Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

Poligami

Selasa, 16 Maret 2010

Allah Swt. berfirman di dalam Kitab-Nya yang Mulia sebagai berikut:


Nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau kalian nikahi budak-budak yang kalian miliki. Hal itu adalah lebih dekat pada sikap tidak berbuat aniaya. (QS an-Nisâ’ [4]: 3)


Ayat ini diturunkan kepada Nabi saw. pada tahun kedelapan Hijriah. Ayat ini diturunkan untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja. Sebelum ayat ini diturunkam, jumlah istri bagi seorang pria tidak ada batasannya. Dengan menyimak dan memahami ayat ini, tampak jelas bahwa, ayat ini diturunkan untuk membatasi jumlah istri hingga hanya empat orang saja. Ayat ini bermakna, ‘Kawinilah oleh kalian wanita-wanita yang memang dihalalkan bagi kalian untuk dinikahi: dua, tiga, atau empat’. Bilangan matsnâ wa tsulâsa wa rubâ‘ (dua, tiga, atau empat) disebut secara berulang dan beriringan. Maknanya, ‘Nikahilah oleh kalian wanita-wanita dari kalangan orang yang baik-baik dari jumlah seperti ini: dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat’.


Seruan ayat ini berlaku untuk keseluruhan (al-khithâb li al-jamî‘). Oleh karena itu, pengulangan itu harus dilakukan agar terkena kepada setiap orang yang hendak menikahi beberapa wanita yang diinginkannya, dengan syarat, jumlah wanita yang hendak dinikahinya itu dibatasi tidak lebih dari empat orang. Dengan itu, setiap orang yang hendak menikahi beberapa wanita yang diinginkannya, jumlahnya harus sesuai dengan angka yang telah disebutkan, yakni tidak lebih dari empat orang. Contoh yang sama ketika kita berkata kepada sekelompok orang, ‘Bagikanlah oleh kalian harta ini’. Misalnya, harta itu sebanyak 1000 dinar. Kemudian kita mengatakan, ‘Bagilah oleh kalian harta itu sebanyak dua dinar-dua dinar, tiga dinar-tiga dinar, atau empat dinar-empat dinar’. Jika bilangan yang anda ucapkan itu dalam bentuk mufrad (tanpa pengulangan), tentu tidak akan ada artinya. Oleh karena itu, ucapan matsnâ wa tsulâsa wa rubâ‘ (dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat) di dalam ayat di atas adalah sesuatu yang pasti (tidak ada lagi penafsiran lain). Dengan itu, setiap orang yang menghendaki bilangan tertentu dapat mengerti ungkapan tersebut. Artinya, Allah Swt. menyatakan bahwa setiap orang dari kalian dapat mengawini wanita-wanita yang baik-baik: dua, tiga, atau empat. Dengan kata lain, setiap orang di antara kalian dapat menikahi dua-dua, tiga-tiga, atau empat-empat orang wanita.

Allah Swt. berfirman:


Kemudian, jika kalian khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja. (QS an-Nisâ’ [4]: 3)


Maknanya, ‘Jika kalian merasa khawatir tidak akan dapat berlaku adil di antara sejumlah wanita tersebut, maka nikahilah seorang wanita saja, sekaligus meninggalkan upaya untuk menghimpun empat orang wanita’.

Setiap perkara (yang menyangkut bilangan-bilangan itu) selalu terikat dengan unsur keadilan. Siapa saja di antara anda sekalian yang mampu berlaku adil, ia boleh melakukan perkara-perkara tadi. Namun demikian, jika anda lebih suka memilih satu, hal itu merupakan pilihan yang paling dekat pada sikap tidak berlaku lalim (tidak adil). Oleh karena itu, potongan ayat yang berbunyi, ‘lebih dekat pada sikap tidak berbuat aniaya’, bermakna, ‘lebih dekat pada sikap tidak berlaku lalim (tidak adil)’. Aniaya maknanya sama dengan lalim atau tidak berlaku adil, sehingga dikatakan, ‘Ala al-Hâkim idzâ jâra (Hakim itu telah berbuat aniaya jika dia bertindak lalim [tidak adil]).

‘Aisyah r.a. menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda sebagai berikut:


Janganlah kalian berbuat aniaya, yakni janganlah kalian berlaku lalim (tidak adil).


Ayat al-Quran di atas membolehkan adanya poligami, sekaligus membatasinya pada bilangan empat. Akan tetapi, ayat tersebut juga memerintahkan agar seorang suami yang berpoligami berlaku adil di antara istri-istrinya. Namun demikian, ayat tersebut lebih menganjurkan agar membatasi jumlah istri pada bilangan satu orang, jika memang ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil. Sebab, pembatasan pada bilangan satu—dalam kondisi adanya kekhawatiran tidak dapat berlaku adil—merupakan tindakan yang lebih dekat pada sikap tidak berlaku lalim. Sikap semacam ini harus dimiliki oleh setiap Muslim.

Perlu dipahami bahwa keadilan bukanlah syarat bagi kebolehan untuk melakukan poligami. Keadilan hanya merupakan hukum—yang muncul karena keputusan seorang pria yang hendak mengawini sejumlah wanita—yang wajib dimiliki oleh seorang suami dalam kehidupan berpoligami, di samping merupakan dorongan untuk membatasi jumlah istri pada satu wanita saja, jika memang ada kekhawatiran tidak dapat berlaku adil. Hal ini tergambar secara sempurna dalam potongan ayat berikut:


Nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. (QS an-Nisâ’ [4]: 3)


Ayat ini mengandung pengertian tentang kebolehan untuk berpoligami secara mutlak. Setelah makna kalimat ini dipahami, kemudian dilanjutkan dengan kalimat lainnya, yaitu: Fa in khiftum (Kemudian, jika kalian khawatir). Kalimat ini bukan syarat, melainkan kalimat baru yang berdiri sendiri. Seandainya hal itu menjadi syarat, pasti akan dikatakan, ‘Nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi dua, tiga, atau empat jika kalian dapat berlaku adil’. Akan tetapi, kata-kata semacam itu tidak ada, sehingga aspek keadilan, secara pasti, bukanlah syarat. Keadilan hanyalah merupakan hukum syariat yang berbeda dengan hukum yang pertama. Hukum pertama berkaitan dengan kebolehan berpoligami sampai batas empat orang. Setelah itu, muncul hukum lain, yaitu anjuran untuk membatasi istri pada bilangan satu orang saja, jika memang berpoligami akan menyebabkan tidak dapat berlaku adil di antara istri-istri yang ada.

Atas dasar ini, jelas sekali bahwa, Allah Swt. telah membolehkan poligami tanpa ada ikatan ataupun syarat apa pun, juga tanpa harus menelusuri ‘illat-nya. Setiap Muslim boleh mengawini dua, tiga, atau empat orang wanita yang menurutnya baik. Oleh karena itu, kita menemukan dalam firman Allah Swt. terdapat kalimat, mâ thâba lakum (yang kalian senangi), yaitu berbagai kebaikan yang kalian jumpai pada diri mereka. Jelas pula bahwa Allah Swt. telah memerintahkan kita untuk berbuat adil di antara istri-istri kita, sekaligus menganjurkan—dalam keadaan adanya rasa khawatir berbuat aniaya di antara wanita-wanita yang hendak dinikahi—agar membatasi jumlah istri pada bilangan satu orang saja, karena tindakan demikian lebih dekat pada sikap tidak berlaku aniaya.

Aspek keadilan yang dituntut kepada seorang suami terhadap para istrinya bukanlah keadilan yang mutlak. Yang dimaksud hanyalah sikap adil seorang suami terhadap istri-istrinya sebatas yang masih berada dalam lingkaran kemampuan seorang manusia untuk merealisasikannya. Sebab, Allah Swt. sendiri tidak membebani manusia kecuali dalam batas-batas kesanggupannya. Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman:


Allah tidak membebani seseorang melainkan dalam batas-batas kesanggupannya. (QS al-Baqarah [2]: 286)


Memang benar, kata ta‘dilû yang tercantum dalam ayat di atas berbentuk umum, sebagaimana firman Allah Swt.:


Kemudian, jika kalian takut tidak akan berlaku adil. (QS an-Nisâ’ [4]: 3)


Pengertian adil dalam ayat di atas berbentuk umum, yakni mencakup setiap bentuk keadilan. Akan tetapi, kata yang bersifat umum ini kemudian di-takhsîs (diperlakukan secara khusus) sesuai dengan kemampuan manusia berdasarkan keterangan ayat yang lainnya. Allah Swt. berfirman:


Kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian. Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu condong (kepada yang kalian cintai) hingga kalian membiarkan yang lainnya terkatung-katung. (QS an-Nisâ’ [4]: 129)


Dengan demikian, Allah Swt. telah menjelaskan di dalam ayat ini bahwa, seorang suami mustahil dapat berlaku adil dan bersikap seimbang di antara istri-istrinya hingga ia tidak condong sama sekali—tidak lebih dan tidak kurang—terhadap kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan terhadap mereka. Oleh karena itu, anda tidak dituntut untuk benar-benar berbuat adil secara sempurna dan harus mencapai puncak keadilan. Apa yang dibebankan oleh Allah Swt. atas diri anda adalah sebatas kemampuan anda, dengan syarat, anda telah mengerahkan segala kemampuan dan potensi diri anda. Sebab, pembebanan taklif di luar kemampuan dapat digolongkan ke dalam tindakan kezaliman. Padahal, Allah Swt. sendiri telah berfirman:


Tuhanmu tidak akan berlaku zalim terhadap seorang pun. (QS al-Kahfi [18]: 59)


Oleh karena itu, janganlah kalian terlalu condong (kepada yang kalian cintai). (QS an-Nisâ’ [4]: 129)


Potongan ayat di atas merupakan penjelasan sekaligus komentar atas potongan ayat sebelumnya yang berbunyi:


Kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil. (QS an-Nisâ’ [4]: 129)


Pernyataan tersebut merupakan dalil bahwa anda tidak akan pernah dapat berlaku adil dalam membagi cinta dan kasih-sayang, meski dapat dipahami bahwa seseorang mampu berlaku adil di luar masalah cinta dan kasih-sayang. Inilah bentuk keadilan yang dituntut dan diwajibkan sebagaimana diungkap dalam ayat sebelumnya. Dengan itu, keadilan yang dituntut adalah khusus di luar masalah cinta dan kasih-sayang, dan tidak dalam masalah cinta (kasih-sayang) dan jima’ (persetubuhan). Oleh karena itu, dalam dua perkara ini, tidak ada kewajiban untuk berlaku adil, karena manusia tidak akan sanggup berlaku adil dalam perkara cinta dan kasih-sayang. Pengertian semacam ini ditegaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang bertutur demikian:


Rasulullah saw. pernah bersumpah untuk berlaku adil seraya berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya sumpahku ini adalah atas apa yang aku sanggupi. Oleh karena itu, janganlah Engkau memasukkan diriku ke dalam persoalan yang Engkau sanggupi namun aku tidak memiliki kesanggupan atasnya (yakni hatinya).”


Berkaitan dengan firman Allah Swt. yang maknanya, Kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil. (QS an-Nisâ’ [4]: 129), Ibn ‘Abbas r.a. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah menyatakan demikian, ‘Yakni dalam masalah cinta dan persetubuhan’.

Melalui ayat di atas, Allah Swt. telah memerintahkan untuk menjauhkan diri dari kecondongan mutlak (kullu al-mayl). Artinya, Allah Swt. sebetulnya membolehkan adanya sikap condong tersebut. Sebab, dapat dipahami bahwa larangan terhadap kecondongan mutlak—secara implisit—mengisyaratkan adanya kebolehan untuk bersikap condong (yang tidak mutlak, pen). Larangan ini persis seperti larangan Allah Swt. untuk bersikap royal, sebagaimana firman-Nya:


Janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu royal). (QS al-Isrâ’ [17]: 29)


Artinya, boleh mengulurkan tangan atau memberi (asal tidak terlalu royal).

Atas dasar ini, Allah Swt. telah membolehkan suami untuk bersikap condong kepada sebagian istrinya, tetapi melarang bersikap condong secara total (membabi-buta) dalam setiap urusan kepada sebagian istrinya itu. Bahkan, sikap condong ini boleh dilakukan selama sesuai dengan tempatnya, yaitu dalam masalah cinta (kasih-sayang) dan selera (hasrat seksual). Dengan demikian, pengertian ayat di atas adalah, ‘Jauhilah oleh kalian kecondongan mutlak’, karena kecenderungan semacam ini, jika dilakukan, dapat menyebab seorang wanita atau istri (yang diabaikan, pen) terkatung-katung, yaitu antara memiliki suami atau tidak.

Dalam hal ini, Abû Hurayrah r.a. menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda sebagai berikut:


Barangsiapa yang mempunyai dua orang istri, lalu ia bersikap condong kepada salah satu di antara mereka, niscaya ia akan datang pada hari Kiamat nanti sambil menyeret sebelah pundaknya dalam keadaan terputus atau condong.


Atas dasar ini, keadilan yang diwajibkan atas seorang suami adalah bersikap seimbang di antara para istrinya sesuai dengan kemampuannya, baik dalam hal bermalam atau memberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain. Sebaliknya, dalam perkara-perkara yang termasuk ke dalam pengertian bolehnya bersikap condong, yakni dalam masalah cinta dan selera (hasrat seksual), maka tidak ada kewajiban untuk bersikap benar-benar adil, karena hal itu memang berada di luar kemampuan, di samping dikecualikan berdasarkan nash al-Quran.

Demikianlah topik pembahasan mengenai poligami sebagaimana penjelasan yang ditunjukkan dalam nash-nash syariat. Semua itu didasarkan pada elaborasi (penelitian) terhadap nash-nash tersebut, kepatuhan terhadap batas-batas pengertian bahasa dan syariat, serta kesetiaan pada apa yang telah ditunjukkan sekaligus digali dari nash-nash tersebut. Melalui semua upaya itu, jelaslah bahwa, secara umum, Allah Swt. telah membolehkan poligami, tanpa adanya suatu ikatan atau syarat apa pun. Nash-nash yang ada dalam kaitannya dengan kebolehan poligami ini tidak mengandung ‘illat apa pun. Bahkan, Allah Swt. memaparkan masalah ini melalui pernyataan yang mengindikasikan adanya penafian (negasi) terhadap upaya pencarian ‘illat dalam ayat ini. Dalam potongan ayat-Nya, Allah Swt. menyatakan demikian:


….wanita-wanita yang kalian senangi. (QS an-Nisâ’ [4]: 3)


Oleh karena itu, kita wajib menunjukkan kepatuhan terhadap batas-batas nash syariat serta hukum syariat yang digali dari nash-nash tersebut. Kita tidak boleh memberikan ‘illat apa pun pada hukum dalam masalah ini; tidak dengan dalih keadilan, kebutuhan, dan alasan-alasan lainnya. Sebab, nash tersebut tidak memiliki ‘illat hukum, dan tidak ada ‘illat yang dikandung dalam nash-nash itu. Padahal, ‘illat hukum haruslah bersifat syar‘î, artinya ditunjukkan oleh nash syariat. Dengan itu, kita memiliki legitimasi untuk menetapkan bahwa hukum yang digali melalui keberadaan ‘illat tersebut merupakan hukum syariat. Jika ‘illat yang dikemukakan hanya bersifat ‘aqliyyah (ditetapkan melalui proses rasionalisasi) atau tidak tercantum di dalam nash-nash syariat, berarti hukum yang digali melalui keberadaan ‘illat tersebut tidak dipandang sebagai hukum syariat, tetapi merupakan hukum positif (sebagaimana yang dikenal dalam sistem perundang-undangan Barat, pen). Hukum semacam ini haram untuk diadopsi dan diterapkan, karena sama saja dengan hukum kufur. Setiap hukum yang tidak sesuai dengan syariat Islam adalah hukum kufur. Sebab, hukum syariat yang didefinisikan sebagai khithâb asy-Syâri‘ (Seruan Zat Pembuat Hukum) meniscayakan bahwa hukum yang diambil harus bersumber dari Allah Swt. semata. Hukum tersebut bisa diperoleh secara tekstual (nashan), konseptual (mafhûman), atau didasarkan pada adanya indikator (dilâlatan); bisa juga melalui adanya tanda/sinyal (amârah) yang terkandung di dalam nash yang menunjukkan adanya hukum syariat, sehingga setiap hukum yang mengadung tanda/sinyal (amârah) ini dipandang sebagai hukum syariat. Amârah (tanda/sinyal) seperti ini merupakan ‘illat syar‘îyyah yang tercantum di dalam nash, baik ditunjukkan secara jelas (sharâhatan), berdasarkan penunjukkan (dilâlatan), melalui penggalian (istinbâthan), atau lewat analogi (qiyâsan). Jika amârah atau ‘illat ini tidak tercantum dalam nash, berarti hukum yang dihasilkan tidak ada artinya.

Dari sini, jelas sekali bahwa, penetapan ‘illat‘illat apa pun—dalam hukum yang berkaitan dengan kebolehan poligami tidak boleh dilakukan, karena dalam seruan Allah Swt. tersebut tidak tercantum adanya ‘illat apa pun. Sebab, ‘illat apa pun di dalam proses penetapan suatu hukum syariat tidak ada nilainya sama sekali, kecuali jika ‘illat yang dimaksud memang ditunjukkan di dalam seruan Allah Swt.

Namun demikian, tidak adanya kebolehan untuk mencari-cari atau menetapkan ‘illat hukum syariat di dalam perkara tersebut tidak berarti menafikan kebolehan untuk memberikan penjelasan mengenai fakta yang terjadi, berupa implikasi dari hukum syariat yang dimaksud serta berbagai problem yang hendak dipecahkan. Yang dimaksud di sini hanyalah upaya menjelaskan fakta, bukan upaya mencari-cari atau menetapkan ‘illat hukum. Ada perbedaan antara upaya menjelaskan fakta dengan upaya mencari-cari atau menetapkan ‘illat hukum. Upaya pencarian atau penetapan ‘illat hukum harus dilakukan secara kontinu, sehingga hukum yang dihasilkan dapat dianalogikan terhadap perkara lain setiap kali dijumpai adanya kesamaan ‘illat dalam perkara tersebut. Sebaliknya, penjelasan suatu fakta merupakan upaya untuk menerangkan mengapa fakta tersebut terjadi. Upaya semacam ini tidak perlu dilakukan secara terus-menerus dan hasilnya pun tidak dapat dijadikan dasar analogi bagi perkara-perkara lain.

Atas dasar ini, digambarkanlah implikasi positif dari adanya poligami. Gambaran tersebut menyatakan bahwa di dalam suatu komunitas masyarakat yang membolehkan adanya poligami tidak akan mungkin ditemukan adanya wanita-wanita simpanan. Sebaliknya, di dalam komunitas masyarakat yang mengahalang-halangi adanya poligami akan mungkin dijumpai banyaknya wanita-wanita simpanan. Lebih dari itu, poligami ternyata dapat memecahkan banyak sekali problem yang terdapat di dalam suatu komunitas masyarakat dengan sifatnya yang hakiki sebagai sebuah komunitas manusia. Berbagai problem yang mengemuka tersebut tentu memerlukan adanya pemecahan, antara lain melalui poligami. Beberapa problem tersebut antara lain:

<!--[if !supportLists]-->1. <!--[endif]-->Ditemukannya sejumlah tabiat yang tidak biasa pada sebagian pria, yakni tidak merasa puas hanya dengan memiliki satu orang istri. Akibatnya, mereka bisa saja mengekspresikan hasrat seksualnya yang menggebu terhadap istrinya sehingga dapat berdampak buruk bagi istrinya itu, atau akan mencari wanita lain untuk dijadikan istri jika terdapat pintu di hadapannya yang bisa memberikan peluang untuk melangsungkan pernikahan lagi; dengan dua, tiga, atau empat wanita. Dalam keadaan semacam ini (ketika tidak ada peluang untuk berpoligami, pen), akan muncul dampak buruk berupa tersebar luasnya kekejian di tengah-tengah manusia, serta meluasnya purbasangka dan keragu-raguan di antara anggota keluarga. Oleh karena itu, bagi orang yang memiliki tabiat seperti ini, harus ada peluang yang terbuka di hadapannya dalam rangka memenuhi dorongan biologisnya yang luar biasa itu, yakni peluang yang halal yang telah disyariatkan oleh Allah Swt.

<!--[if !supportLists]-->2. <!--[endif]-->Sering dijumpai adanya wanita (istri) yang mandul, tidak memiliki anak. Akan tetapi, ia tetap menaruh rasa cinta di dalam kalbunya kepada suaminya, dan suaminya pun tetap menaruh rasa cinta di dalam hatinya kepada istrinya. Rasa cinta tersebut mampu mendorong keduanya untuk tetap mempertahankan keberlangsungan mahligai kehidupan rumah-tangga mereka dengan penuh ketenteraman. Namun, sang suami sangat ingin mempunyai anak, dan sangat cinta kepada anak-anak. Dalam keadaan demikian, jika ia tidak diperbolehkan untuk menikah lagi, sementara di hadapannya dunia terasa sempit, maka boleh jadi ia akan menceraikan istri pertamanya, meruntuhkan pilar rumah tangga dan kedamaiannya, sekaligus memporak-porandakan mahligai kehidupan suami-istri dan ketenteraman yang telah dibinanya. Boleh jadi pula, ia tidak diperbolehkan sama sekali untuk mengecap nikmatnya memiliki keturunan dan anak-anak. Dalam kondisi semacam ini, berarti telah terjadi pemerkosaan terhadap penampakkan rasa kebapakan sebagai bagian dari naluri seksualnya. Oleh karena itu, seorang suami yang menghadapi situasi seperti ini harus mendapatkan kesempatan untuk menikah lagi dengan wanita lain agar mendapatkan anak-keturunan yang didambakannya.

<!--[if !supportLists]-->3. <!--[endif]-->Kadang-kadang ditemukan adanya seorang istri yang menderita sakit sehingga tidak memungkinkan baginya melakukan hubungan suami-istri, atau tidak dapat melakukan pelayanan yang semestinya terhadap rumah tangga, suami, dan anak-anaknya. Padahal, sang istri memiliki kedudukan yang istimewa di mata suaminya, sehingga suaminya benar-benar mencintainya, dan tidak ingin menceraikannya. Sementara pada saat yang sama, suaminya merasa tidak akan sanggup hidup bersama istrinya (yang lemah) itu tanpa adanya istri yang lain. Dalam kondisi semacam ini, tentu harus diberikan kepada sang suami kesempatan untuk menikahi lebih dari satu istri.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Terjadinya banyak peperangan atau pergolakan fisik telah mengakibatkan jatuhnya korban berupa ribuan, bahkan jutaan, kaum pria. Akibatnya, tidak ada keseimbangan antara jumlah kaum pria dan wanita, seperti yang pernah terjadi pada Perang Dunia I dan II yang malanda dunia, khususnya di daratan Eropa. Jika kaum pria tidak sanggup mengawini lebih dari satu wanita, lalu apa yang harus dilakukan oleh sejumlah besar kaum wanita yang ada? Mereka akan hidup tanpa pernah mengecap nikmatnya kehidupan berumah-tangga sekaligus ketenteraman dan ketenangan hidup sebagai suami-istri. Lebih dari itu, kondisi semacam ini dapat menimbulkan adanya bahaya yang dapat mengancam nilai-nilai akhlak akibat munculnya naluri seksual yang tidak bisa dibendung.

<!--[if !supportLists]-->5. <!--[endif]-->Acapkali ditemukan bahwa tingkat pertumbahan penduduk laki-laki dan perempuan suatu umat, bangsa, atau belahan dunia tertentu tidak seimbang. Kadang-kadang jumlah kaum perempuannya lebih banyak ketimbang jumlah kaum laki-lakinya. Akibatnya, tidak ada keseimbangan antara populasi laki-laki dan populasi perempuan. Realitas seperti ini nyaris melanda sebagian besar bangsa dan umat di dunia. Dalam keadaan seperti ini, tidak ada solusi yang dapat mengatasi problematika ini, kecuali dengan dibolehkannya poligami.


Itulah beberapa problem real yang terjadi di tengah-tengah komunitas manusia dan melanda sejumlah bangsa atau umat. Jika poligami dilarang, problem seperti ini akan tetap ada tanpa ada pemecahan yang pasti, karena tidak ada solusi atas masalah tersebut, kecuali dengan poligami. Dari sinilah, poligami harus diperbolehkan sehingga problem yang menimpa umat manusia dapat dipecahkan.

Islam sendiri telah datang dengan membolehkan poligami dan tidak sampai mewajibkan. Kebolehan poligami merupakan perkara yang niscaya. Meskipun demikian, harus diketahui bahwa, berbagai kondisi yang dikemukakan di atas atau yang semacamnya—yang menimpa umat manusia atau komunitas manusia—hanyalah merupakan problematika yang real terjadi, bukan merupakan ‘illat bagi kebolehan adanya poligami, dan bukan pula merupakan syarat untuk berpoligami. Artinya, secara mutlak, seorang pria boleh mengawini dua, tiga, atau empat wanita sekaligus, baik di hadapkan pada berbagai persoalan yang membutuhkan pemecahan berupa poligami ataukah tidak. Sebab, Allah Swt. sendiri telah berfirman:


Kawinilah wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga, atau empat. (QS an-Nisâ’ [4]: 3)


Dalam ayat ini terdapat kata mâ thâba (yang disenangi) dengan bentuk umum, tanpa ada batasan ataupun syarat apa pun. Hanya saja, mencukupkan diri hanya pada seorang istri saja merupakan sikap yang dianjurkan oleh syariat dalam satu keadaan saja, yaitu tatkala adanya kekhawatiran tidak dapat berlaku adil. Di luar keadaan ini, ayat tersebut tidak pernah menganjurkan untuk menikah hanya dengan satu wanita, begitu pula nash-nash lainnya.

Hanya saja, karena poligami merupakan hukum syariat yang tercantum di dalam al-Quran secara jelas, maka peradaban kapitalis dan propaganda Barat serta-merta menyerang Islam yang berbeda secara diametral dengan seluruh agama lainnya. Mereka telah menggambarkan hukum tentang poligami dengan gambaran yang keji dan busuk. Mereka pun menjadikan poligami sebagai suatu alat untuk melemahkan dan menikam agama. Faktor yang mendorong mereka melakukan tindakan semacam itu bukanlah karena adanya ‘cacat’ yang—dalam pandangan mereka—tampak pada hukum-hukum Allah, tetapi memang semata-mata dilandasi oleh motif untuk menikam Islam, dan bukan didorong oleh faktor-faktor lainnya. Propaganda ini telah begitu mempengaruhi kaum Muslim, terutama pihak-pihak pemegang kekuasaan dan kaum intelektual, sehingga banyak di antara mereka yang masih memiliki perasaan cinta terhadap Islam bangkit membela Islam. Mereka lalu berusaha menakwilkan secara keliru nash-nash syariat yang ada untuk menolak tindakan poligami sebagai bentuk pelarian karena—adanya rasa inferior (rendah diri)—berada di bawah pengaruh propaganda batil yang selalu diagung-agungkan oleh musuh-musuh Islam.

Oleh karena itu, kaum Muslim harus diingatkan bahwa: yang dipandang terpuji adalah semua perkara yang memang dipuji oleh syariat, dan yang tercela adalah semua perkara yang memang dicela oleh syariat; yang dibolehkan oleh syariat merupakan perkara yang terpuji, dan yang dilarangnya adalah perkara tercela. Kaum Muslim juga harus diingatkan bahwa poligami—baik memiliki pengaruh positif yang dapat dirasakan atau tidak, baik mampu memecahkan problem yang terjadi atau tidak—telah dibolehkan oleh syariat. Jika al-Quran telah menyebut kebolehannya, berarti perbuatan semacam ini dipandang sebagai tindakan yang terpuji. Sebaliknya, tindakan melarang poligami dipandang sebagai perbuatan tercela, karena tindakan demikian berasal dari hukum kufur.

Harus ada kejelasan bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai sebuah kewajiban atau hal yang disunnahkan bagi kaum Muslim, tetapi hanya menjadikannya sebagai sesuatu yang mubah, yakni boleh dilakukan jika memang dipandang perlu oleh mereka. Realitas semacam ini mengandung pengertian bahwa, syariat Islam telah memberikan kepada manusia suatu pemecahan (yakni poligami, pen) yang boleh mereka praktekkan jika memang mereka membutuhkannya, serta telah membolehkan mereka untuk tidak mengharamkan diri mereka sendiri terhadap apa yang mereka senangi dari kaum wanita, jika memang—menurut pandangan mereka—mereka memang tertarik pada hal itu.

Dengan demikian, adanya kebolehan poligami—dan bukan merupakan kewajiban— telah menjadikan poligami sebagai jalan keluar yang paling layak dan pantas, yang berada dalam kewenangan manusia sendiri, bagi komunitas manusia atau masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse