Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

Nasab atau Garis Keturunan

Selasa, 16 Maret 2010
Telah menjadi hikmah Ilahiah bahwa wanita menjadi tempat mengandung dan melahirkan. Oleh karena itu, seorang wanita harus dibatasi untuk kawin dengan seorang pria saja. Ia dilarang untuk kawin dengan lebih dari seorang pria. Larangan kawin bagi wanita dimaksudkan agar setiap orang bisa mengenal nasabnya atau garis keturunannya. Islam sangat memperhatikan kepastian nasab ini sekaligus menjelaskan hukumnya dengan penjelasan yang amat sempurna.
Usia kehamilan yang paling singkat adalah enam bulan—meskipun pada umumnya berlangsung hingga sembilan bulan—dan yang paling lama adalah dua tahun. Seorang suami, jika istrinya melahirkan anak, maka ia bisa memastikan bahwa anak itu adalah darah-dagingnya setelah enam bulan atau lebih, dihitung sejak tanggal perkawinannya. Sebab, Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut:

Seorang anak bergantung pada ‘tempat tidur’ kedua orangtuanya.

Ringkasnya, selama istri—yang berada dalam kehidupan rumah-tangga bersama suaminya—melahirkan
seorang anak setelah melewati masa enam bulan dari perkawinannya atau lebih, berarti anak yang dilahirkannya itu mutlak merupakan anak suaminya.
Hanya saja, seorang suami, jika istrinya melahirkan seorang anak dalam jangka waktu minimal enam bulan atau lebih tetapi ternyata anak tersebut jelas-jelas bukan darah-dagingnya, maka ia boleh mengingkarinya dengan sejumlah syarat yang harus dipenuhi. Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka penolakannya tidak dapat diterima, sementara anak yang lahir tetap dianggap sebagai anaknya, baik ia rela ataupun terpaksa. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
1. Anak yang disangkalnya itu dilahirkan dalam keadaan hidup. Jika anak yang dilahirkan itu dalam keadaan mati, maka ia tidak boleh menafikan penisbatan nasab anak tersebut kepada dirinya, karena pengingkarannya tidak sesuai dengan ketentuan hukum syariat.
2. Belum adanya kepastian, baik secara jelas ataupun baru, berupa indikasi bahwa anak itu adalah anaknya. Jika kepastiannya telah jelas atau ada indikasi bahwa anak itu adalah anaknya, maka setelah itu penolakan terhadap nasab anak yang lahir tertolak dengan sendirinya.
3. Pengingkaran terhadap anak hendaknya dilakukan pada waktu-waktu ataupun keadaan-keadaan tertentu, seperti: pada saat istrinya melahirkan; pada waktu ia membeli berbagai kebutuhannya yang mendesak; atau ketika dirinya tahu bahwa istrinya melahirkan, sementara ia tidak berada di tempat. Di luar waktu-waktu atau keadaan-keadaan di atas, ia tidak boleh mengingkari nasab anak tersebut. Sebaliknya, jika istrinya melahirkan seorang anak, sementara ia tidak mengingkarinya—meskipun kesempatan untuk itu ada—berarti anak tersebut dianggap bernasab kepadanya, dan pengingkarannya setelah itu tidak diterima. Kedua pilihan itu—yakni antara pengetahuannya terhadap anak yang dimaksud dengan peluang untuk mengingkarinya—ditetapkan dalam satu majelis. Jika ia mengetahui anak itu dan memiliki kesempaatan untuk mengingkarinya tetapi ia tidak melakukannya, maka secara pasti, anak itu dinisbatkan nasabnya kepadanya, karena Rasulullah saw. telah bersabda demikian:

Seorang anak bergantung pada ‘tempat tidur’ kedua orangtuanya.

Sebaliknya, jika ia mengaku bahwa dirinya tidak mengetahui kelahiran itu, dan pengakuannya dapat dipercaya karena ia berada di tempat yang tidak memungkinkan dirinya mengetahuinya (mempunyai alibi kuat, pen)—seperti berada di tempat lain yang berbeda dengan tempat kelahiran anaknya atau ia berada di negeri lain—maka pengakuannya dipandang cukup jika disertai dengan sumpah. Alasannya adalah semata-mata karena ketidaktahuan. Akan tetapi, pengakuannya tidak bisa dipercaya, jika misalnya, ia berada bersama istri di satu daerah (kampung) sehingga tidak mungkin jika dirinya tidak mengetahuinya. Sementara itu, jika ia mengatakan, ‘Aku tahu kelahirannya, tetapi aku tidak tahu kalau aku memiliki hak untuk menolaknya’, atau ia mengatakan, ‘Aku tahu itu, tetapi aku tidak tahu kalau aku harus menafikannya ketika itu’,—sebagaimana hal itu tidak diketahui oleh orang kebanyakan—maka pengakuannya bisa diterima. Sebab, ketetapan ini terkait dengan apa yang tidak diketahui oleh orang pada umumnya, sehingga kasusnya dianggap mirip; misalnya, seandainya ia orang yang baru masuk Islam. Alasannya, setiap hukum yang berkaitan dengan apa yang tidak diketahui, maka ketidaktahuan terhadap hal itu bisa dimaafkan, seperti terjadi pada orang yang baru masuk Islam.
4. Hendaknya pengingkarannya terhadap anak yang lahir disertai dengan li‘ân (celaan). Dengan kata lain, ia menolak anak tersebut disertai dengan celaan. Sebab, penolakan terhadap anaknya tidak dipandang cukup, kecuali disertai dengan celaan yang sempurna (li’ân tâm).
Jika keempat syarat ini telah terpenuhi, maka pengingkaran seorang suami terhadap nasab (garis keturunan) anak yang dimaksud dapat diterima, sehingga anak tersebut menjadi hak istrinya. Dalam hal ini, Ibn ‘Umar telah menuturkan riwayat bahwa ada seorang pria yang telah saling melaknat (melakukan li‘ân) satu sama lain dengan istrinya pada masa Rasulullah saw., sehingga gugurlah hak atas anaknya. Rasulullah saw. kemudian memisahkan keduanya, sementara anaknya menjadi hak istrinya.
Sebaliknya, jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi, maka pengingkarannya terhadap anak yang dimaksud tidak dapat diterima. Anak itu tetap dinisbatkan nasabnya kepadanya, dan ia wajib menjalani seluruh hukum yang berkaitan dengan anak tersebut.
Paparan di atas berkaitan dengan kondisi tatkala terjadi perselisihan mengenai kelahiran yang dipicu oleh pihak suami. Sebaliknya, jika perselisihan yang terjadi di antara keduanya mengenai kelahiran itu dipicu oleh pihak istri—misalnya, ia mengaku bahwa selama menjalin hubungan suami-istri dirinya melahirkan anak yang merupakan darah-daging suaminya, tetapi suaminya tersebut mengingkarinya—maka pihak istri berhak menegaskan dakwaannya dengan dukungan kesaksian seorang wanita Muslimah. Dalam kasus ini, kesaksian seorang wanita Muslimah telah dipandang cukup, karena masalah pernasaban cukup ditegaskan berdasarkan adanya hubungan suami-istri. Kelahiran juga dianggap sah penetapannya dengan kesaksian seorang wanita yang telah memenuhi syarat-syarat persaksian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse