Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

Silaturahmi

Selasa, 16 Maret 2010

Tatkala Allah Swt. melarang fanatisme jahiliah, hal itu adalah larangan untuk menjadikan fanatisme kesukuan sebagai pengikat di antara umat Islam, sekaligus melarang penerapannya dalam hubungan antar kaum Muslim. Namun demikian, Allah Swt. telah memerintahkan kepada kaum Muslim agar selalu melakukan hubungan dengan kerabat dekat serta berbuat baik kepada mereka. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa, pernah ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Nabi saw., yakni tentang siapa yang paling berhak menerima perlakuan baik. Pada saat itu, beliau menjawab:


Ibumu, lalu ayahmu, kemudian saudara perempuanmu, dan baru saudara laki-lakimu.


Dalam versi lain disebutkan dengan redaksi demikian:


Pelindungmu adalah yang lebih dekat kepadamu; hak dan kewajiban serta kasih sayangnya yang tidak terputus.


Asmâ’ binti Abû Bakar r.a. juga pernah bertutur demikian:


Ibuku biasa datang kepadaku, sedangkan ia adalah seorang musyrik pada masa Qurays (jahiliah), karena mereka telah membuat perjanjian dengan Nabi mengenai anaknya. Oleh karena itu, aku meminta fatwa kepada Rasulullah saw. Aku berkata, “Ibuku biasa datang kepadaku, sedangkan ia amat benci terhadap Islam.” Rasulullah saw. menjawab, “Ya, berhubunganlah dengan ibumu.”



Islam telah menjadikan kerabat itu ada dua macam: (1) kerabat yang mewarisi seseorang jika orang tersebut meninggal; (2) kerabat yang memiliki hubungan silaturahmi. Mereka yang berhak mendapatkan warisan adalah orang-orang yang tercantum dalam daftar penerima warisan, sementara orang-orang yang memiliki hubungan silaturahmi adalah selain mereka; mereka tidak mendapatkan bagian dari warisan, bukan pula para ‘ash­âbah. Mereka berjumlah sepuluh orang yang terdiri dari: bibi dari pihak bapak atau ibu; kakek dari ibu; putra dari anak perempuan; putra dari saudara perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki, putri dari paman pihak bapak maupun pihak ibu; paman dari ibu; anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu; dan siapa saja yang memiliki hubungan dekat dengan mereka. Allah Swt. mejadikan mereka tidak berhak mendapatkan warisan sama sekali, dan seseorang tidak wajib memberikan nafkah kepada mereka. Meskipun demikian, Allah Swt. memerintahkan untuk menjalin hubungan silaturahmi dan berbuat kebaikan terhadap kerabat secara keseluruhan.

Jâbir r.a. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:


Jika seseorang di antara kalian fakir, maka hendaklah dimulai dari dirinya sendiri (untuk memenuhi kebutuhannya, pen); jika ia memiliki suatu kelebihan, hendaknya ia memberikannya kepada keluarganya; dan jika masih memiliki kelebihan, hendaknya ia memberikannya kepada kerabatnya.


Abû Ayyûb al-Anshârî juga bertutur demikian:


Ada seorang laki-laki yang berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepadaku amal perbuatan yang dapat memasukkan diriku ke dalam surga?” Orang-orang berkata, “Ada apa dengannya, ada apa dengannya?” Rasulullah saw. bersabda, “Bukankah Tuhan bersamanya?” Beliau melanjutkan, “Engkau menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menjalin hubungan silaturahmi.”


Hadis ini memerintahkan silaturahmi. Akan tetapi, di dalam hadis tersebut, juga di dalam hadis-hadis lain yang berkaitan dengan silaturahmi, tidak dijelaskan: apakah yang dimaksud kerabat dekat (dzû al-arhâm) saja atau setiap orang yang memiliki hubungan silsilah dengan seseorang. Yang jelas, hadis-hadis itu bersifat umum, mencakup setiap orang yang memiliki hubungan silaturahmi; baik mahram atau bukan; baik dari kalangan ahli waris maupun bukan. Semua itu dapat dibenarkan, karena tergolong dzû al-arhâm.

Banyak hadis yang menyinggung keharusan menjalin silaturahmi ini, misalnya, sabda Rasulullah saw. berikut:


Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan silaturahmi.


Anas ibn Mâlik menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda sebagai berikut:


Siapa saja yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, hendaklah ia senantiasa menghubungkan tali silaturahmi.


Abû Hurayrah r.a. juga menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda demikian:


Sesungguhnya Allah telah menjadikan makhluk. Tatkala telah selesai, bangkitlah rahim (tali persaudaraan) seraya berkata, “Di sinilah tempat orang yang menjaga diri dari keterputusan.” Allah Swt. berfirman, “Ya, jika demikian, relakah engkau jika Aku akan berhubungan dengan orang yang selalu menyambungkan diri denganmu dan akan memutuskan hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu?” Rahim menjawab, “Baiklah.” Allah Swt. melanjutkan, “Itulah bagianmu.”


Setelah itu, Nabi saw bersabda, “Jika kalian mau, bacalah olehmu ayat ini:


Sekiranya kalian berkuasa, apakah kalian akan membuat kekacauan di bumi dan memutuskan hubungan silaturahmi dengan kerabat kalian? (QS Muhammad [47]: 22).


Rasulullah saw. juga bersabda demikian:


Bukanlah orang yang menghubungkan persaudaraan itu adalah yang membalas hubungan baik. Akan tetapi, orang yang menghubungkan persaudaraan itu adalah ia yang, ketika keluarganya memutuskan hubungan, menyambungkan kembali hubungan itu.


Nahs-nash di atas semuanya menunjukkan pada dorongan untuk menjalin silaturahmi. Silaturahmi menunjukkan pada sejauh mana hubungan dan kasih sayang terjadi di antara jamaah Islamiyah yang telah disyariatkan oleh Allah Swt.; pada hubungan kekerabatan satu sama lain; dan pada adanya kerja-sama di antara mereka. Silaturahmi juga menunjukkan pada sejauh mana perhatian syariat Islam terhadap tata-aturan pergaulan dan interaksi antara pria dan wanita, pengaturan segala implikasi yang muncul akibat dari adanya hubungan yang terjadi, dan segala sesuatu yang menjadi turunannya.

Walhasil, syariat Islam—dengan sejumlah hukum yang diberlakukan untuk mengatur aspek pergaulan dan interaksi pria-wanita di di tengah-tengah masyarakat—merupakan nizhâm ijtimâ‘î yang paling baik dan paling layak bagi umat manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse