Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

Perceraian Suami-Istri

Selasa, 16 Maret 2010

Sebagaimana Allah Swt. telah mensyariatkan pernikahan, Dia juga telah menetapkankan adanya perceraian (talak). Landasan dari penetapan adanya talak tercantum dalam al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma sahabat. Di dalam al-Quran Allah Swt. berfirman:


Talak (yang dapat dirujuk kembali) ada dua. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. (QS al-Baqarah [2]: 229)


Wahai Nabi, jika engkau hendak menceraikan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddah-nya (yang wajar). (QS ath-Thalâq [65]: 1)


Sementara itu, di dalam as-Sunnah, ada riwayat yang bersumber dari ‘Umar ibn al-Khaththâb. Ia menyatakan demikian:


Nabi saw. sesungguhnya pernah menceraikan Hafshah, kemudian rujuk kembali dengannya.


‘Abdullâh ibn ‘Umar juga bertutur demikian:


Aku mempunyai istri yang aku cintai, sementara ayahku tidak menyukainya. Ia lantas menyuruhku untuk menceraikannya, tetapi aku menolaknya. Selanjutnya, ayahku menyampaikan hal itu kepada Nabi saw. Beliau kemudian bersabda, “Hai ‘Abdulâh ibn ‘Umar, ceraikanlah istrimu!”


Para sahabat Nabi saw. juga telah berijma berkaitan dengan adanya ketetapan talak ini.


Talak adalah upaya melepaskan tali ikatan pernikahan atau melepaskan simpul perkawinan. Kebolehan adanya talak tidak didasarkan pada adanya ‘illat syar‘î, karena nash-nash yang mencantumkan masalah talak, baik yang ada dalam al-Quran maupun hadis Nabi saw., tidak mengandung ‘illat apa pun. Talak termasuk perkara yang halal karena memang telah diakui kehalalannya oleh syariat dan karena adanya sebab-sebab lain. Upaya menjatuhkan talak yang sesuai dengan syariat ada tiga jenis, talak demi talak (berurutan). Jika terjadi satu perceraian, maka berlaku talak kesatu. Pada kondisi seperti ini, suami boleh merujuk istrinya kembali pada masa ‘iddah-nya tanpa perlu akad baru. Jika jatuh perceraian kedua kalinya, maka berlaku talak kedua. Pada kondisi semacam ini, suami boleh merujuk istrinya kembali pada masa ‘iddahnya, juga tanpa perlu akad baru. Jika masa ‘iddah-nya dalam dua keadaan di atas telah usai, sedangkan sang suami tidak merujuk istrinya, maka talak yang terjadi menjadi talak bâ’in, atau disebut dengan istilah talak bâ’in sughrâ. Dalam kondisi seperti ini, suami tidak halal merujuk kembali istrinya, kecuali dengan akad dan mahar yang baru. Selanjutnya, jika suami menjatuhkan talak untuk yang ketiga kalinya, maka berlaku talak bâ’in kubrâ. Dalam kondisi semacam ini, mantan suami tidak boleh rujuk kembali dengan mantan istrinya, kecuali setelah mantan istrinya itu kawin lagi dengan pria lain yang kemudian menggaulinya (setelah itu bercerai, pen) dan telah berakhir masa ‘iddah-nya.

Allah Swt. berfirman:


Talak yang dapat dirujuk ada dua. Setelah itu, boleh dirujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya merasa khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka janganlah keduanya melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum, mereka itu adalah orang-orang zalim. Kemudian, jika sang suami menjatuhkan talak kepadanya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin lagi dengan pria lain. Selanjutnya, jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (mantan suaminya yang pertama dan mantan istrinya) untuk kawin lagi jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah. Dia menjelaskannya kepada kaum yang mau mengetahui. (QS al-Baqarah [2]: 229-230)


Dengan demikian, melalui ayat ini, Allah Swt. telah mengajari kaum Muslim tentang bagaimana seharusnya mereka melakukan perceraian. Allah Swt. berfirman, yang artinya: Talak itu ada dua. Selanjutnya, Allah Swt. memberikan pilihan kepada kaum Muslim—setelah mengajari mereka—antara tetap menaruh komitmen kepada para istri mereka untuk memperlakukan mereka dengan baik dengan melakukan kewajiban-kewajiban atas mereka, atau melepaskan mereka dengan cara yang baik. Setelah itu, Allah Swt. berfirman, yang artinya: Kemudian, jika sang suami menjatuhkan talak kepadanya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin lagi dengan pria lain. Dengan kata lain, jika sang suami menjatuhkan talak kepada istrinya untuk yang ketiga kalinya, maka ia tidak halal lagi merujuk mantan istrinya hingga mantan istrinya itu kawin lagi dengan pria lain (yang kemudian mencerikannya, pen). Kemudian, Allah Swt. berfirman, yang artinya: Selanjutnya, jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (mantan suaminya yang pertama dan mantan istrinya) untuk kawin lagi. Maksudnya, mantan istrinya itu diceraikan oleh suaminya yang kedua, maka suami yang pertama boleh merujuknya kembali dengan akad dan mahar yang baru.

Subyek (fâ‘il) dari kalimat thallaqahâ yang kedua kalinya kembali pada frasa yang paling dekat disebutkan, yakni frasa zawjan ghayrahu (suami yang lain) atau suami kedua. Sementara itu, subyek (fâ‘il) dari kalimat yatarâja‘â kembali kepada suami yang pertama. Maksudnya, tidak ada larangan bagi keduanya (yakni, mantan suaminya yang pertama dan mantan istrinya itu, pen) rujuk kembali melalui perkawinan.

Atas dasar ini, seorang suami memiliki hak untuk menjatuhkan talak atas istrinya sebanyak tiga kali. Pada dua talak yang dijatuhkan sebelumnya, suami boleh langsung merujuk istrinya, sedangkan pada talak yang ketiga, ia tidak boleh langsung merujuk istrinya sampai mantan istrinya itu pernah menikah lagi dengan pria lain.

Hak menjatuhkan talak berada di tangan suami, bukan di tangan istri. Suamilah yang memiliki wewenang atas talak, bukan istrinya. Mengapa hak menjatuhkan talak berada di tangan suami? Jawabannya, karena Allah Swt. memang telah menjadikannya berada di tangan suami. Dalam hal ini, syariat Islam tidak menunjukkan ‘illat-nya, serta tidak pula membolehkan upaya untuk mencari-cari ‘illat-nya.

Memang, jika kita memperhatikan fakta mengenai perkawinan dan perceraian, tampak bahwa perkawinan merupakan awal kehidupan suami-istri yang baru. Di dalam perkawinan, suami dan istri adalah kedua belah pihak yang saling tolong-menolong dalam memilih pasangannya satu sama lain sesuai dengan keinginannya. Masing-masing telah memutuskan untuk menikah dengan pasangan yang dikehendakinya atau menolak untuk melangsungkan perkawinan dengan orang yang tidak dikehendakinya. Namun demikian, jika perkawinan telah benar-benar terjadi, sementara kepemimpinan rumah-tangga telah berada di tangan suami, dan tanggung jawab pun telah diberikan kepada suami atas istrinya, maka sudah seharusnya talak berada di tangan suami dan sekaligus menjadi bagian dari haknya, karena ia memang merupakan kepala rumah tangga sekaligus pengatur keluarga. Atas dasar ini, hanya kepada suamilah beban dan tanggung jawab mengurus rumah-tangga dipikulkan. Implikasinya, hanya pada suamilah adanya kewewenangan untuk memutuskan tali-ikatan perkawinan. Artinya, kewenangan tersebut sesuai dengan kadar tangung-jawab suami. Demikian pula hak untuk memutuskan adanya perpisahan suami-istri, ada di tangan suami sebagai pihak yang bertanggung jawab atas istrinya.

Namun demikian, hal di atas hanya merupakan pencitraan terhadap realitas yang ada, bukan merupakan upaya mencari-cari dan menetapkan ‘illat dari hukum syariat. Sebab, sebagaiman telah disebutkan, ‘illat hukum syariat tidak diterima, kecuali jika merupakan ‘illat syar‘iyyah (‘illat yang ditunjukkan oleh syariat, pen) yang tercantum di dalam nash syariat.

Hanya saja, kenyataan bahwa talak berada di tangan suami sekaligus menjadi haknya semata, tidak berarti bahwa istri tidak boleh menuntut cerai dan menghendaki adanya suatu perpisahan antara dirinya dengan suaminya. Akan tetapi, maknanya menunjukkan bahwa, wewenang talak hukum asalnya berada di tangan suami. Ketentuan ini bersifat mutlak, sama sekali tidak terikat dengan situasi dan kondisi apa pun. Bahkan, seorang suami bisa kapan saja menjatuhkan talak tanpa adanya alasan yang jelas. Akan tetapi, seorang istri pun berhak untuk menceraikan dirinya dari suaminya, dan menghendaki adanya perpisahan antara dirinya dengan suaminya dalam keadaan tertentu, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syariat. Dalam hal ini, syariat telah membolehkan bagi wanita untuk melakukan fasakh (pembatalan) terhadap akad perkawinan dalam beberapa kondisi berikut:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Jika suami menyerahkan wewenang talak ini di tangan istri. Pada kondisi seperti ini, sang istri memiliki hak untuk menceraikan dirinya sendiri sesuai dengan kewewenangan yang telah diberikan oleh suaminya. Ia, misalnya, bisa mengatakan, ‘Aku telah menceraikan diriku sendiri dari suamiku, si Fulan’. Ia juga bisa langsung berkata kepada suaminya, ‘Aku telah menceraikan diriku darimu’. Akan tetapi, ia tidak bisa mengatakan, ‘Aku telah menceraikan kamu’, atau, ‘Engkau aku ceraikan’, karena talak itu menimpa atas istri, bukan atas suami, meskipun—dalam hal ini—talak diucapkan oleh pihak istri. Dengan demikian, suami boleh menyerahkan masalah talak ini berada di tangan istri. Alasannya, Rasulullah saw. sendiri pernah memberikan pilihan (khiyâr) kepada istrinya (untuk bercerai atau tidak, pen), di samping adanya Ijma sahabat dalam masalah ini.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Jika istri mengetahui bahwa ternyata suaminya memiliki cacat sehingga tidak dapat melakukan hubungan suami-istri, seperti impoten atau telah dikebiri, sedangkan pihak istri tidak memiliki penyakit-penyakit semacam itu. Dalam keadaan seperti ini, istri dapat mengajukan fasakh (pembatalan) atas pernikahannya dengan suaminya. Jika hakim (penguasa) telah mengetahui adanya cacat tersebut, maka sang suami diberi tangguh hingga satu tahun. Jika suami tetap tidak menggauli istrinya, maka istrinya dapat mengajukan tuntutan pembatalan atas pernikahannya. Dalam konteks ini, ada riwayat yang menyebutkan bahwa, Ibn Mundzir telah menikah dengan salah seorang wanita, sedangkan ia sendiri telah dikebiri. ‘Umar kemudian bertanya kepadanya, ‘Apakah engkau sudah memberi tahu istrimu’? Ia menjawab, ‘Belum’. ‘Umar selanjutnya berkata, ‘Beritahu dulu istrimu, kemudian biarkan ia memilih (antara bercerai atau tidak, pen)’. Ada pula riwayat yang menyatakan bahwa, ‘Umar pernah memberikan tempo kepada seorang suami dalam masalah impotensi ini satu tahun lamanya. Jika sang istri menjumpai bahwa kemaluan suaminya terpotong atau tidak dapat ereksi, maka pada saat itu juga, sang istri berhak melakukan khiyâr (pilihan). Dalam keadaan semacam ini, sang istri tidak dibiarkan terkatung-katung, karena terjadinya hubungan suami-istri tidak dapat diharapkan lagi, sehingga tidak ada artinya bagi dirinya bersikap menunggu-nunggu suaminya.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Jika sang istri melihat—baik sebelum maupun sesudah terjadinya hubungan suami-istri—bahwa suaminya mengidap suatu penyakit yang tidak memungkinkan bagi dirinya tinggal bersama suaminya itu tanpa adanya bahaya (dampak buruk) bagi dirinya, seperti: penyakit lepra atau penyakit kusta, sipilis, TBC, atau menderita penyakit menular lainnya. Dalam keadaan seperti ini, istri dapat mengadukan masalahnya kepada hakim dan menuntut adanya perceraian antara dirinya dengan suaminya. Tuntutan istri dapat dikabulkan jika suaminya memang mengidap penyakit semacam itu dan tidak ada peluang lagi baginya untuk sembuh dalam jangka waktu tertentu. Khiyâr (pilihan) yang diambil istri berlaku permanen, bukan bersifat temporer (sementara). Hal ini telah dikemukakan di dalam Kitab al-Muwaththa’, karya Imam Mâlik. Imam Mâlik mengaku telah menerima berita dari Sa‘îd ibn al-Musayyab yang berkata demikian:


Pria mana pun yang telah menikahi seorang wanita, sementara ia diketahui gila atau berbahaya, maka istrinya berhak melakukan khiyâr; boleh tetap tinggal bersama suaminya jika memang ia menghendakinya, dan boleh juga untuk bercerai dengan suaminya jika memang ia menghendakinya.


<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Jika seorang suami, setelah terjadinya akad nikah, tiba-tiba gila. Dalam kondisi seperti ini, istrinya dapat mengadukan masalahnya kepada qâdhî (hakim) dan menuntut untuk cerai dari suaminya. Qâdhî, dalam hal ini, dapat menunda keputusannya perceraiannya sampai satu tahun. Jika penyakit gila suami tidak sembuh dalam jangka waktu tersebut, sementara istrinya tetap dalam tuntutannya, maka qâdhî bisa segera menjatuhkan vonis perceraian mereka. Demikianlah sebagaimana hal itu dikemukakan dalam Kitab al-Muwaththa’ tersebut di atas.


<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Jika sang suami melakukan perjalanan (safar) ke suatu tempat, baik dekat ataupun jauh, kemudian ia menghilang dan tidak ada kabar-beritanya, sementara istrinya terhalang untuk mendapatkan nafkahnya. Dalam kondisi seperti ini pun, seorang istri berhak menuntut cerai dari suaminya. Hal ini bisa dilakukan setelah ada usaha yang sungguh-sungguh untuk melakukan pencarian dan penelusuran suaminya. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw. berkenaan dengan seorang istri yang berkata kepada suaminya demikian:


Berilah aku makan. Jika tidak, tinggalkanlah aku.


Tidak diberi makan merupakan ‘illat untuk berpisah.

<!--[if !supportLists]-->6. <!--[endif]-->Jika suami tidak memberi nafkah istrinya, padahal ia mampu. Akibatnya, sang istri terhalang memperoleh harta dari suaminya untuk keperluan nafkah dilihat dari berbagai sudut. Dalam keadaan seperti ini, istri dapat menuntut perceraian, dan qâdhî dapat memutuskan untuk menceraikannya dari suaminya saat itu juga tanpa menunda-nundanya. Sebab, Rasulullah saw. telah bersabda:


Istrimu adalah bagian dari orang yang ada dalam tanggunganmu. Ia mengatakan, “Berilah aku makan. Jika tidak, tinggalkanlah aku!”


‘Umar r.a. pernah memberikan ketetapan berkenaan dengan para suami yang menghilang dan meninggalkan istri-istrinya. ‘Umar kemudian memerintahkan kepada mereka untuk memberi nafkah istri-istrinya atau menceraikan mereka. Pada saat itu, para sahabat mengetahui ketetapan tersebut, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menentangnya. Dengan demikian, ketetapan tersebut juga merupakan Ijma sahabat.


<!--[if !supportLists]-->7. <!--[endif]-->Jika di antara suami-istri terdapat pertentangan dan perselisihan. Dalam kondisi demikian, istri dapat mengajukan tuntutan untuk berpisah dengan suaminya. Qâdhî, dalam hal ini, dapat menentukan juru damai dari pihak istri maupun dari pihak suami. Dewan keluarga inilah yang akan mendengarkan keluhan atau pengaduan dari kedua belah pihak, kemudian berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendamaikan keduanya. Jika tidak dimungkinkan adanya kata sepakat di antara keduanya, maka dewan keluarga bisa memisahkan keduanya sesuai dengan pandangannya dan sekiranya hal itu mudah untuk dilaksanakan. Allah Swt. berfirman:


Jika kalian merasa khawatir akan adanya persengketaan di antara keduanya, maka utuslah seorang (juru damai) dari pihak keluarga suami dan seorang juru damai dari pihak keluarga istri. Jika kedua belah pihak menghendaki adanya perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. (QS an-Nisâ’ [4]: 35)


Dalam beberapa kondisi seperti inilah, syariat Islam telah memberikan hak kepada seorang istri: (1) untuk menceraikan dirinya dari suaminya; (2) untuk menuntut adanya perpisahan antara dirinya dengan suaminya.

Realitas dari beberapa kondisi di atas memperlihatkan bahwa, Allah Swt. sebagai asy-Syâri‘ (Pembuat Hukum) telah memandang seorang istri sebagai sahabat bagi suaminya dalam kehidupan suami-istri. Setiap ketidak-bahagiaan dan kebencian yang terjadi di dalam rumah tangga yang dirasakan oleh suaminya pasti akan dirasakan pula oleh istrinya. Oleh karena itu, harus ada jaminan bagi seorang istri agar bisa melepaskan diri dari kesengsaraan, jika memang hal itu menimpa rumah tangganya. Caranya adalah dengan memberi istri hak untuk melepaskan ikatan perkawinan yang telah disepakati sebelumnya. Dengan demikian, Allah Swt. tidak membiarkan seorang istri merasa terpaksa tinggal bersama suaminya, jika dia tidak menemukan kedamaian dan kebahagian hidup selaku suami-istri. Untuk itu, syariat Islam telah membolehkan seorang istri untuk membatalkan akad nikah di dalam sejumlah kondisi yang dialaminya, manakala tidak ada peluang lagi untuk hidup berumah tangga atau untuk memperoleh kebahagiaan hidup sebagai suami-istri.

Walhasil, jelaslah bahwa, Allah Swt. telah mejadikan kewenangan menjatuhkan talak berada di tangan suami, karena ia adalah pemimpin atas istrinya, sekaligus penanggung jawab rumah-tangganya. Sebaliknya, Allah Swt. telah memberikan kepada istri hak untuk melakukan pembatalan terhadap perkawinannya. Dengan itu, ia tidak terus-menerus menderita di dalam kehidupan rumah-tangganya, dan rumah tempat tinggalnya pun—yang seharusnya menjadi sumber kedamaian dan ketenteraman—tidak justru menjadi tempat kesengsaraan dan kegelisahan baginya.

Sementara itu, dalam kaitannya dengan pertanyaan, apa yang menjadi ‘illat dalam pemberlakukan hukum talak, kami telah menyatakan bahwa, nash-nash syariat yang berkenaan dengan masalah ini tidak menetapkan adanya ‘illat. Artinya, pensyariatan talak tidak memiliki ‘illat apa pun. Akan tetapi, dalam masalah ini, dimungkinkan adanya upaya untuk menjelaskan fakta mengenai pemberlakuan hukum talak, tatacara yang telah disebutkan dan disyariatkan dalam perkawinan, serta sejumlah persoalan yang menjadi turunannya.

Secara faktual, perkawinan diselenggrakan dalam rangka membentuk keluarga dan sekaligus mewujudkan ketenangan di dalamnya. Jika di dalam kehidupan suami-istri muncul persoalan yang dapat mengganggu ketenangan keluarga hingga pada suatu batas yang tidak memungkinkan kehidupan suami-istri dipertahankan kelangsungannya, maka, mau tidak mau, harus ada jalan keluar bagi kedua belah pihak untuk berpisah satu sama lain. Dalam kondisi semacam ini, masing-masing pihak tidak boleh memaksakan diri untuk tetap mempertahankan ikatan perkawinan yang sudah diliputi oleh suasana kebencian keduanya ataupun kebencian salah satunya. Sebab, Allah Swt. sendiri telah mensyariatkan talak, sebagaimana firman-Nya:


Talak yang dapat dirujuk ada dua. Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. (QS al-Baqarah [2]: 229)


Dengan demikian, kesengsaraan di dalam rumah-tangga tidak berlanjut dan berlarut-larut, sementara kebahagiaan kehidupan suami-istri dapat tetap terwujud di tengah-tengah masyarakat. Kelalaian kedua belah pihak untuk tetap menjaga keutuhan rumah-tangga karena tidak adanya kesesuaian lagi di antara mereka, atau tiba-tiba muncul persoalan yang mengguncang kehidupan rumah-tangga keduanya, maka keduanya harus diberi kesempatan agar masing-masing berusaha mewujudkan ketenangan kehidupan suami-istri. Namun demikian, Islam tidak menjadikan kemarahan dan kebencian sebagai satu-satunya faktor dibolehkannya perceraian. Sebaliknya, Islam malah memeritahkan kepada suami-istri agar bergaul dengan cara yang baik serta mendorong mereka untuk bersabar memendam kebencian yang ada, karena boleh jadi, di dalamnya terdapat kebaikan. Allah Swt. berfirman :


Bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian, jika kalian tidak menyukai mereka (maka bersabarlah). Sebab, boleh jadi kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan di dalam sesuatu itu kebaikan yang banyak. (QS an-Nisâ’ [4]: 19)


Islam juga telah memerintahkan kepada para suami untuk menempuh berbagai langkah jika mereka merasa khawatir marah terhadap istrinya masing-masing karena sikap pembangkangan (nusyûz) mereka. Allah Swt. berfirman :


Wanita-wanita yang kalian khawatirkan pembangkannya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. (QS an-Nisâ’ [4]: 34)


Demikianlah, Islam memerintahkan agar para suami menempuh segala cara yang lembut ataupun keras. Semua itu ditujukan dalam upaya menyelesaikan berbagai problem yang terjadi di antara suami-istri dengan sebuah penyelesaian yang dapat menghindarkan keduanya dari perceraian. Memang, boleh jadi, perlakuan yang baik tidak lagi dianggap menghasilkan apa-apa; berbagai cara tegas yang ditempuh pun tetap tidak membawa manfaat; sementara persoalan yang ada telah sampai memunculkan suasana kebencian, permusuhan, dan pembangkangan hingga menimbulkan perselisihan dan persengketaan. Namun demikian, Islam tidak menjadikan talak sebagai langkah kedua untuk mengatasi persoalan yang ada, meskipun krisis di antara keduanya telah mencapai puncaknya. Islam bahkan memerintahkan kepada kedua belah pihak untuk menghadirkan wakil dari keluarganya masing-masing dalam upaya mewujudkan perbaikan untuk kedua kalinya. Allah Swt. berfirman:


Jika kalian merasa khawatir akan adanya persengketaan di antara keduanya, maka utuslah seorang (juru damai) dari pihak keluarga suami dan seorang juru damai dari pihak keluarga istri. Jika kedua belah pihak menghendaki adanya perbaikan, niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Mahatahu lagi Mahaawas. (QS an-Nisâ’ [4]: 35)


Jika kedua wakil keluarga itu tetap tidak mampu mendamaikan suami-istri yang berselisih, lalu dalam kondisi demikian tidak ada jalan lain lagi untuk mempertahankan kehidupan suami-istri di antara keduanya setelah segala upaya dilakukan, sementara jiwa masing-masing pihak pun tidak dapat menerima solusi yang ditawarkan selain melalui perpisahan di antara mereka, maka, mau tidak mau, harus terjadi talak (perceraian). Dengan itu, diharapakan keduanya tetap memperoleh ketenangan atau ikatan yang sudah dirasakan membelenggu terlepas dengan adanya perceraian. Allah Swt. berfirman:


Jika keduanya bercerai, Allah pasti akan memberi kecukupan kepada kedua belah pihak dari limpahan karunia-Nya, dan Allah Mahaluas lagi Mahabijak. (QS an-Nisâ’ [4]: 130)


Kendati demikian, sebagaimana talak dibiarkan terjadi, demikian pula kesempatan kedua belah pihak untuk rujuk kembali; jangan sampai perpisahan yang terjadi di antara keduanya bersifat permanen. Bahkan, keduanya diberikan hak rujuk untuk pertama dan kedua kalinya. Sebab, setelah talak pertama atau talak kedua, tidak jarang muncul keinginan baru untuk mengembalikan kehidupan suami-istri untuk yang kedua kalinya setelah talak pertama, atau untuk yang ketiga kalinya setelah talak kedua. Dari sinilah kita menemukan bahwa, syariat telah menetapkan talak sebanyak tiga kali. Allah Swt. berfirman:


Talak yang dapat dirujuk ada dua. Setelah itu, boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikannya dengan cara yang baik. (QS al-Baqarah [2]: 229)


Dengan itu, suami-istri dibiarkan untuk kembali satu-sama lain dan untuk kembali ke dalam ketakwaan kepada Allah Swt. yang terpusat di dalam dada. Dengan itu, diharapkan keduanya mau berupaya kembali untuk mencoba menjalani kehidupan suami-istri untuk yang kedua kalinya, sehingga masing-masing dapat mengecap ketenteraman, ketenangan, dan kedamaian yang belum sempat mereka raih sebelumnya. Dari sini pula, kita menjumpai bahwa, Islam telah membolehkan seorang suami rujuk kembali dengan istrinya setelah talak yang pertama dan yang kedua. Demikian pula, Islam telah menjadikan berbagai cara untuk mendorong suami-istri agar kembali (rujuk) satu sama lain, kembali dapat memikirkan perkara tersebut, serta mampu memandang perkawinan dengan sebuah pandangan baru yang lebih luas dari pandangan mereka sebelumnya. Oleh karena itulah, Islam menjadikan masa ‘iddah setelah terjadinya perceraian selama tiga kali masa haid, kurang-lebih tiga bulan lamanya, atau setelah melahirkan. Di samping itu, Islam juga telah mewajibkan suami untuk memberi nafkah dan tempat tinggal kepada istrinya selama masa ‘iddah; melarang suami untuk mengeluarkan istrinya selama masa ‘iddah, karena hal ini akan dapat melunakkan kekerasan kalbu sekaligus mencerahkan jiwa masing-masing; serta melapangkan jalan di antara keduanya untuk kembali dan sekaligus mengawali kembali babak kehidupan baru yang lebih cerah. Dalam aspek ini, al-Quran telah memberikan sejumlah wasiat yang sangat jelas. Allah Swt. berfirman:


Jika kalian menceraikan istri-istri kalian, lalu mendekati akhir ‘iddah mereka, maka rujukilah mereka dengan cara yang makruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf pula. Janganlah kalian merujuk mereka dengan maksud untuk menimbulkan kemadaratan dalam rangka menyakiti mereka. Siapa saja yang bertindak demikian, sesungguhnya ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (QS al-Baqarah [2]: 231)


Jika langkah ini tidak menghasilkan apa-apa atau baru berhasil setelah talak yang pertama dan kedua hingga yang ketiga, berarti pada saat demikian, persoalannya semakin bertambah rumit dan mengakar, serta semakin bertambah ruwet dan parah. Pada kondisi demikian, upaya rujuk jelas tidak akan berguna lagi, sehingga lebih baik berpisah ketimbang tetap mempertahankan perkawinan. Oleh karena itu, harus ada upaya untuk berpisah secara total, sekaligus melangsungkan babak kehidupan baru; tanpa harus mengulangi percobaan yang gagal dengan konsep pergaulan suami-istri yang tidak berubah, padahal masih bisa ditempuh konsep pergaulan suami-istri yang baru. Oleh karena itu, kedudukan talak tiga benar-benar kokoh. Allah Swt. berfirman:


Kemudian, jika si suami menceraikannya (sesudah talak yang kedua), maka mantan istrinya itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (QS al-Baqarah [2]: 230)


Artinya, Allah Swt., secara mutlak, melarang suami untuk rujuk kembali dengan mantan istri setelah talak yang ketiga, kecuali setelah mantan istrinya itu pernah menjalani kehidupan suami-istri lagi dengan pria lain yang sekaligus menggaulinya—hingga keduanya, satu sama lain, saling menikmati manis madu perkawinan—sebagai wujud dari pergaulan suami-istri secara sempurna. Dengan kata lain, mantan istrinya itu telah mendapatkan pengalaman baru dalam kehidupan suami-istri bersama suami yang lain itu secara alamiah, tetapi kemudian tidak memperoleh ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan suami-istri yang kedua ini, hingga kembali terjadi perpisahan antara dirinya dengan suaminya yang kedua ini. Dalam kondisi seperti ini, seorang wanita dimungkinkan untuk kembali mengulangi kehidupan suami-istri bersama suaminya yang pertama. Alasannya, pada saat itu, seorang wanita telah menjalani pecobaan kedua dari kehidupan suami-istri bersama suami keduanya, sehingga dengan itu dia dapat membanding-bandingkan kedua perkawinan yang telah dijalaninya. Pada saat demikian, pilihannya untuk rujuk dengan suaminya yang pertama adalah pilihan yang didasarkan atas kesadaran. Dari sini, kita menemukan bahwa, Allah Swt. telah membolehkan seorang wanita untuk kembali kepada mantan suaminya yang pertama yang telah menjatuhkan talak tiga kepadanya, setelah ia kawin dengan pria lain. Allah Swt. berfirman:


Kemudian, jika si suami menceraikannya (sesudah talak yang kedua), maka mantan istrinya itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. (QS al-Baqarah [2]: 230)


Setelah itu, Allah Swt. melanjutkan firman-Nya dalam ayat yang sama secara langsung: Fa in thallaqahâ (Kemudian, jika suaminya menceraikannya)—yaitu suaminya yang kedua, bukan yang pertama—fa lâ junâhâ ‘alayhimâ (tidak ada dosa bagi keduanya)—yaitu suami yang pertama dan istri yang telah ditalak untuk kedua kalinya itu—an yatarâja‘â (untuk kawin kembali)—yaitu masing-masing kembali melangsungkan perkawinan.

Walhasil, inilah tuntunan syariat mengenai tatacara perceraian. Dengan paparan di atas, tampak jelas bagaimana proses pemberlakuan hukum talak sekaligus metode penetapannya, tata cara penerapannya dengan hikmah yang nyata, dan pengamatannya terhadap detail kehidupan pergaulan pria-wanita. Semua itu ditujukan dalam upaya menjamin kehidupan yang diwarnai dengan kedamaian. Jika kedamaian ini lenyap dan tidak ada harapan lagi untuk mengembalikannya, maka harus ada upaya memisahkan suami-istri itu. Berdasarkan semua ini, Allah Swt. memberlakukan hukum talak sebagaimana yang telah kami paparkan di muka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse