Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

Li‘ân di Antara Suami-Istri

Selasa, 16 Maret 2010

Al-Li‘ân diambil dari kata al-la‘nu, karena suami-istri masing-masing melaknat dirinya sendiri pada ucapan yang kelima kalinya, jika satu sama lain dianggap berdusta. Dasar hukum li‘ân terdapat dalam firman Allah Swt. berikut ini:


Orang-orang yang menuduh istri mereka masing-masing berzina, padahal mereka tidak memiliki saksi-saksi lain selain diri mereka sendiri, maka kesaksian salah seorang di antara mereka itu adalah berupa empat kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang benar. Sumpah yang kelima adalah berupa kesediaan untuk dilaknat oleh Allah jika dirinya memang termasuk orang-orang yang berdusta, sementara ia rela jika istrinya itu dihindarkan dari hukuman atas sumpahnya dengan empat kali sumpah atas nama Allah jika memang dirinya benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta. Sumpah yang kelima adalah ucapan bahwa laknat Allah atas istrinya jika dirinya termasuk orang-orang yang benar. (QS an-Nûr [24]: 6-9)


Berkaitan dengan li‘ân, Imam Abû Dâwud telah menuturkan riwayat melalui jalur yang bersumber dari Ibn ‘Abbas r.a. Disebutkan bahwa ia bertutur sebagai berikut:


Hilâl ibn Umayah, salah seorang dari tiga orang yang diterima taubatnya oleh Allah, pernah datang ketika waktu isya (di rumahnya). Akan tetapi, ia kemudian menjumpai seorang laki-laki di tengah-tengah keluarganya yang ia saksikan dengan mata-kepalanya sendiri dan ia dengar dengan telinganya sendiri. Hilâl membiarkan orang itu hingga menjelang waktu subuh. Esoknya, ia datang kepada Rasulullah saw. seraya mengadu, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku datang menjumpai keluargaku, tetapi aku mendapati seorang laki-laki di tengah-tengah mereka. Aku sungguh melihatnya dengan mata-kepalaku sendiri dan mendengarnya dengan telingaku sendiri’.


Akan tetapi, Rasulullah saw. tampaknya tidak suka atas pengaduan yang disampaikan oleh Hilâl. Kegelisahan pun menyelimuti Hilâl. Tidak lama kemudian, turunlah ayat yang menegaskan hal ini:


Orang-orang yang menuduh istri mereka masing-masing berzina, padahal mereka tidak memiliki saksi-saksi lain selain diri mereka sendiri, maka kesaksian salah seorang di antara mereka itu adalah berupa empat kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesungguhnya dirinya termasuk orang-orang yang benar. Sumpah yang kelima adalah berupa kesediaan untuk dilaknat oleh Allah jika dirinya memang termasuk orang-orang yang berdusta, sementara ia rela jika istrinya itu dihindarkan dari hukuman atas sumpahnya dengan empat kali sumpah atas nama Allah jika memang dirinya benar-benar termasuk orang-orang yang berdusta. (QS an-Nûr [24]: 6-9)


Setelah itu, Rasulullah saw. berkata, ‘Bergembiralah, wahai Hilâl, karena sesungguhnya Allah telah memberimu pilihan dan jalan keluar’.

Hilâl lalu berkata, ‘Aku memang mengharapkan hal seperti itu dari Tuhanku Yang Mahaberkah lagi Mahatinggi’.

Rasulullah saw. kemudian bersabda, ‘Kirimkanlah oleh kalian utusan kepada istri-nya’.

Selanjutnya, dikirimkanlah utusan itu kepada istrinya. Rasulullah saw. lantas menyampaikan wahyu yang baru diterimanya seraya mengingatkan keduanya sekaligus memberitahu mereka bahwa azab akhirat lebih pedih ketimbang azab dunia.

Hilâl kemudian berkata, ‘Demi Allah, aku berkata benar mengenai dirinya’!

Akan tetapi, istrinya berkat, ‘Dia berdusta’!

Selanjutnya, Rasulullah saw. bersabda, ‘Saling melaknatlah di antara kalian berdua’!

Setelah itu, dikatakan kepada Hilâl, ‘Bersumpahlah engkau’!

Hilâl pun bersumpah dengan empat kali sumpah atas nama Allah karena dirinya merasa termasuk orang yang benar. Tatkala hendak mengucapkan sumpah untuk yang kelima kalinya, dikatakan lagi kepadanya, ‘Hilâl, bertakwalah engkau kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia itu lebih ringan dibandingkan dengan azab akhirat, dan sesungguhnya kewajiban sumpah yang telah ditetapkan atasmu bisa menjadi azab bagimu’.

Hilâl pun berkata, ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengazabku karena hal ini, sebagaimana juga tidak akan menimpakan hukum cambuk kepadaku atas perkara ini’.

Hilâl kemudian bersumpah untuk yang kelimanya bahwa sesungguhnya laknat Allah akan menimpanya jika ia termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang berdusta. Setelah itu, Rasulullah saw. berkata kepada istrinya, ‘Sekarang, bersumpahlah engkau’!

Ia pun bersumpah atas nama Allah sebanyak empat kali bahwa suaminya termasuk ke dalam kelompok para pendusta. Ketika hendak mengucapkan sumpah untuk yang kelima kalinya, dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, karena sesungguhnya azab dunia itu lebih ringan dibandingkan dengan azab akhirat, dan sesungguhnya kewajiban sumpah ini bisa menjadi azab bagimu’.

Istri Hilâl tampak ketakutan beberapa saat. Akan tetapi, ia kemudian berkata, ‘Demi Allah, aku tidak mau menorehkan arang di atas wajah kaumku’.

Setelah itu, ia pun bersumpah untuk yang kelima kalinya bahwa kemurkaan Allah atas dirinya jika memang ia termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang benar.

Selanjutnya, Rasulullah saw. memisahkan keduanya, lalu diputuskan bahwa terhadap istrinya itu, Hilâl tidak berkewajiban menyediakan tempat tinggal maupun memberi makan.


Sementara itu, jika seorang suami menuduh istrinya berzina, misalnya dengan berkata kepadanya, ‘Kamu telah berzina’! atau, ‘Wahai pezina’! atau, ‘Aku telah melihatmu berzina’! sementara ia tidak dapat mendatangkan bukti apa pun, maka ia layak dikenai hukuman (had)—karena dianggap telah melakukan qadzaf (tuduhan palsu)—jika menolak untuk melakukan li‘ân. Akan tetapi, jika ia bersedia melakukan li‘ân sedangkan istrinya menolak untuk melakukannya, maka istrinyalah yang layak dikenai hukuman (had). Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman:


sementara ia rela jika istrinya itu dihindarkan dari hukuman (azab) atas sumpahnya dengan empat kali sumpah atas nama Allah. (QS an-Nûr [24]: 6-9)


Azab yang dimaksudkan agar dihindarkan dari istrinya adalah hukuman (had), sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah Swt.:


Hendaklah pelaksanaan azab (hukuman) atas keduanya disaksikan oleh sekumpulan orang-orang Mukmin. (QS an-Nûr [24]: 2)


Hilâl ibn Umayah sendiri—tatkala mendakwa istrinya dan kemudian mendatangi Nabi saw.—telah diperintahkan untuk mengirim utusan kepada istrinya. Setelah itu, keduanya saling melaknat. Ini adalah salah satu keadaan khusus di antara sejumlah keadaan yang bisa digunakan untuk memastikan adanya kasus perzinaan, yaitu keadaan manakala seorang suami melontarkan tuduhan zina kepada istrinya. Dalam kondisi semacam ini, istri bisa langsung dipastikan telah berzina karena li‘ân suaminya dan karena ketidakmauannya melakukan hal sama. Sebaliknya, jika istrinya juga mau melakukan li‘ân, maka tidak bisa dipastikan bahwa dirinya telah berzina. Artinya, dalam hal ini, penolakan istri untuk melakukan li‘ân-lah yang bisa dijadikan alat justifikasi untuk memastikan bahwa ia telah berzina, sehingga ia wajib dikenai hukuman karena li‘ân suaminya.

Sementara itu, jika keduanya telah saling melaknat, sementara hakim di pengadilan pun telah memisahkan keduanya sehingga keduanya tidak boleh lagi berkumpul selamanya, maka suami haram untuk meneruskan kehidupan rumah-tangganya. Alasannya, Nabi saw. sendiri pernah memisahkan kedua orang yang telah saling melaknat. Mâlik telah menuturkan riwayat melalui jalur Nâfi‘ yang bersumber dari Ibn ‘Umar sebagai berikut:


Sesungguhnya pernah ada seorang laki-laki yang telah saling melaknat dengan istrinya pada masa Nabi saw. dan ia telah dijauhkan dari anak istrinya (yakni tidak diakui lagi sebagai ayahnya, pen). Setelah itu, Rasulullah pun memisahkan keduanya, sementara anaknya turut bersama ibunya.


Ada juga riwayat yang bersumber dari Sahal ibn Sa‘ad yang berkata demikian:


Telah berlangsung ketetapan dalam kaitannya dengan suami-istri yang telah saling melaknat, yakni keduanya dipisahkan satu sama lain dan tidak boleh dikumpulkan kembali selamanya.


Adanya pemisahan suami-istri karena adanya faktor li‘ân secara otomatis membatalkan perkawinan, karena pemisahan tersebut telah mengakibatkan adanya larangan untuk meneruskan kehidupan suami-istri. Oleh karena itu, suami tidak boleh berkumpul kembali bersama istrinya, kecuali jika ia mengakui kebohongannya sendiri. Namun demikian, jika ia hendak kembali dan telah mengakui kebohongannya, maka istrinya berhak menjatuhkan hukuman—tentu lewat pengadilan, pen—atas suaminya dan menisbatkan nasab anaknya kepadanya, baik suaminya mengakui kebohongannya itu sebelum istrinya melakukan li‘ân atau sesudahnya.

Li‘ân bisa menyebabkan seorang suami bebas dari hukuman, dan sebaliknya, hukuman tersebut dijatuhkan atas istrinya, jika sang istri memang menolak untuk melakukan li‘ân. Syaratnya adalah jika suami, di hadapan hakim, mengatakan demikian, ‘Aku bersaksi atas nama Allah bahwa dia telah berzina’, sambil menunjuk ke arah istrinya. Jika istrinya tidak hadir di pengadilan, maka suami cukup menyebut nama istrinya dan nasabnya. Ucapan sumpahnya harus disempurnakan sebanyak empat kali. Kemudian, tatkala hendak mengucapkan sumpah untuk yang kelima kalinya, hendaknya dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, sesungguhnya ini adalah kewajiban, sedangkan azab dunia adalah lebih ringan daripada azab akhirat’. Belum diterima sumpahnya, kecuali ia telah menyempurnakan sumpahnya, dan kemudian ia mengatakan bahwa, laknat Allah atas dirinya jika ia memang termasuk ke dalam kelompok orang-orang yang berdusta terhadap tuduhan zina yang dilontarkan terhadap istrinya. Setelah itu, sang istri berkata, ‘Aku bersaksi atas nama Allah bahwa ia telah berdusta’, sebanyak empat kali. Kemudian, tatkala ia hendak mengucapkan sumpah untuk yang kelima kalinya, ia diperingatkan dengan azab Allah sebagaimana yang telah dilakukan kepada suaminya. Belum diterima sumpahnya, kecuali setelah ia menyempurnakan sumpahnya, dan kemudian mengatakan bahwa, murka Allah akan menimpanya jika memang suaminya termasuk kelompok orang-orang yang benar atas tuduhan zina yang dilontarkan kepadanya. Jika keduanya mempunyai anak, maka anak itu harus disebutkan dalam proses li‘ân. Jika sang suami bersumpah, ‘Aku bersaksi atas nama Allah, bahwa ia telah berzina’, ia juga harus berkata, ‘Anak ini bukan anakku’. Sementara itu, istrinya berkata, ‘Aku bersaksi atas nama Allah, bahwa ia berdusta, dan anak ini adalah anaknya’.

Demikianlah tatacara dalam proses mulâ‘anah atau li‘ân. Demikian pula ucapan atau redaksi kalimat yang mesti diucapkan masing-masing pihak. Oleh karena itu, jika seorang wanita melahirkan, lalu suaminya mengatakan, ‘Anak ini bukan dari darah-dagingku’, atau ia berkata, ‘Anak ini bukan anakku’, maka ia tidak boleh dikenai hukuman had. Sebab, ucapannya tidak dipandang sebagai tuduhan zina. Namun demikian, ia mesti ditanya. Berbeda halnya jika ia mengatakan, ‘Kamu telah berzina. Karena itu, anak ini adalah hasil perbuatan zinamu’, maka ucapan demikian dikategorikan sebagai qadzaf, sehingga ia harus melakukan li‘ân. Sebaliknya, jika ia hanya mengatakan, ‘Aku kira, anak ini tidak mirip rupanya denganku’, atau ia berkata, ‘Kamu telah bergaul dengan orang yang mirip dengan anak ini dan anak ini mirip dengan orang yang menggaulimu’, atau kata-kata yang serupa, maka ia tidak bisa dikenai hukuman had, dan sang anak yang lahir tetap dinisbatkan nasbnya kepadanya. Alasannya, ucapan-ucapan semacam itu tidak dikategorikan sebagai qadzaf (dakwaan), sehingga tidak perlu ada li‘ân dalam perkara semacam ini, karena syarat dilakukannya li‘ân adalah adanya qadzaf (dakwaan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse