Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

Pemeliharaan Anak

Selasa, 16 Maret 2010

Pemeliharaan anak merupakan suatu kewajiban, karena jika anak dibiarkan terlantar, ia pasti akan menderita dan binasa. Pemeliharaan anak terkait dengan pemeliharaan jiwa yang telah diwajibkan oleh Allah Swt. Jiwa anak wajib dipelihara agar terhindar dari kebinasaan, sekaligus diselamatkan dari sesuatu yang dapat membinasakannya. Pemeliharaan anak merupakan kewajiban, dan hal ini terkait juga dengan hak kerabatnya, karena pemeliharaan anak menjadi hak bagi anak kecil. Kerabat memiliki hak atas pemeliharaan anak, dan mereka pun memiliki kewajiban atas perkara ini. Sementara itu, pemeliharaan adalah hak bagi setiap anak dan bagi siapa saja yang telah diwajibkan oleh Allah Swt. untuk dipelihara. Pemeliharaan anak adalah juga kewajiban seorang pemelihara (pengasuh) jika memang ia telah dipilih untuk mengasuh dan merawatnya.

Hak pemeliharaan anak, sebagaimana telah ditetapkan oleh Allah Swt., adalah khusus bagi mereka yang berhak, tidak bersifat umum. Oleh karena itu, pemeliharaan anak tidak diserahkan kepada orang yang bisa menelantarkan anak tersebut, karena hal itu jelas akan membahayakannya. Atas dasar ini, pengasuhan atau perawatan anak tidak boleh diserahkan kepada anak kecil atau oang yang cacat mental. Sebab, keduanya tidak mungkin mampu mengurusnya, apalagi mereka sendiri memerlukan kepada orang (lain) yang bisa memelihara dirinya, sehingga bagaimana mungkin mereka mampu memelihara orang lain.

Urusan pemeliharaan anak, juga tidak diserahkan kepada orang yang dapat menelantarkannya karena kelengahan atau kesibukannya dengan berbagai aktivitas lain, sehingga tidak memungkinkan bagi dirinya untuk mengasuh anak tersebut. Pemeliharaan anak juga tidak diserahkan kepada orang yang memiliki sifat-sifat buruk, seperti fasik, misalnya. Sebab, sifat-sifat buruk semacam itu dapat mengakibatkan anak yang dipeliharanya tumbuh dan berkembang dengan sifat-sifat yang rusak, sementara kerusakan itu sendiri dapat dipandang sebagai suatu kebinasaan.


Sementara itu, orang kafir tidak dapat dibayangkan bisa menjadi seorang ayah bagi seorang anak yang ibunya Muslim, karena seorang wanita Muslimah tidak boleh menikah dengan pria kafir. Jika demikian halnya, harus ditentukan bahwa, yang berhak memelihara anak adalah ibunya atau selain dirinya. Dalam keadaan seperti ini, perlu diperhatikan: jika anak itu sudah mulai bertambah usianya, dapat memikirkan segala hal, dan mampu membedakan antara perlakuan ibunya dengan perlakuan ayahnya, serta sudah lewat masa penyapihan, maka ia diberikan pilihan di antara kedua orangtuanya. Siapa yang dipilih, berarti ia turut bersamanya. Dalam hal ini, Imam Abû Dâwud telah menuturkan riwayat yang dituturkan oleh ‘Abdul Hamîd ibn Ja‘far. Ia menerima riwayat tersebut dari ayahnya, sementara ayahnya menerimanya dari kakeknya, yakni Râfi‘ ibn Sinân. Disebutkan demikian:


Sesungguhnya ia telah masuk Islam, sedangkan istrinya menolak masuk Islam. Sang istri lalu datang kepada Nabi saw. dan kemudian berkata, “Ini adalah anak perempuanku. Ia telah disapih atau serupa dengan itu.” Râfi‘ berkata, “Ini adalah anak permpuanku.” Nabi saw. lantas berkata kepada Râfi‘, “Duduklah di sebelah sana.” Beliau juga berkata kepada istrinya, “Duduklah di sebelah sana.” Setelah itu, beliau meletakkan si anak di tengah-tengah di antara keduanya seraya berkata kepada keduanya, “Coba, panggillah anak ini oleh kalian berdua.” Si anak ternyata condong kepada ibunya. Selanjutnya, Nabi saw. berdoa, “Ya Allah, berilah anak itu petunjuk.” Setelah Nabi saw. berdoa, si anak pun kemudian condong kepada ayahnya, sehingga diambillah ia oleh ayahnya itu.


Hadis ini telah diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dan An-Nasâ’î dengan redaksi yang berbeda, tetapi dengan makna yang sama, sebagaimana riwayat di atas.

Jika anak itu masih kecil, belum bisa memikirkan berbagai hal, serta belum dapat membedakan antara perlakuan ibunya dengan perlakuan ayahnya—baik anak itu masih dalam masa penyapihan, lebih rendah, ataupun lebih tinggi dari itu, dan ia lebih dekat kepada ibunya—maka ia tidak diberi pilihan, sehingga secara otomatis ia diikutkan kepada ibunya. Hal ini sejalan dengan pemahaman terhadap hadis riwayat Râfi‘ ibn Sinân di atas, karena yang pasti, ibu lebih berhak dalam pengasuhan anak, di samping tidak ada nash yang melarang seorang ibu mengasuh anaknya. Di sini tidak dapat dikatakan bahwa, pengasuhan anak termasuk ke dalam perkara perwalian (kekuasaan), sehingga orang kafir tidak boleh menguasai orang Muslim, karena fakta menunjukkan bahwa, masalahnya terkait dengan pengasuhan dan pelayanan, bukan terkait dengan perwalian (kekuasaan), juga tidak berhubungan dengan hukum-hukum mengenai perwalian (kekuasaan).

Seorang ibu lebih berhak dalam urusan pemeliharaan anak kecil dan anak yang idiot jika ia bercerai dengan suaminya. Dalam hal ini, Imam Abû Dâwud menuturkan riwayat dari ‘Abdullâh ibn ‘Amr ibn ‘Ash sebagi berikut:


Seorang wanita pernah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, anakku ini, perutkulah yang menjadi tempatnya, puting susukulah yang menjadi tempat air minumnya, dan pangkuankulah yang menjadi tempat bernaungnya. Akan tetapi, ayahnya menceraikan diriku dan ingin mengambilnya dari sisiku.” Rasulullah saw. lantas bersabda, “Engkau lebih berhak atasnya sebelum engkau menikah lagi.”


Ibn Abî Syaibah juga menuturkan riwayat yang bersumber dari ‘Umar. Disebutkan bahwa, ‘Umar telah menceraikan Ummu ‘Ashim. ‘Umar lalu mendatangi mantan istrinya, sementara ‘Ashim, anaknya, sedang berada dipangkuannya. ‘Umar kemudian berusaha mengambil anak itu dari ibunya, lalu terjadi tarik-menarik di antara keduanya sampai anak itu menangis. Keduanya lalu mendatangi Abû Bakar ash-Shiddîq. Abû Bakar ash-Shiddîq berkata:


Belaiannya, pangkuannya, dan pengasuhannya adalah lebih baik bagi anak itu ketimbang engkau (yakni ‘Umar, pen) sampai ia beranjak dewasa hingga dapat menentukan pilihan untuk dirinya sendiri.


Jika seorang ibu bukan termasuk orang yang baik dalam pengasuhan anak sehingga syarat-syarat yang disebutkan di atas tidak terpenuhi, atau sebagian syaratnya tidak terpenuhi—misalnya, ia telah kawin lagi, akalnya terganggu, atau yang semisal dengan itu—maka ia dianggap tidak ada, dan hak pengasuhannya berpindah kepada orang yang memiliki kewenangan atasnya (wali sang ibu).

Jika kedua orangtuanya sama-sama kurang baik dalam pengasuhan anak, maka hak pengasuhannya berpindah lagi kepada orang yang memiliki wewenang atas keduanya, karena keduanya dianggap tidak ada. Akan tetapi, yang paling pantas dari semua itu dalam pengasuhan anak adalah ibu, kemudian neneknya, hingga terus berlanjut silsilahnya ke atas dari kalangan keluarga yang terdekat, karena mereka adalah para wanita yang melahirkan. Inilah makna seorang ibu. Setelah itu, baru ayahnya, lalu neneknya, kemudian kakeknya, lalu nenek dari bapaknya, kemudian kakek dari bapaknya, dan kemudian nenek dari kakeknya. Meskipun mereka tidak saling mewarisi, mereka menunjukkan garis siapa yang berhak atas pengasuhan anak.

Jika kaum pria dan wanita—sebagaimana yang telah disebutkan di atas—juga tidak mampu, maka hak pengasuhan anak berpindah kepada saudara-saudara perempuan mereka, terutama saudara perempuan dari kedua orang suami-istri itu, kemudian saudara perempuan dari bapaknya, lalu saudara perempuan dari ibunya. Wanita didahulukan daripada pria, karena wanita lebih layak dalam hal pengasuhan anak, sehingga wanita didahulukan daripada pria yang derajatnya sama.

Jika sudara perempuan tidak ada, maka saudara laki-laki dari pasangan itu didahulukan, kemudian saudara laki-laki dari pihak bapak, lalu anak-anak dari bapak dan ibu; tidak boleh pengasuhan anak diserahkan kepada saudara laki-laki dari pihak ibu. Jika mereka tidak ada, maka pengasuhan anak diserahkan kepada para bibi dari pihak ibu. Jika tidak didapati juga, maka hak pengasuhan anak berpindah kepada bibi dari pihak bapak. Jika tidak ada, pengasuhan anak diserahkan kepada para paman; yang pertama paman dari kedua suami-istri itu; jika tidak ada berpindah kepada paman dari pihak bapak; pengasuhan anak tidak boleh diserahkan kepada paman dari pihak ibu. Jika mereka semua tidak ada, maka pengasuhan anak diserahkan kepada bibi dari pihak ibu, lalu bibi dari pihak bapak, kemudian paman dari pihak bapak. Pengasuhan tidak diserahkan kepada paman dari pihak ibu, karena mereka semua mengalir dari pihak ibu, dan tidak berhak mengasuh anak.

Hak pengasuhan anak tidak berpindah kepada selain orang-orang yang berhak, kecuali memang mereka tidak ada atau tidak mampu/tidak sanggup. Jika orang yang berhak mengasuh anak itu meninggalkan tugasnya dalam pengasuhannya, maka hak pengasuhan tidak otomatis berpindah kepada orang yang memiliki kewenangan atasnya, kecuali ia memang memilik hak dalam pemeliharaan anak yang dimaksud. Sebab, pengasuhan anak, walaupun merupakan haknya, tetapi juga merupakan kewajiban atas dirinya pada saat yang sama. Hak bagi anak yang dipelihara tidak boleh ditinggalkan, kecuali dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan dalam pengasuhan anak. Pada saat itu, pengasuhan anak berpindah kepada orang yang memiliki kewenangan atas orang yang berhak mengasuhnya—yang telah meninggalkan pengasuhannya—sebagaimana urutan yang telah dijelaskan sebelumya.

Jika orang yang telah melepaskan kewajibannya itu kembali ingin menunaikan kewajibannya serta mampu memelihara anak, maka hal itu boleh dilakukannya, dan anak yang dipelihara itu kembali kepadanya. Demikian pula seorang ibu yang telah menikah lagi hingga hak pengasuhannya hilang, lalu ia diceraikan oleh suaminya yang kedua, maka hak pengasuhan anak itu berpindah kembali kepadanya. Begitu pula setiap kerabat yang memiliki hak dalam pengasuhan, jika hilang hak pengasuhannya karena adanya suatu halangan, kemudian halangan itu lenyap, maka haknya itu kembali kepadanya, karena sebabnya telah muncul kembali.

Jika terdapat sekelompok orang yang berselisih dalam perkara anak, maka siapa pun yang lebih berhak (pada urutan berikutnya) adalah orang yang juga paling berhak dalam pengasuhan. Dalam hal ini, Barrâ’ ibn ‘Azib menuturkan bahwa, anak perempuan Hamzah (paman Nabi saw., pen), pernah diperselisihkan oleh ‘Alî, Ja‘far, dan Zayd. ‘Ali berkata, ‘Aku lebih berhak atas anak pamanku’. Ja‘far juga berkata, ‘Ia adalah anak pamanku dan bibinya adalah istriku’. Zayd juga berkata, ‘Ia adalah anak saudaraku’.

Rasulullah saw. kemudian memutuskan untuk menyerahkan anak itu kepada bibinya seraya bersabda:


Bibi kedudukannya sama seperti ibu.


Semua pembahasan ini terkait dengan seorang anak yang membutuhkan pemeliharaan dilihat dari aspek bahwa ia harus dijaga dari kebinasaan. Sementara itu, anak yang mampu tanpa perlu pemeliharaan, maka dengan kemampuannya itu, ‘illat kafâlah (pemeliharaan anak) menjadi hilang. Karena ‘illat-nya hilang, maka hilang pula hukumnya, yaitu kewajiban kerabatnya dalam pemeliharaan dirinya. Dalam keadaan seperti ini, perlu diperhatikan, jika orang yang berhak dalam pemeliharaan—seperti ibu misalnya—adalah orang kafir—maka si anak diambil dan diserahkan kepada orang yang memiliki wewenang atas anak tersebut. Sebab, faktanya terkait dengan masalah wilâyah (perwalian/kewenangan), bukan berhubungan dengan kafâlah (pemeliharaan anak), sementara dalam perkara perwalian, seseorang tidak boleh diserahkan kepada orang kafir. Allah Swt. berfirman:


Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang Mukmin. (QS an-Nisâ’ [4]: 141)


Rasulullah saw. juga bersabda:


Islam itu tinggi dan tidak akan pernah ada yang menandingi ketinggiannya.


Nash-nash ini bersifat umum, tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Dalam hal ini, hadis-hadis mengenai pengasuhan anak, tidak sesuai dengan konteks perbincangan di atas, yaitu dalam keadaan sang anak tidak memerlukan pengasuhan. Sementara itu, mengenai siapa yang harus memeliharanya dan yang memiliki wewenang dalam kaitannya dengan orang-orang Muslim—seperti jika ayah atau ibunya Muslim—maka pemuda atau pemudi, yaitu anak laki-laki ataupun perempuan, dipersilahkan untuk memilih: apakah turut bersama ayahnya atau ibunya. Sebab, ada riwayat yang dituturkan oleh Imam Ahmad, Ibn Mâjah, dan at-Turmudzî sebagai berikut:


Abû Hurayrah menuturkan bahwa Nabi saw. pernah menyuruh kepada seorang anak laki-laki untuk memilih: antara mengikuti ayahya atau ibunya.


Dalam riwayat Imam Abû Dâwud, juga disebutkan demikian:


Sesungguhnya ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah saw. seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa serta anakku. Padahal, anakku telah mengambilkan air minumku dari sumur Abu Inabah, dan ia benar-benar bermanfaat bagiku.” Rasulullah saw. kemudian bersabda, “Undilah dia oleh kalian berdua!” Suaminya berkata, “Siapa yang mempengaruhi anakku?” Nabi saw. kemudian bersabda kepada anak itu, “Ini adalah ayahmu dan ini ibumu. Ambillah tangan salah satunya, mana yang engkau sukai.” Anak itu lantas mengambil tangan ibunya, lalu wanita itu pun pergi dengan membawa anak tersebut.


Imam al-Bayhaqî juga menuturkan riwayat yang bersumber dari ‘Umar. Disebutkan bahwa ia pernah menyuruh seorang lelaki untuk memilih: antara mengikuti ayahnya atau ibunya.

Diriwayatkan pula bahwa, ‘Alî ibn Abî Thâlib pernah menyuruh ‘Amârah al-Judzâmi memilih antara turut bersama ibunya atau bibinya, sedangkan usianya saat itu tujuh atau delapan tahun.

Hadis-hadis ini sangat jelas, dan menjadi dalil bahwa jika terdapat perselisihan antara seorang ayah dan seorang ibu mengenai anaknya (yang sudah bisa memilih, pen), maka harus diberikan pilihan kepada sang anak, siapa yang akan diikutinya.

Sementara itu, adanya pengaruh (yakni ketika suami wanita tersebut berkata, ‘Siapa yang mempengaruhi anakku’?—pen) yang ditunjukkan dalam riwayat Abû Dâwud, maka hal itu tidak disebutkan dalam riwayat An-Nâsa’î, begitu pula dalam riwayat-riwayat lainnya, hingga sampai mengakibatkan tidak adanya pilihan bagi anak itu terhadap salah satu dari kedua orangtuanya.

Pilihan yang diberikan kepada seorang anak yang sudah cukup besar tidak terikat dengan usia tertentu, tetapi hal itu dikembalikan kepada hakim sesuai dengan pandangannya untuk menentukannya berdasarkan pengalaman. Jika mereka mengatakan bahwa anak itu tidak lagi membutuhkan pemeliharaan atau pengasuhan, lalu hakim menerima pendapat tersebut, maka anak yang bersangkutan diberikan pilihan. Jika tidak, maka anak itu diserahkan kepada orang yang berhak memeliharanya. Kenyataan ini bisa berbeda bagi setiap anak, bergantung pada keadaan mereka masing-masing. Seorang anak yang berusia lima tahun boleh jadi tidak lagi memerlukan pemeliharaan. Boleh jadi pula, seorang anak yang telah berusia tujuh tahun, ia masih memerlukan pemeliharaan. Oleh karena itu, ketentuan diambil bergantung pada fakta anak tersebut, apakah masih memerlukan pemeliharaan ataukah tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse