Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

‘Azl atau Senggama Terputus

Selasa, 16 Maret 2010
‘Azl atau senggama terputus (coitus interuptus) adalah tindakan seorang suami—yang sedang menggauli istrinya, pen—menarik alat kelaminnya pada saat air mani atau spermanya hampir terpancar dalam upaya menumpahkannya di luar vagina istrinya. Dalam perspektif syariat, ‘azl dibolehkan. Artinya, seorang suami yang tengah menggauli istrinya, jika telah merasakan spermanya hampir keluar, ia boleh menumpahkannya di luar vagina istrinya. Dalam hal ini, Imam al-Bukhârî menuturkan riwayat yang dituturkan oleh ‘Athâ’ yang bersumber dari Jâbir. Ia berkata sebagai berikut:

Kami pernah melakukan ‘azl pada masa Rasulullah saw., sementara al-Quran pada saat itu masih turun.

Jâbir juga berkata, sebagaimana yang didengar oleh ‘Athâ, dengan redaksi demikian:

Kami pernah melakukan ‘azl pada masa Rasulullah saw. Hal itu kemudian sampai kabarnya kepada Rasulullah saw., dan beliau tidak melarang kami.

Hadis ini merupakan justifikasi (ketetapan) Rasulullah saw. atas kebolehan melakukan ‘azl. Seandainya ‘azl itu diharamkan, tentu Rasulullah saw. tidak akan mendiamkannya. Hanya saja, hukum tentang ‘azl ini disandarkan oleh para sahabat ke masa Nabi saw. Para sahabat, jika menyandarkan suatu hukum ke masa Nabi saw., maka hal itu disebut sebagai hadis marfû‘. Secara lahiriah, Nabi saw. telah menaruh perhatian atas perkara tersebut, dan kemudian memberikan keputusannya, karena banyaknya persoalan para sahabat yang diajukan oleh mereka kepada beliau berkaitan dengan hukum tersebut. Kebolehan ‘azl tercantum dalam banyak hadis sahih.
Imam Ahmad, Imam Muslim, dan Abû Dâwud telah menuturkan riwayat dari Jâbir r.a. Ia berkata sebagai berikut:

Sesungguhnya seorang laki-laki pernah menjumpai Rasulullah saw. seraya berkata, “Sebetulnya aku mempunyai seorang jariyah (budak wanita). Ia adalah pelayan kami sekaligus tukang menyiram kebun kurma kami. Aku sering menggaulinya, tetapi aku tidak suka jika sampai ia hamil.” Mendengar itu, Nabi saw. kemudian bersabda, “Jika engkau mau, lakukanlah ‘azl terhadapnya, karena sesungguhnya akan sampai juga pada wanita itu apa yang memang telah ditakdirkan oleh Allah baginya.”

Dengan demikian, secara mutlak, ‘azl dibolehkan, apa pun motif atau tujuan seorang suami melakukannya, seperti: agar tidak sampai terjadi kelahiran anak; supaya anaknya sedikit; karena merasa kasihan kepada istrinya yang lemah akibat hamil dan melahirkan; agar tidak terlalu membuat ruwet istrinya, sehingga istrinya tetap tampak awet muda, dan ia pun bisa tetap mengecap kenikmatan bersamanya; atau demi maksud-maksud lainnya. Ringkasnya, seorang suami boleh melakukan ‘azl, apa pun motif atau tujuannya. Kebolehan ini didasarkan pada sejumlah dalil yang menunjukkannya secara mutlak, tidak terikat oleh kondisi apa pun, serta bersifat umum atau tidak terdapat dalil yang mengkhususkannya. Artinya, dalil-dalil yang ada tetap dalam kemutlakan dan keumumannya. Dalam hal ini, tidak bisa dikatakan bahwa, ‘azl sama saja dengan tindakan membunuh seorang anak sebelum diciptakan. Banyak hadis yang secara tegas menolak persepsi semacam ini. Abû Dâwud, misalnya, telah menuturkan riwayat yang bersumber dari Abû Sa‘îd. Ia bertutur demikian:

Seorang laki-laki pernah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki budak wanita. Aku sering menggaulinya dan melakukan ‘azl terhadapnya, karena aku tidak suka kalau sampai ia hamil, padahal aku menyukai apa yang bisa disukai para lelaki. Akan tetapi, orang-orang Yahudi menyatakan bahwa ‘azl adalah tindakan pembunuhan kecil.” Mendengar itu, Rasulullah saw., menjawab, “Orang-orang Yahudi itu telah berdusta. Sebab, kalau memang Allah telah berkehendak untuk menciptakan sesuatu, engkau pasti tidak akan mampu menghalanginya.”

Ada juga nash yang membolehkan ‘azl dengan maksud agar tidak memiliki anak. Dalam hal ini, Imam Ahmad dan Imam Muslim telah menuturkan riwayat yang bersumber dari Usâmah ibn Zayd. Ia bertutur sebagai berikut:

Sesungguhnya pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. Ia lantas berkata kepada beliau, “Sesungguhnya aku sering melakukan ‘azl terhadap istriku.” Nabi saw. Kemudian bertanya kepadanya, “Mengapa engkau melakukannya?” Laki-laki itu menjawab, “Aku merasa kasihan terhadap anaknya atau anak-anaknya.” Setelah itu, Rasulullah saw. bersabda, “Kalau memang tindakan semacam itu dianggap berbahaya, tentu orang-orang Persia dan Romawi telah mengalaminya.”

Di sini, Rasulullah saw. mengatakan, Limâ taf‘al (Mengapa engkau melakukannya)? Beliau tidak mengatakan, Lâ taf‘al (Jangan engkau lakukan itu)!
Dari hadis ini, dapat dipahami bahwa, beliau telah menyetujui tindakan ‘azl. Akan tetapi, beliau juga menjelaskan kepada laki-laki tersebut bahwa, kelahiran sejumlah anak setelah memiliki beberapa anak sebelumnya tidak akan membawa kemadaratan. Kenyataan ini didasarkan pada dalil yang ditunjukkan oleh Imam Muslim dalam hadis yang bersumber dari Usâmah ibn Zayd. Disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang menghadap kepada Rasulullah saw. Ia kemudian berkata:

Sesungguhnya aku sering melakukan ‘azl terhadap istriku, karena aku merasa kasihan kepada anakku.

Rasulullah saw. lantas bersabda sebagai berikut:

Seandainya memang demikian, tidak mengapa. Akan tetapi, harus diingat, orang-orang Persia dan Romawi tidak tertimpa kemadaratan hanya karena tindakan semacam itu.

Dalam hadis riwayat Imam Muslim melalui jalur ‘Abdurrâhmân ibn Basyar yang juga bersumber dari Abû Sa‘îd, disebutkan bahwa laki-laki tersebut berkata demikian:

(Sesungguhnya aku sering melakukan ‘azl terhadap istriku) karena khawatir kalau-kalau kehamilan itu berbahaya bagi anak yang sedang disusui.

Rasulullah saw., dengan demikian, telah menyetujui tindakan ‘azl yang ditujukan supaya tidak terjadi kehamilan yang dapat membahayakan anak yang masih berada dalam masa penyusuan. Persetujuan beliau ini merupakan justifikasi terhadap kebolehan ‘azl yang ditujukan agar tidak terjadi kehamilan karena adanya kekhawatiran akan banyaknya tanggungan, atau demi menghindari akibat yang dihasilkan dari hubungan suami-istri, atau untuk tujuan-tujuan lainnya. Sebab, Allah Swt., jika memang telah menentukan bahwa seorang anak akan lahir, pasti anak itu akan lahir, baik seorang suami melakukan ‘azl atau tidak. Oleh karena itulah, ada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Hibbân yang bersumber dari Anas r.a. Disebutkan bahwa, seorang laki-laki pernah bertanya kepada Nabi saw. mengenai ‘azl. Nabi saw. kemudian menjawab:

Seandainya pun air mani yang menjadi cikal-bakal lahirnya seorang anak ditumpahkan pada sebuah batu keras, Allah pasti bisa mengeluarkan dari batu itu seorang anak.

Di sini tidak dapat dikatakan bahwa, upaya membatasi keturunan menyalahi anjuran Nabi saw. untuk memperbanyak keturunan, hanya karena beliau pernah bersabda demikian:

Kawinlah kalian, kembangkanlah keturunan kalian, dan perbanyaklah.

Seorang wanita yang berkulit hitam tetapi subur adalah lebih baik ketimbang seorang wanita yang cantik tetapi mandul.

Sekali lagi, tidak bisa dikatakan demikian, karena kebolehan ‘azl tidak bertentangan dengan anjuran Rasulullah saw. untuk memperbanyak keturunan. Dengan kata lain, dalam hal yang pertama, terdapat anjuran untuk memperbanyak keturunan, sedangkan dalam hal yang kedua, terdapat kebolehan untuk melakukan ‘azl.
Memang, ada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang bersumber dari Jadzîmah binti Wahab al-Asadiyyah. Ia telah bertutur demikian:

Rasulullah saw. pernah hadir di tengah-tengah orang banyak seraya bersabda, “Sungguh, aku pernah berkeinginan untuk melarang ghîlah (menggauli istri yang masih dalam masa menyusui anaknya). Aku kemudian mengamati orang-orang Persia dan Romawi, ternyata mereka pun melakukan ghîlah, tetapi toh hal itu tidak membahayakan anak-anak mereka sama sekali.”
Para sahabat kemudian bertanya tentang masalah ‘azl. Beliau kemudian menjawab, “‘Azl adalah tindakan pembunuhan secara samar. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah: Jika bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup itu ditanya. (QS at-Takwîr [81]: 8).”

Hadis ini bertentangan dengan sejumlah hadis sahih lain yang secara gamblang membolehkan ‘azl. Dalam hal ini, jika ada hadis yang bertentangan dengan hadis-hadis lain yang lebih banyak, maka hadis-hadis yang banyak itulah yang lebih râjih (lebih valid) dibandingkan dengan yang sedikit. Atas dasar ini, hadis yang bersumber dari Jadzîmah binti Wahab al-Asadiyyah tersebut tertolak, karena bertentangan dengan bebarapa hadis lain yang lebih kuat dan lebih banyak jalur periwayatannya.
Tidak juga bisa dikatakan bahwa dengan metode penggabungan (tharîq al-jam‘i) antara hadis tersebut dengan hadis-hadis yang membolehkan ‘azl, hadis tersebut berarti menunjukkan pada makruhnya ‘azl. Metode penggabungan hadis hanya mungkin dilakukan jika tidak ada kontradiksi—yakni berupa penolakan Rasulullah saw. yang terdapat dalam hadis lain—dengan pengertian yang sama yang ditunjukkan oleh hadis tersebut. (Artinya, terdapat penolakan Rasulullah pada hadis kedua, sedangkan dalam beberapa hadis lainnya larangan itu tidak ditemukan, pen). Sebab, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abû Dâwud yang bersumber dari Abû Sa‘îd bunyinya adalah demikian:

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyatakan bahwa ‘azl adalah tindakan pembunuhan keci.” Beliau kemudian menjawab, “Orang-orang Yahudi itu telah berdusta.”

Sementara itu, hadis Jadzîmah berbunyi demikian:

“‘Azl adalah tindakan pembunuhan secara samar. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah: Jika bayi-bayi wanita yang dikubur hidup-hidup itu ditanya. (QS at-Takwîr [81]: 8).”

Dengan demikian, upaya penggabungan kedua hadis ini tidak mungkin dilakukan. Boleh jadi, salah satu hadis di atas sudah dihapus (mansûkh) atau salah satunya lebih kuat sehingga hadis lain yang lebih lemah tertolak. Hanya saja, sejarah kedua hadis itu tidak cukup dikenal. Sementara itu, hadis yang dituturkan oleh Abû Sa‘îd didukung oleh sejumlah hadis lain yang cukup banyak, sedangkan hadis yang dituturkan oleh Jadzîmah hanya satu, tidak diperkuat oleh hadis-hadis lain. Oleh karena itu, hadis yang dituturkan oleh Jadzîmah adalah tertolak, sementara hadis lain yang lebih kuat ketimbang hadis tersebut dipandang lebih râjih (lebih valid).
Walhasil, secara mutlak, ‘azl dibolehkan, bukan sesuatu yang makruh; apa pun motif atau tujuan orang melakukannya. Sebab, dalil-dalil tentang kebolehan ‘azl sifatnya umum. Seorang suami yang ingin melakukan ‘azl tidak perlu meminta izin istrinya, karena perkara ini bergantung pada suami, bukan pada istri. Dalam hal ini, tidak dapat dikatakan bahwa, karena persetubuhan (jima’) sesungguhnya adalah juga hak seorang istri, maka air mani (sperma) menjadi hak istri, sehingga suami tidak boleh menumpahkan spermanya di luar vagina istrinya tanpa seizinnya. Kesimpulan semacam ini didasarkan pada upaya mencari ‘illat dengan metode rasionalisasi (‘illat ‘aqliyyah), bukan didasarkan pada metode syar‘î, sehingga tidak memiliki nilai apa-apa, bahkan tertolak. Memang benar, jima’ merupakan hak istri, tetapi penumpahan air mani bukanlah haknya. Salah satu alasannya adalah bahwa, seorang suami yang impoten, jika memang telah berusaha menyetubuhi istrinya, tetapi spermanya tidak dapat terpancar, maka hak istri dianggap telah terpenuhi dengan telah terjadinya persetubuhan tersebut. Dalam keadaan seperti ini, istri tidak berhak untuk melakukan faskh (membatalkan pernikahannya).
Memang, ada juga hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Mâjah yang bersumber dari ‘Umar ibn al-Khaththâb. Ia bertutur demikian:

Rasulullah saw. telah melarang ‘azl terhadap wanita merdeka, kecuali dengan izinnya.

Hadis ini dha‘îf (lemah), karena dalam rangkaian sanad-nya terdapat Ibn Luhaiah. Ada catatan negatif tentang orang ini.
Walhasil, atas dasar semua ini, hadis-hadis mengenai kebolehan ‘azl tetap bersifat mutlak.
Hukum ‘azl dapat diterapkan pada hukum penggunaan obat (pil KB, misalnya), kondom, atau spiral untuk mencegah kehamilan. Semua ini termasuk perkara yang sama, karena dalil-dalil tentang kebolehan ‘azl relevan dengan tujuan pemakaian alat-alat kontrasepsi. Ini adalah satu masalah di antara sejumlah masalah yang ada. Sebab, hukumnya adalah menyangkut kebolehan seorang suami untuk melakukan upaya pencegahan kehamilan, baik dengan cara melakukan ‘azl atau dengan cara yang lainnya. Dalam hal ini, apa yang telah diperbolehkan bagi seorang suami adalah berlaku juga bagi istrinya, karena hukumnya terkait dengan kebolehan mencegah kehamilan dengan menggunakan sarana (alat) apa saja.
Kebolehan untuk mencegah kehamilan ini berlaku khusus untuk mencegah kehamilan sementara, sementara pencegahan kehamilan yang bersifat permanen (seperti tubektomi atau sterilisasi pada wanita, pen) dan upaya pengebirian (vasektomi pada pria, pen) adalah tindakan yang diharamkan. Artinya, penggunaan alat-alat kontrasepsi atau operasi medis yang bertujuan untuk mencegah kehamilan secara total sekaligus untuk menghentikan keturunan adalah tergolong perbuatan yang diharamkan. Tindakan semacam ini tidak boleh dilakukan karena termasuk salah satu jenis pengebirian. Hukumnya adalah sama dengan hukum pengebirian, karena tindakan seperti ini sama-sama dapat memutuskan keturunan, sebagaimana halnya tindakan pengebirian.
Telah ada larangan yang tegas berkaitan dengan tindakan pengebirian ini. Sa‘ad ibn Abî Waqâsh telah bertutur demikian:

Rasulullah saw. telah melarang ‘Utsmân ibn Mazh‘ûn untuk hidup membujang (tabattul). Seandainya saja hal itu diizinkan, niscaya kami akan melakukan pengebirian.

‘Utsmân ibn Mazh‘ûn pernah datang menjumpai Nabi saw. Ia kemudian berkata demikian:

Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang lelaki yang sangat berhasrat untuk hidup membujang. Oleh karena itu, izinkanlah aku untuk melakukan pengebirian.

Rasulullah saw. bersabda:

Tidak, tetapi hendaknya engkau berpuasa.

Dalam redaksi lain disebutkan demikian:

‘Utsmân ibn Mazh‘ûn berkata, “Ya Rasulullah, apakah engkau mengizinkan aku untuk melakukan pengebirian?” Rasulullah saw. menjawab, “Sesungguhnya Allah Swt. telah memberikan gantinya kepada kami dengan ‘kerahiban’ yang lurus dan lapang (tidak memberatkan).”

Anas r.a. juga bertutur sebagai berikut:

Nabi saw. telah memerintahkan kepada kami untuk menikah dan melarang keras untuk hidup membujang. Beliau pernah berkata, “Kawinilah oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena aku akan membanggakan banyaknya kalian di hadapan umat-umat lain pada hari Kiamat.”

Memutuskan keturunan secara permanen bertentangan dengan syariat yang telah menjadikan ihwal berketurunan dan melestarikan jenis sebagai prinsip dasar dari diadakannya perkawinan. Oleh karena itu, Allah Swt. telah berfirman—dalam rangka memaparkan tujuan dari adanya perkawinan kepada manusia—sebagai berikut:

Dia telah menjadikan untuk kalian dari istri-istri kalian itu sejumlah anak dan cucu. (QS an-Nahl [16]: 72)

Syariat Islam telah menjadikan upaya memperbanyak anak sebagai hal yang disunnahkan (mandûb) dan didorong, sementara pelakunya pun dipuji. Dalam hal ini, Anas r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda demikian:

Kawinilah oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena sesungguhnya aku akan membanggakan banyaknya kalian di hadapan para Nabi pada hari Kiamat.

‘Abdullâh ibn ‘Umar juga menuturkan bahwa Rasulullah pernah bersabda sebagai berikut:

Nikahilah oleh kalian para wanita yang akan melahirkan banyak anak, karena sesungguhnya aku akan merasa bangga terhadap kalian pada hari Kiamat.

Sementara itu, Ma‘qil ibn Yassâr bertutur demikian:

Seorang lelaki pernah datang menjumpai Rasulullah saw. Ia kemudian berkata, “Sesungguhnya aku mencintai seorang wanita yang terhormat lagi cantik, tetapi ia seorang yang mandul. Bolehkah aku mengawininya?” Rasululullah saw. menjawab, “Tidak.” Setelah itu, datang lelaki kedua dengan masalah yang sama, dan beliau tetap melarangnya. Selanjutnya, datang lelaki ketiga, lalu beliau bersabda, “Nikahilah oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena aku akan merasa bangga dengan banyaknya jumlah kalian.”

Kebolehan untuk mencegah kehamilan sementara, melalui ‘azl atau dengan cara menggunakan berbagai sarana lain, tidak berarti boleh untuk melakukan abortus (menggugurkan janin). Sebab, abortus atau upaya menggugurkan janin, jika memang telah diberi ruh (nyawa), adalah tindakan yang diharamkan; baik dengan meminum obat atau ramuan tertentu, sengaja melakukan gerakan-gerakan yang berbahaya, atau melalui tindakan medis; baik dilakukan oleh pihak ibu, ayah, maupun dokter atau tenaga medis. Sebab, abortus merupakan tindakan pelanggaran atau penganiayaan terhadap jiwa manusia yang terpelihara darahnya (yakni, haram untuk dibunuh). Tindakan semacam ini termasuk tindakan kriminal yang harus ditebus dengan keharusan membayar diyat (denda) yang ukurannya sama dengan diyat ghurrah, baik budak lelaki atau budak perempuan, yang nilainya sama dengan sepersepuluh diyat (denda) karena membunuh manusia dewasa. Allah Swt. berfirman:

Janganlah kalian membunuh jiwa yang telah diharamkan oleh Allah untuk dibunuh, kecuali karena alasan yang dibenarkan. (QS al-An‘âm [6]: 151)

Sementara itu, Imam al-Bukhârî dan Imam Muslim menuturkan riwayat yang bersumber dari Abû Hurayrah. Ia bertutur demikian:

Rasulullah telah menetapkan bagi janin seorang wanita bani Lahyan yang digugurkan dan kemudian meninggal dengan diyat ghurrah, baik budak lelaki ataupun budak perempuan.

Gugurnya kandungan kecil kemungkinan terjadi pada janin yang bentuknya sudah lengkap sebagaimana wujud manusia, seperti telah memiliki jari, tangan, kaki, atau kuku.
Sementara itu, upaya pengguguran janin sebelum janin itu diberi ruh, yakni dilakukan setelah menginjak usia 40 hari sejak awal kehamilan atau ketika pembentukkan janin dimulai, maka hal itu juga diharamkan. Hukumnya sama dengan hukum pengguguran janin setelah janin tersebut diberi ruh, yakni haram, dan pelakunya wajib membayar diyat, yakni diyat ghurrah budak lelaki atau budak wanita. Hal itu didasarkan pada alasan bahwa, pada saat dimulainya proses pembentukan janin dan sudah tampak sebagian anggota tubuhnya, janin tersebut diduga kuat hidup dan sedang menjalani proses untuk menjadi seorang manusia sempurna. Oleh karena itu, pelanggaran atau penganiayaan terhadap jiwa janin yang seperti ini sama saja dengan pelanggaran terhadap jiwa seorang manusia yang terpelihara darahnya. Pelanggaran tersebut dipandang sebagai upaya pembunuhan terhadap janin. Allah Swt. jelas-jelas telah mengharamkan tindakan semacam ini. Allah Swt. berfirman:

Ketika bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa mereka dibunuh? (QS at-Takwîr [81]: 8-9)

Atas dasar ini, seorang ibu, ayah, atau dokter haram melakukan tindakan abortus setelah janin menginjak usia 40 hari sejak awal kehamilan. Siapa saja yang melakukan tindakan demikian, berarti ia telah terjerumus ke dalam tindakan kriminal dan dosa. Ia wajib membayar diyat atas janin yang digugurkannya itu, yakni diyat ghurrah budak lelaki atau budak wanita, sebagaimana ketentuan seperti ini disebutkan di dalam hadis yang telah diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim di atas. Tindakan abortus tidak boleh dilakukan, baik pada fase pembentukan janin ataupun setelah janin tersebut diberi ruh, kecuali ada rekomendasi dari para dokter yang adil (bukan orang fasik, pen). bahwa, jika janin tersebut dibiarkan berada dalam perut ibunya, hal itu akan mengakibatkan kematian ibunya, sekaligus janin yang dikandungnya. Dalam kondisi semacam ini, tindakan abortus dibolehkan semata-mata demi memelihara kehidupan ibunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse