanya. (QS al-A‘râf [7]: 189)


Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari diri kalian sendiri supaya kalian merasa tenteram (senang) kepada mereka serta menciptakan di antara kalian rasa welas-asih. (QS ar-Rûm [30]: 21)


As-sakn maknanya adalah al-ithmi’nân (ketenteraman atau kedamaian). Dalam konteks ini berarti, pernikahan akan menjadikan seorang suami merasa tenteram dan damai di sisi istrinya, begitu pula sebaliknya, seorang istri akan merasa tenteram dan damai di sisi suaminya. Mereka, satu sama lain, akan saling tertarik dan tidak saling menjauhi. Ini berarti, watak asli dari sebuah perkawinan adalah ketenteraman, dan dasar dari kehidupan suami-istri adalah kehidupan yang penuh dengan kedamaian. Dengan itu, persahabatan yang tercipta di antara suami-istri adalah persahabatan yang mampu melahirkan suasana kedamaian dan ketenteraman.


Dalam konteks ini, syariat Islam telah menjelaskan apa yang menjadi hak istri atas suaminya dan hak suami atas istrinya. Ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis banyak memaparkan hal ini dengan jelas. Allah Swt. berfirman:


Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (QS al-Baqarah [2]: 228)


Artinya, hak yang dimiliki istri atas suaminya adalah sama sebagaimana hak suami atas istrinya. Oleh karena itu, Ibnu ‘Abbas pernah bertutur demikian:



Sungguh, aku suka berhias untuk istriku, sebagaimana ia berhias untukku. Aku pun suka meminta agar ia memenuhi hakku yang wajib ia tunaikan untukku, sehingga aku pun memenuhi haknya yang wajib aku tunaikan untuknya. Sebab, Allah Swt. telah berfirman:


Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. (yaitu perhiasan, yang tidak tergolong perbuatan dosa). (QS al-Baqarah [2]: 228)



Ibn ‘Abbas juga bertutur:


Para istri berhak untuk merasakan suasana persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami mereka, sebagaimana mereka pun berkewajiban untuk melakukan ketaatan dalam hal yang memang diwajibkan atas mereka terhadap suami mereka.


Allah Swt. telah memerintahkan untuk menciptakan suasana pergaulan yang baik di antara suami-istri, sebagaimana firman-Nya:


Pergaulilah mereka secara patut. (QS an-Nisâ’ [4]: 19)


Setelah itu, boleh rujuk kembali dengan cara yang makruf. (QS al-Baqarah [2]: 229)


Bergaul maknanya adalah berinteraksi secara intens dan penuh canda serta bersahabat dengan penuh keakraban. Dikatakan, misalnya, ‘Suatu kaum saling bergaul dan saling bersahabat’.

Allah Swt. juga telah memerintahkan agar para suami bersahabat secara baik dengan istri-istri mereka, jika memang mereka telah memiliki komitmen agar pergaulan dan persahabatan mereka satu sama lain berlangsung sempurna. Persahabatan semacam ini akan menciptakan ketenteraman dalam jiwa dan kedamaian dalam hidup. Pergaulan suami terhadap istri seyogyanya lebih dari sekadar kewajiban, yakni sekadar memenuhi hak istri berupa mahar dan nafkah. Namun, lebih dari itu, seorang suami tidak boleh membuat istrinya cemberut atau bermuka masam—meski dalam perkara yang tidak sampai menimbulkan dosa; senantiasa berlemah-lembut dalam bertutur-kata, tidak bertingkah keji dan kasar, serta tidak menampakkan kecenderungan kepada wanita lain selain kepada istrinya itu.

Rasulullah saw. telah berpesan kepada kaum pria dalam urusan kaum wanita. Imam Muslim dalam Shahîh-nya menuturkan riwayat yang bersumber dari Jâbir. Disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda dalam khutbahnya pada saat haji Wada‘ sebagai berikut:


Hendaklah kalian bertakwa kepada Allah dalam urusan kaum wanita, karena kalian telah mengambilnya sebagai amanat dari Allah, dan kalian pun telah menjadikan kehormatan mereka halal dengan kalimat Allah. Kalian memiliki hak atas istri-istri kalian agar mereka tidak memasukkan ke tempat tidur kalian salah seorang pun yang kalian benci. Jika mereka melakukan tindakan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak sampai membahayakan. Sebaliknya, mereka pun berhak untuk mendapatkan rezeki dan pakaian mereka dengan cara yang makruf.


Diriwayatkan bahwa Nabi saw. juga bersabda demikian:


Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap keluarganya. Sesungguhnya aku sendiri adalah orang yang paling baik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku.


Diriwayatkan pula bahwa Nabi saw. adalah orang yang paling indah dalam bergaul dengan keluarganya: suka bersenda-gurau, senantiasa bersikap lemah lembut, sering membuat istri-istrinya tertawa, dan bahkan pernah berlomba (yakni lari cepat, pen) dengan ‘Aisyah r.a., Ummul Mukminin, untuk memperlihatkan kasih-sayang kepadanya dengan cara seperti itu. Dalam kaitannya dengan lomba lari tersebut, ‘Aisyah r.a. pernah menuturkan, ‘Rasulullah saw. sekali waktu mendahuluiku, tetapi kemudian aku berhasil mendahului beliau. Ini terjadi sebelum badanku gemuk. Selanjutnya, sekali waktu aku mendahului beliau, tetapi kemudian beliau berhasil mendahuluiku. Ini terjadi ketika badanku sudah mulai gemuk’. Setelah itu, beliau bersabda, ‘Ini adalah untuk membalas kekalahanku sebelumnya’.

Disebutkan pula bahwa, Rasulullah saw., setelah usai menunaikan shalat isya, biasa langsung masuk ke rumahnya. Beliau lantas bersenda-gurau bersama keluarganya, sejenak sebelum tidur, untuk menghibur mereka.

Ibn Mâjah menuturkan bahwa Nabi saw. juga pernah bersabda:


Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istri-istrinya.


Semua fakta di atas menunjukkan bahwa, para suami mesti mempergauli istri-istri mereka dengan baik. Di dalam kehidupan suami-istri, tidak jarang muncul kekeruhan di tengah-tengah suasana kejernihan (kedamaian). Dalam hal ini, Allah Swt. telah menetapkan kepemimpinan rumah tangga (qiyâdah al-bayt) berada di tangan suami. Artinya, suami adalah pemimpin istrinya. Allah pun telah menjadikan suami sebagai qawwâm (pihak yang bertanggung jawab, pen) atas istrinya, sebagaimana firman-Nya:


Kaum pria (para suami) adalah penanggung jawab kaum wanita (istri-istri mereka). (QS an-Nisâ’: 34)


Kaum wanita (para istri) mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, kaum pria (para suami) sederajat lebih tinggi atas mereka. (QS al-Baqarah: 228)


Seorang istri diperintahkan untuk memberikan ketaatan kepada suaminya. Dalam hal ini, Rasulllah saw. pernah bersabda sebagai berikut:


Jika seorang istri menolak ajakan suaminya untuk menuju ke tempat tidur, niscaya para malaikat akan melaknatnya sampai ia kembali (bersedia).


Diriwayatkan demikian:


Nabi saw. pernah bertanya kepada seorang wanita, “Apakah engkau sudah bersuami?” Wanita itu menjawab, “Ya.” Beliau lantas berkata, “Sesungguhnya ia (suami) adalah surga atau nerakamu.”


Imam al-Bukhârî meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda sebagai berikut:


Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa, sementara suaminya menyaksikannya, kecuali dengan izinnya. Tidak halal pula baginya memberikan izin masuk (kepada orang lain) di rumahnya, kecuali dengan izin suaminya. Sesungguhnya harta yang dibelanjakannya tanpa seizin suaminya harus ia kembalikan kepadanya separuhnya.


Ketika membahas hukum-hukum bagi wanita, Ibn Baththah juga menuturkan riwayat yang bersumber dari Anas r.a. sebagai berikut:


Ada seorang pria yang melakukan safar, sementara istrinya ia larang untuk keluar rumah. Suatu saat, orangtua istrinya sakit. Ia kemudian meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk menjenguk ayahnya. Akan tetapi, beliau bersabda kepadanya, “Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tidak melanggar perintah suamimu.” Tidak lama kemudian, ayahnya meninggal. Oleh karena itu, ia kembali meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk melayat jenazahnya. Akan tetapi, beliau kembali bersabda, “Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dan tidak melanggar perintah suamimu.” Setelah itu, Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Nabi saw., “Sesungguhnya aku telah mengampuni dosa-dosanya karena ketaatannya kepada suaminya.”


Dengan demikian, syariat Islam telah memberikan kepada suami hak untuk melarang istrinya bepergian keluar rumahnya; baik karena keperluan untuk menjenguk atau menziarahi kedua orangtuanya, untuk sesuatu yang mengharuskan dirinya keluar, ataupun dalam rangka darmawisata. Ringkasnya, ia tidak boleh keluar rumahnya, kecuali seizin suaminya. Namun demikian, seorang suami tidak pantas menghalang-halangi istrinya untuk pergi menjenguk dan menziarahi kedua orangtuanya. Sebab, tindakan demikian dapat memutuskan tali silaturahmi istrinya dengan kedua orangtuanya, sekaligus dapat menjadi beban bagi istri jika harus melanggar perintah suaminya. Padahal, Allah Swt. sendiri telah memerintahkan kepada seorang suami agar mempergauli istrinya dengan cara yang makruf. Melarang istri untuk menjeguk dan menziarahi kedua orangtuanya jelas bukan termasuk tindakan yang makruf. Demikian pula, bukan termasuk tindakan yang makruf jika seorang suami melarang istrinya keluar rumah untuk pergi ke masjid. Dalam konteks ini, Nabi saw. pernah bersabda sebagai berikut:


Janganlah kalian melarang hamba-hamba Allah pergi ke masjid-masjid-Nya.


Jika seorang istri membangkang kepada suaminya, maka Allah Swt. telah memberikan hak kepada suami untuk memberikan pelajaran terhadap istrinya, sebagaimana firman-Nya:


Istri-istri yang kalian khawatirkan nusyûz (pembangkangan)-nya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka dari tempat tidur, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak membahayakan). Akan tetapi, jika mereka menaati kalian, janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. (QS an-Nisâ [4]: 34)


Pukulan yang dimaksud di sini harus merupakan pukulan yang ringan, yaitu yang tidak membahayakan, sebagaimana telah ditafsirkan oleh Rasulullah saw. dalam khutbahnya ketika haji Wada‘. Saat itu, beliau bersabda demikian:


Jika mereka melakukan tindakan tersebut, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan.


Maknanya tidak lain menunjukkan bahwa, suami telah diberikan wewenang untuk memberikan pelajaran terhadap istrinya jika ia melakukan perbuatan dosa, karena suamilah sebagai pihak yang bertanggung jawab (qawwâm) atas pengelolaan dan pengurusan urusan rumah tangganya. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan pelanggaran istri di luar perkara yang telah diperintahkan oleh syariat untuk dilakukannya, maka seorang suami tidak boleh mengganggunya sama sekali. Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman:


Akan tetapi, jika mereka menaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. (QS an-Nisâ [4]: 34)


Dalam keadaan demikian, seorang suami bahkan harus bersikap ramah dan toleran serta bersikap lemah-lembut dalam menuntut apa saja dari istrinya. Jika diperlukan, suami harus bisa memilih dengan baik situasi dan kondisi yang cocok. Rasulullah saw. bersabda:


Janganlah kalian mengetuk pintu rumah (istri) pada malam hari sampai wanita itu menyisir rambutnya yang kusut dan istri yang ditinggal suaminya itu mempercantik diri.


Posisi suami sebagai penanggung jawab dan kemimpinannya atas istri di dalam rumah bukan berarti menjadikan dirinya sebagai orang yang bertindak secara otoriter di dalam rumah atau seperti seorang penguasa yang tidak dapat dilanggar perintahnya. Akan tetapi, kepemimpinan suami di dalam rumah hanya berlaku dalam pengurusan dan pengelolaan urusan-urusan rumah tangga saja, bukan dalam hal kekuasaan dan hak memerintah di dalam rumah tangga. Oleh karena itu, seorang istri berhak menjawab ucapan suaminya, berdiskusi dengannya, dan membahas apa saja yang dikatakannya. Sebab, pada dasarnya, keduanya adalah dua orang sahabat, bukan pihak yang memerintah dan yang diperintah atau penguasa dan bawahan. Keduanya bersahabat-karib satu sama lain. Hanya saja, kepemimpinan dalam pengelolaan dan pengurusan rumah tangga keduanya diberikan kepada salah satu di antara mereka berdua. Demikianlah keberadaan Rasulullah saw. di dalam rumahnya. Beliau adalah seorang sahabat karib bagi istri-istrinya, bukan seorang penguasa yang otoriter terhadap mereka, meskipun beliau adalah seorang kepala negara, sekaligus seorang nabi.

Berkaitan dengan perilaku Rasulullah saw. seperti ini, ‘Umar ibn al-Khaththâb r.a. pernah berkomentar demikian:


Demi Allah, sesungguhnya kami pada masa jahiliah tidak mempedulikan urusan kaum wanita, sampai Allah menurunkan ketentuan tentang mereka dan memberikan kepada mereka hak-hak mereka. Sementara aku, ketika ada dalam suatu urusan, tiba-tiba istriku berkata, ‘Seandainya engkau berbuat begini dan begitu’.

Aku pun menjawabnya, ‘Ada apa denganmu dan mengapa engkau ada di sini? Apa pula perlunya engkau dengan urusan yang kulakukan’?

Ia menukas, ‘Sungguh aneh engkau ini, wahai Ibn al-Khaththâb. Engkau menghendaki agar tidak dibantah, padahal putrimu (yakni Hafshah, salah seorang istri Rasulullah saw., pen) sering mendebat Rasulullah saw. hingga beliau pernah gusar sepanjang hari’.


‘Umar kemudian melanjutkan penuturannya:


Aku lantas mengambil mantel dan pergi keluar menemui Hafshah. Aku berkata kepadanya, ‘Anakku, engkau telah membantah Rasulullah saw. hingga beliau merasa gusar sepanjang hari’. Hafshah menjawab, ‘Demi Allah, aku memang pernah membantahnya’. Aku berkata lagi, ‘Harap engkau tahu, sesungguhnya aku memperingatkanmu akan azab Allah dan murka Rasul-Nya. Anakku, orang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dan mengira bahwa cinta Rasulullah saw. hanya karena itu’.

Selanjutnya, aku keluar dan bergegas menemui Ummu Salamah, karena kami masih berkerabat dengannya. Aku menceritakan segala sesuatunya kepadanya. Ummu Salamah kemudian berkata kepadaku, ‘Sungguh mengherankan engkau ini, wahai Ibn al-Khaththâb. Engkau selalu saja turut campur dalam segala urusan, sampai hendak mencampuri urusan yang terjadi di antara Rasulullah saw. dan istri-istrinya’.


‘Umar kemudian berkata, ‘Kata-katanya itu amat mempengaruhiku sehingga aku mengurungkan apa yang telah aku rencanakan. Setelah itu, aku pun pergi’.

Di dalam Shahîh-nya, Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abû Bakar pernah meminta izin kepada Rasulullah saw. untuk menemuinya. Setelah diizinkan, ia pun masuk. Tiba-tiba, datang ‘Umar yang juga meminta izin kepada beliau. Ia pun lantas masuk. Ketika itu, dilihatnya Nabi saw. sedang duduk dikelilingi istri-istrinya yang tampak sedang masygul dan diam membisu. ‘Umar kemudian bergumam, ‘Aku akan mengatakan sesuatu yang dapat membuat Nabi saw. tertawa’.

Ia kemudian berkata, ‘Wahai Rasulullah, seandainya engkau melihat binti Khârijah (istri ‘Umar, pen) meminta belanja kepadaku, aku akan bangkit menghampirinya dan akan kupeluk lehernya’.

Seketika, Rasulullah pun tertawa seraya bersabda, ‘Mereka (yakni istri-istri Nabi saw., pen) sekarang berada di sekelilingku, juga sedang meminta uang belanja’.

Berdasarkan gambaran di atas, jelas sekali bahwa, kepemimpinan suami atas istrinya berada di pihak suami. Akan tetapi, kepemimpinan yang ada harus merupakan kepemimpinan yang diwarnai oleh persahabatan, bukan yang diliputi oleh sikap otoriter dan dominasi. Dengan itu, istri bisa turut urun-rembuk dan berdiskusi dengan suaminya.

Ini dilihat dari aspek pergaulan suami-istri. Sementara itu, dalam kaitannya dengan pelaksanaan berbagai pekerjaan rumah tangga, seorang istri wajib melayani suaminya, seperti: membuat adonan roti, memasak, membersihkan rumah, menyediakan minuman jika diminta, menyiapkan makanan untuk dimakan, serta melayani suaminya di dalam seluruh perkara yang sudah semestinya ia lakukan di dalam rumah. Demikian pula yang harus dilakukan seorang istri dalam mengurus rumah tangganya menyangkut apa saja yang diharapkan oleh suaminya, yaitu dalam segala urusan yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangganya secara mutlak. Sebaliknya, suami wajib memenuhi apa saja yang dibutuhkan oleh istrinya yang mengharuskan dirinya untuk keluar rumah, seperti menyediakan air atau melakukan apa saja yang diperlukan untuk membersihkan kotoran. Ia pun dianjurkan untuk sering memotong kuku-kukunya, berdandan sebagaimana istrinya berdandan untuk dirinya, dan lain-lain.

Ringkasnya, segala sesuatu yang harus dilakukan di dalam rumah menjadi kewajiban wanita untuk mengerjakannya, apa pun jenis pekerjaannya. Sebaliknya, segala sesuatu yang harus dilakukan di luar rumah menjadi kewajiban suami untuk mengerjakannya. Demikianlah, sebagaimana hadis yang diriwayatkan dari Nabi saw. berkaitan dengan kisah ‘Alî dan Fâthimah sebagai berikut:


Rasulullah saw. telah mewajibkan putrinya, Fâthimah, untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah, sedangkan ‘Alî diharuskan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan di luar rumah.


Rasulullah saw. juga telah memerintahkan kepada istri-istri beliau untuk bekerja melayaninya. Beliau, misalnya, sering berkata demikian, ‘Aisyah, tolong ambilkan aku minum, ‘Aisyah, tolong ambilkan aku makan, ‘Aisyah, tolong ambilkan aku pisau, lalu asahlah dengan batu, dan sebagainya.


Diriwayatkan pula demikian:


Fâthimah pernah datang kepada Rasulullah saw. Ia mengadu bahwa dirinya tidak dapat beristirahat sekaligus meminta kepada beliau seorang pembantu yang dapat meringankan pekerjaannya.


Semua ini menunjukkan bahwa upaya melayani suami di rumah sekaligus mengurus rumah tangga merupakan salah satu kewajiban di antara berbagai kewajiban seorang istri yang harus dilakukannya. Meskipun demikian, kewajiban itu ditunaikan sesuai dengan kemampuannya. Jika pekerjaannya amat banyak hingga membuat dirinya kepayahan, maka suami wajib menyediakan pembantu yang dapat membantunya menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya. Dalam hal ini, istri berhak memintanya. Sebaliknya, jika pekerjaannya di dalam rumah sedikit, sementara sang istri mampu mengerjakannya, maka suami tidak wajib menyediakan pembantu. Bahkan, sang istri wajib melaksanakan kewajibannya itu demi baktinya kepada suami. Kewajiban ini didasarkan pada alasan bahwa Rasulullah saw. sendiri telah mewajibkan putrinya, Fâthimah, untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangganya.

Walhasil, seorang suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang makruf. Sebaliknya, seorang istri hendaknya memperlakukan suaminya dengan cara yang sama. Dengan itu, kehidupan suami-istri akan menjadi sebuah kehidupan yang diliputi oleh suasana kedamaian, sehingga terwujudlah apa yang dinyatakan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya:


Di antara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari diri kalian sendiri supaya kalian merasa tenteram bersamanya dan Dia menjadikan di antara kalian rasa welas-asih. (QS ar-Rûm [30]: 21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse