Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

Perkawinan

Selasa, 16 Maret 2010
Adanya interaksi atau pergaulan antara kaum wanita dan kaum pria sering memunculkan berbagai hubungan yang berkaitan dengan kemaslahatan masing-masing pihak sekaligus kemaslahatan komunitas (jamaah) yang hidup di dalamnya. Yang dimaksud bukanlah berbagai hubungan yang merupakan bagian dari problem yang lahir dari adanya interaksi seperti jual-beli, perburuhan (ijârah), perwakilan (wakâlah), dan sebagainya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, dalam benak kita akan langsung terbayangkan bahwa berbagai hubungan yang terjadi di antara kedua belah pihak ini hanya menyangkut perkawinan saja.
Pada hakikatnya, perkawinan hanya merupakan salah satu hubungan yang terjadi, karena selain perkawinan, terdapat pula jenis-jenis hubungan yang lain. Oleh karena itu, interaksi yang bersifat seksual antara pria dan wanita bukanlah satu-satunya gejala yang tampak dari adanya naluri seksual (gharîzah an-naw‘) pada keduanya, tetapi hanya sekadar salah satu gejala saja. Terdapat berbagai gejala lain yang tampak selain dari adanya interaksi yang bersifat seksual antara pria dan wanita seperti adanya rasa keibuan, kebapakan, dan persaudaraan, atau status sebagai anak, bibi, dan paman, yang semuanya merupakan menifestasi dari gharîzah an-naw‘.
Dari sini berarti, hubungan-hubungan yang lahir sebagai implikasi dari adanya interaksi atau pergaulan antara pria dan wanita adalah menyangkut aspek-aspek keibuan, kebapakan, dan seterusnya, di samping perkawinan. Artinya, sistem interaksi atau tata pergaulan antara pria dan wanita pun menyangkut aspek keibuan, kebapakan, dan seterusnya, di samping perkawinan. Dalam konteks ini pula, syariat Islam datang dengan membawa hukum-hukum yang terkait dengan aspek anak, bapak, maupun ibu, sebagaimana terkait dengan masalah perkawinan itu sendiri.
Namun demikian, perkawinan merupakan pangkal, sementara berbagai hubungan lain hanyalah cabang dari adanya hubungan perkawinan. Dengan kata lain, jika tidak ada perkawinan, tidak mungkin muncul status bapak, anak, ibu, dan yang lainnya. Dari sini, jika dilihat dari segi pengaturannya, perkawinan merupakan pangkal, sementara seluruh hubungan lainnya merupakan cabang yang lahir sebagai implikasi dari adanya hubungan perkawinan; meskipun perasaan-perasaan manusia akan suatu kebutuhan, secara alami, akan mendorongnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sebagaimana halnya perasaan-perasaan akan kebutuhan yang bersifat seksual akan mendorongnya untuk melakukan interaksi yang juga bersifat seksual (interaksi antar lawan jenis).
Naluri seksual (gharîzan an-naw‘), sebagaimana dipahami, menuntut adanya pemenuhan yang akan menggerakkan usur keibuan atau unsur sebagai anak. Naluri ini juga menuntut adanya pemenuhan yang akan menggerakan aspek penampakan interaksi yang bersifat seksual (interaksi antar lawan jenis). Hubungan perkawinan, aspek keibuan, dan sejenisnya seluruhnya merupakan gejala yang tampak dari adanya naluri seksual. Perasaan-perasaan yang ada di dalamnya adalah juga perasaan-perasaan yang muncul dari naluri seksual. Secara faktual, semua itu akan memicu adanya suatu kecenderungan pada setiap orang yang kemudian dipengaruhi oleh adanya pemahaman pada dirinya, sebagaimana adanya berbagai kecenderungan lain.
Perkawinan merupakan pengaturan hubungan antara unsur laki-laki atau kejantanan (maskulinitas) dengan unsur perempuan atau kewanitaan (feminitas). Dengan kata lain, perkawinan mengatur interaksi antar dua jenis kelamin, yakni pria dan wanita, dengan aturan yang khas. Peraturan khas ini mengharuskan adanya pengaturan hubungan lawan jenis antara pria dan wanita dalam bentuk tertentu. Peraturan ini pun mengharuskan hubungan lawan jenis yang terjadi—tentu yang diikat dalam lembaga pernikahan, pen—diorientasikan semata-mata untuk tujuan reproduksi (menghasilkan keturunan). Melalui hubungan semacam ini akan dihasilkan proses perkembang-biakan sekaligus pelestarian jenis keturunan manusia hingga akan terbentuk sebuah keluarga. Di atas dasar hubungan inilah, peraturan kehidupan khusus dijalankan.
Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum Muslim untuk melangsungkan pernikahan. Ibn Mas‘ûd r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut:

Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu memikul beban, hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya, siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, karena hal itu dapat menjadi perisai.

Qatâdah juga menuturkan riwayat, sebagaimana yang dituturkan oleh Al-Hasan, yang bersumber dari Samurah. Disebutkan demikian:

Nabi saw. telah melarang hidup membujang.

Qatâdah kemudian membacakan ayat berikut:

Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum kamu. Kami pun telah memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. (QS ar-Ra‘d [13]: 38)

Tabattul maknanya adalah memutuskan untuk tidak menikah (membujang) dan menjauhkan diri dari kenikmatannya, semata-mata untuk beribadah saja. Dalam hal ini, Abû Hurayrah r.a. menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda sebagai berikut:

Ada tiga orang yang berhak ditolong oleh Allah: seorang mujahid (yang sedang berperang) di jalan Allah; orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatannya; dan makâtib (budak) yang bekerja demi memerdekakan dirinya.

Rasulullah saw. juga bersabda:

Tidak ada kependetaan/kerahiban (monastisisme) dalam Islam.

Kata ruhbaniyyah dan tabattul maknanya sama, yakni memutuskan untuk tidak berhubungan dengan wanita, tidak menikah, dan semata-mata menyibukkan diri untuk beribadah kepada Allah Swt. Padahal, al-Quran sendiri datang dengan membawa ayat-ayat yang jelas mengenai anjuran untuk melangsungkan pernikahan ini. Allah Swt. berfirman, antara lain sebagai berikut:

Nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang kalian senangi dua, tiga, atau empat. (QS an Nisâ’ [4]: 3)

Nikahilah oleh kalian orang-orang yang sendirian di antara kalian serta orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahaya kalian yang lelaki dan yang perempuan. (QS an-Nûr [4]: 32)

Islam telah mendorong pria Muslim untuk menikahi wanita yang masih perawan/gadis, subur keturunannya, dan baik agamanya. Anas r.a. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah memerintahkan kaum Muslim untuk menikah dan melarang keras untuk hidup membujang melalui sabdanya:

Kawinilah oleh kalian wanita penyayang dan subur keturunanya, karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan para nabi yang lain pada hari Kiamat nanti.

Ma‘qil ibn Yasâr juga menuturkan riwayat sebagai berikut:

Kepada Nabi saw. pernah datang seorang laki-laki yang kemudian berkata, “Aku berniat untuk mengawini wanita berketurunan baik lagi cantik, tetapi ia mandul. Bolehkah aku mengawininya?” Nabi saw. bersabda, “Tidak.” Lalu datang kepada Nabi saw. laki-laki kedua dan beliau juga melarangnya. Selanjutnya, datang laki-laki ketiga, lantas Nabi saw. bersabda, “Kawinilah oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian.”

Jâbir menuturkan bahwa Nabi pernah saw. bertanya kepada dirinya, “Jâbir, apakah engkau mengawini wanita yang masih gadis atau janda?”
Jâbir menjawab, “Janda.”
Mendengar itu, Nabi saw. lantas bersabda sebagai berikut:

Mengapa engkau tidak mengawini wanita yang masih gadis agar engkau bisa bermain-main dengannya dan ia pun dapat bermain-main denganmu?

Abû Hurayrah r.a. juga menuturkan bahwa Nabi saw. pun bersabda demikian:

Wanita itu dinikahi karena empat aspek: karena hartanya; karena keturunannya; karena kecantikannya; karena agamanya. Oleh karena itu, pilihlah wanita karena agamanya, niscaya engkau akan beruntung.

Seorang pria disunnahkan untuk memilih wanita-wanita yang masih gadis dan diketahui bahwa ia seorang wanita yang subur. Kesuburannya dapat diketahui dari ibunya, bibinya, atau pamannya. Seorang pria juga disunnahkan untuk memilih wanita yang agamanya baik; yang cantik sehingga ia dapat memelihara dirinya (dari dosa); serta berketurunan baik, yaitu memiliki pangkal keutamaan, ketakwaan, dan kemuliaan. Akan tetapi, semua itu bukan syarat mutlak, melainkan hanya sekadar anjuran dan keutamaan saja. Yang penting, seorang pria hendaknya memilih calon istri yang diridhainya, dan seorang wanita pun hendaknya memilih calon suami yang diridhainya.
Dalam konteks ini, masalah kafâ’ah (kesederajatan atau kesetaraan) antara mempelai pria dan wanita tidak ada dasarnya sama sekali dalam syariat Islam. Masalah ini tidak disinggung sama sekali, kecuali dalam sejumlah hadis palsu. Al-Quran al-Karîm sendiri menolaknya, begitu pula sejumlah hadis sahih. Sebab, setiap wanita Muslimah pada dasarnya sekufu (sederajat) dengan setiap pria Muslim mana pun, dan setiap pria Muslim sekufu (setara) dengan wanita Muslimah mana pun. Adanya perbedaan antara pria dan wanita dalam masalah harta, pekerjaan, atau garis keturunan, dan lain-lain tidak ada artinya sama sekali. Seorang pria anak tukang sampah, misalnya, sekufu dengan wanita anak Amirul Mukminin; wanita anak tukang cukur juga sekufu dengan pria anak Amirul Mukminin. Demikianlah, kaum Muslim pada dasarnya adalah sekufu atau sederajat satu sama lain. Allah Swt. berfirman:

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. (QS al-Hujurât [49]: 13)

Nabi saw. sendiri pernah mengawinkan keponakan perempuannya, Zaynab binti Jahsî, salah seorang tokoh pembesar Quraisy, dengan Zayd ibn Hâritsah, seorang hamba sahaya yang telah dimerdekakan. Dalam hal ini, ‘Abdullâh ibn Buraydah pernah menuturkan riwayat dari bapaknya sebagai berikut:

Pernah datang kepada Rasulullah saw. seorang wanita muda seraya berkata, “Sesungguhnya ayahku telah mengawinkan diriku dengan keponakannya untuk mengangkat martabatnya melalui diriku.” Nabi saw. lalu bersabda, “Urusan ini telah diserahkan kepada wanita.” Wanita itu menjawab, “Aku sebetulnya telah merelakan apa yang telah diperbuat oleh ayahku. Hanya saja, aku ingin mengajari kaum wanita bahwa, seorang bapak tidak berhak sedikit pun (untuk memaksa anak perempuannya, pen) dalam masalah ini.”

Kalimat yang diucapkan wanita tadi yang berbunyi, “….untuk mengangkat martabatnya melalui diriku,” bermakna, “untuk mengangkat derajat keponakannya dengan cara mengawinkannya dengan diriku.” Ini berarti, seorang bapak telah mengawinkan putrinya, sementara putrinya tidak menyukainya, karena ia tidak melihat dalam diri pria (yang telah menjadi pasangannya) itu suatu keutamaan atau kelayakan untuk menikahi dirinya. Artinya, masalahnya bukan karena sang pria, yakni sepupu wanita tersebut tidak sekufu dengan dirinya, tetapi karena tidak adanya unsur keridhaan.
Abû Hâtim al-Maznî juga menuturkan riwayat sebagai berikut:

Rasulullah saw. bersabda, “Jika kepada kalian datang seseorang (pria) yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, hal itu dapat memunculkan fitnah di atas dunia dan kerusakan yang besar.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika hal itu (kebaikan agama dan akhlak) ada padanya?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika kepada kalian datang seseorang (pria) yang kalian ridhai agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah.” Rasulullah saw. mengulang-ulang ucapan ini hingga tiga kali.

Hadis di atas juga dikeluarkan oleh oleh Imam at-Turmudzî, sebagaimana dituturkan oleh Abû Hurayrah r.a., dengan redaksi demikian:

Rasulullah saw. bersabda, “Jika ada seseorang (pria) yang hendak melamar datang kepada kalian sedangkan agama dan akhlaknya kalian ridhai, maka kawinkanlah dia. Jika kalian tidak melakukannya, hal itu dapat memunculkan fitnah di atas dunia dan kerusakan yang besar.”

Hadis yang sama juga telah diriwayatkan melalui sejumlah jalur yang lain.
Sementara itu, Abû Hurayrah r.a. kembali menuturkan bahwa, Abû Hindun pernah mencegat Nabi saw. di daerah Yafukh. Nabi saw. kemudian bersabda demikian:

Wahai bani Bayadhah, kawinkanlah oleh kalian Abû Hindun, dan nikahkanlah dia.

Hanzhalah ibn Abî Sufyân al-Jamahî menuturkan riwayat, sebagaimana dituturkan dari ibunya, sebagai berikut:

Aku melihat saudara perempuan ‘Abdurrahmân ibn ‘Awf sudah berada di bawah tanggung jawab (telah dinikahi) Bilâl.

Seluruh dalil di atas dengan jelas menunjukkan bahwa, aspek kesederajatan (kesekufuan) antara dua orang mempelai tidak ada dasarnya dan tidak ada artinya sama sekali. Setiap wanita yang telah ridha atau suka dengan seorang pria untuk dijadikan suaminya berhak untuk menikah dengan pria tersebut sesuai dengan keridhaannya. Sebaliknya, setiap pria yang telah ridha atau suka dengan seorang wanita untuk dijadikan istrinya berhak pula menikahi wanita tersebut sesuai dengan keridhaannya, tanpa memperhatikan lagi masalah kesekufuan (kesederajatan).
Memang, ada riwayat dari ‘Abdullâh ibn ‘Umar bahwa Nabi saw. pernah bersabda sebagai berikut:

Orang Arab adalah sekufu dengan orang Arab lainnya; satu kabilah adalah sekufu dengan kabilah lainnya; satu lingkungan adalah sekufu dengan lingkungan lainnya; dan seseorang adalah sekufu dengan yang lainnya, kecuali tukang tenun dengan tukang bekam.

Namun demikian, hadis ini palsu, tidak jelas asal-usulnya, dan batil. Dalam hal ini, Ibn Abî Hâtim pernah berkata demikian, “Aku telah menanyakan kedudukan hadis ini kepada ayahku. Beliau menyatakan bahwa hadis ini mungkar.”
Ibn ‘Abd al-Barr juga menyatakan bahwa hadis ini munkar mawdhû‘ (mungkar-palsu).
Memang, ada pula riwayat dari Al-Bazzâr tentang hadis yang dituturkan dari Mu‘âdz yang berbunyi demikian:

Orang Arab adalah sekufu dengan orang Arab lainnya dan hamba sahaya adalah juga sekufu dengan hamba sahaya lainnya.

Namun demikian, sanad hadis ini dha‘îf (lemah).
Sementara itu, ada hadis yang diriwayatkan dari Burayrah yang menyatakan demikian:

Nabi saw. pernah bersabda kepada Burayrah, “Ketika engkau telah merdeka (bebas dari kedudukan sebagai budak), berarti engkau pun bebas untuk memperlakukan dirimu. Oleh karena itu, pilihlah (tetap sebagai istri dari suami yang masih menjadi budak atau bercerai).”

Hadis ini tidak menunjukkan pada pengertian kesekufuan, karena status suaminya masih hamba sahaya. Sebab, suami Burayrah adalah seorang hamba sahaya pula. Seorang hamba sahaya wanita, jika telah merdeka, memang boleh memilih: apakah tetap berada dalam tanggungan—atau bersuamikan dengan—seorang hamba sahaya atau membatalkan perkawinannya (cerai). Artinya, hadis ini tidak menunjukkan makna kesekufuan. Alasannya, suami Burayrah adalah seorang hamba sahaya, sebagaimana diriwayatkan oleh Qâsim dari ‘Aisyah. Disebutkan bahwa, Burayrah berada dalam tanggungan (bersuamikan) seorang hamba sahaya. Ketika ia bebas, Rasulullah saw. bersabda kepadanya:

Pilihlah olehmu, jika engkau menghendaki, engkau bisa tetap tinggal bersama seorang hamba sahaya. Jika engkau menghendaki, engkau pun boleh bercerai dari suamimu.

Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Muslim, sebagaimana dituturkan oleh ‘Urwah dari ‘Aisyah sebagai berikut:

Burayrah telah merdeka, sedangkan suaminya masih seorang hamba sahaya. Oleh karena itu, Rasulullah saw. lantas memberikan pilihan kepadanya. Padahal, seandainya suaminya seorang yang merdeka, beliau tidak akan memberinya pilihan.

Ada pula riwayat yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda demikian:

Janganlah kalian menikahkan para wanita selain dengan orang-orang yang sekufu dengan mereka. Jangan pula kalian menikahkan mereka melainkan dengan tokoh-tokoh terkemuka.

Hadis ini pun dhâ‘îf dan tidak jelas asal-usulnya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa, tidak terdapat nash yang menunjukkan keharusan adanya kesekufuan (kesederajatan) dalam masalah pernikahan. ‘Nash-nash’ yang dijadikan dalil oleh mereka yang mendukung ihwal kesekufuan adalah batil atau tidak dapat dijadikan dalil sama sekali. Menjadikan kesekufuan sebagai syarat adalah bertentangan dengan sabda Rasulullah saw. sebagai berikut:

Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang non-Arab, kecuali dalam hal ketakwaannya.

Sikap demikian juga bertolak-belakang dengan nash Al-Quran yang bersifat pasti:

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling takwa di antara kalian. (QS al-Hujurât [49]: 13)

Mengenai perbedaan agama, hal itu bukan termasuk ke dalam pembahasan kesekufuan. Masalah ini terkait dengan topik perkawinan seorang Muslim dengan non-Muslim. Ini adalah topik yang berbeda. Penjelasannya adalah sebagai berikut.
Allah Swt. telah membolehkan pria Muslim untuk mengawini wanita Ahlul Kitab, yaitu pemeluk agama Yahudi atau Nasrani, karena Allah Swt. berfirman:

Pada hari ini, telah dihalalkan bagi kalian perkara yang baik-baik. Makanan sembelihan orang-orang Ahlul Kitab adalah halal bagi kalian. Makanan kalian adalah halal pula bagi mereka. Demikian pula wanita-wanita Mukmin yang selalu menjaga kehormatan dan wanita-wanita yang senantiasa menjaga kehormatan dari kalangan yang diberi kitab sebelum kalian, jika kalian telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahi mereka; tidak dengan maksud untuk menzinai mereka dan menjadikan mereka sebagai gundik. (QS al-Mâ’idah [5]: 5)

Ayat ini dengan jelas memaparkan bahwa, wanita-wanita Ahlul Kitab yang senantiasa menjaga kehormatannya adalah halal untuk dikawini oleh pria Muslim dan maharnya diberikan kepada mereka. Artinya, seorang pria Muslim boleh mengawini wanita Ahlul Kitab sebagai pengejawantahan ayat tersebut. Sebab, telah disebutkan bahwa, wanita-wanita Ahlul Kitab yang senantiasa memelihara kesuciannya halal bagi pria Muslim, sehingga menikahi wanita-wanita Ahlul Kitab adalah halal bagi mereka.
Namun sebaliknya, pernikahan seorang wanita Muslimah dengan pria Ahlul Kitab adalah haram secara syar‘î dan mutlak tidak boleh terjadi. Jika telah terjadi, perkawinannya dianggap batil (tidak sah) dan tidak diakui akadnya. Keharaman wanita Muslimah menikah dengan pria Ahlul Kitab ditetapkan dengan penjelasan al-Quran, sebagaimana firman Allah Swt.:

Hai orang-orang yang beriman, jika telah datang berhijrah kepada kalian wanita-wanita Mukmin untuk berhijrah, hendaklah kalian menguji keimanan mereka. Allah lebih mengetahui keimanan mereka. Jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) telah beriman, janganlah kalian mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu pun tidak halal bagi mereka. (QS al-Mumtahanah [60]: 10)

Nash ini tidak mengandung pengertian lain, kecuali satu, yaitu: wanita Muslimah tidak halal bagi pria kafir; pria kafir tidak halal bagi wanita Muslimah; dan perkawinan pria kafir dengan wanita Muslimah tidak menjadikan pernikahannya absah. Allah Swt. berfirman:

Jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) telah beriman, janganlah kalian mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu pun tidak halal bagi mereka. (QS al-Mumtahanah [60]: 10)

Ayat di atas menggunakan istilah kuffâr, bukan menggunakan istilah musyrikîn. Hal ini dimaksudkan untuk generalisasi (li at-ta‘mîm) terhadap seluruh orang kafir, baik termasuk orang musyrik atau Ahlul Kitab. Kenyataan bahwa Ahlul Kitab, yakni kaum Nasrani dan Yahudi, adalah termasuk orang-orang kafir didasarkan pada ketetapan al-Quran. Allah Swt. berfirman:

Orang-orang kafir dari kalangan Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik tidaklah menginginkan kebaikan Tuhan kalian diturunkan kepada kalian. (QS al-Baqarah [2]: 105)

Kata min dalam ayat ini dimaksudkan sebagai penjelasan (bayân), bukan sebagai pembagian (tab‘îdh). Allah Swt. juga berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, bermaksud untuk memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya dengan mengatakan, “Kami beriman kepada sebagian dan kafir kepada sebagian yang lain,” serta berkeinginan untuk mengambil jalan tengah di antara yang demikian (keimanan dan kekafiran). Mereka itu adalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (QS an-Nisâ’ [4]: 150-151)

Ahlul Kitab adalah orang yang tidak beriman kepada risalah Nabi Muhammad saw. Merekalah orang-orang yang kafir. Allah Swt. berfirman:

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masîh putra Maryam. (QS al-Mâ’idah [5]: 17)

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Allah adalah salah satu dari yang tiga. (QS al-Mâ’idah [5]: 73)

Orang-orang kafir dari kalangan Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan agama mereka sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata. (QS al-Bayyinah [98]: 1)

Kata min dalam ayat ini juga berfungsi sebagai penjelasan (bayân), bukan pembagian (tab‘îdh). Allah Swt. juga berfirman:

Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik akan berada dalam neraka Jahanam. Mereka kekal di dalamnya. (QS al-Bayyinah [98]: 6)

Kata min dalam ayat ini masih berfungsi sebagai penjelasan (bayân), bukan pembagian (tab‘îdh). Allah Swt. juga berfiman:

Dialah Yang mengeluarkan orang-orang kafir dari kalangan Ahlul Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. (QS al-Hasyr [59]: 2)

Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir dari kalangan Ahlul Kitab? (QS al-Hasyr [59]: 11)

Melalui ayat-ayat ini, tampak jelas bahwa, Ahlul Kitab adalah termasuk kaum kafir, sebagaimana penjelasan al-Quran, dan istilah kuffâr (kaum kafir) adalah mencakup mereka. Atas dasar ini, Allah Swt. berfirman:

Jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) telah beriman, janganlah kalian mengembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu pun tidak halal bagi mereka. (QS al-Mumtahanah [60]: 10)

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa, wanita Muslimah tidak boleh sama sekali kawin dengan pria Ahlul Kitab, karena Ahlul Kitab termasuk kelompok orang-orang kafir.
Sementara itu, orang-orang musyrik berbeda dengan Ahlul Kitab. Mereka itu, seperti, orang-orang Majusi, orang-orang murtad, kaum Budha, kaum paganis (para penyembah berhala), dan sejenisnya. Kaum Muslim sama sekali tidak boleh menikah dengan mereka. Seorang Muslim tidak boleh kawin dengan wanita musyrik. Sebaliknya, seorang Muslimah tidak boleh sama sekali kawin dengan pria musyrik. Larangan semacam ini telah diterangkan dengan jelas di dalam nash al-Quran yang bersifat pasti. Allah Swt. berfiman:

Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak wanita Mukmin lebih baik daripada seorang wanita musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Jangan pula kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya seorang budak pria Mukmin lebih baik daripada seorang pria musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. (QS al-Baqarah [2]: 221)

Ayat ini tidak mengandung pengertian lain, kecuali hanya satu, yaitu pengharaman yang tegas terhadap perkawinan wanita musyrik dengan pria Muslim atau perkawinan seorang pria musyrik dengan wanita Muslimah. Jika memang ada perkawinan semacam ini, berarti pernikahannya batal (tidak sah) dan dianggap tidak pernah terjadi akad. Hasan ibn Muhammad:

Rasulullah saw. telah mengirim surat kepada orang-orang Majusi Hajr. Beliau menyerukan agar mereka memeluk Islam. Siapa saja yang memeluk Islam, ia diterima. Sebaliknya, siapa saja yang menolak, ia dikenai kewajiban membayar jizyah, sementara sembelihannya tidak boleh dimakan dan wanitanya tidak boleh dikawin.

Walhasil, syariat Islam tidak merasa cukup hanya mendorong dan menyampaikan berbagai kabar gembira agar kaum Muslim melangsungkan pernikahan. Lebih dari itu, syariat Islam juga menjelaskan siapa yang boleh dikawini oleh seorang Muslim atau siapa yang boleh dikawini oleh wanita Muslimah, dan siapa pula yang haram dinikahi oleh masing-masing keduanya. Syariat Islam juga telah menjelaskan sifat-sifat yang dianggap baik—yang harus dicari oleh orang yang memiliki keinginan untuk menikah—pada calon yang akan dinikahinya. Namun demikian, Islam telah memberikan batasan, yakni wanita yang akan dinikahi bukan istri orang lain atau masih berada dalam masa ‘iddah. Sebab, salah satu syarat pernikahan, calon istri bukan merupakan istri orang lain dan telah melewati masa ‘iddah.
Dalam konteks ini, seorang wanita yang sudah dilamar dan belum pernah menikah, perlu diperhatikan: jika ia telah menerima lamaran seorang pelamar yang telah disampaikan sebelumnya kepada dirinya atau kepada walinya, atau ia telah mengizinkan walinya untuk menerima lamaran sang pelamar atau untuk dinikahkan dengannya, baik hal itu dilakukan secara terang-terangan ataupun melalui isyarat, maka haram bagi pria lain untuk melamarnya. Dalam hal ini, ‘Uqbah ibn ‘Amir pernah menuturkan riwayat bahwa Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut:

Orang Mukmin adalah saudara bagi Mukmin lainnya. Oleh karena itu, seorang Mukmin tidak boleh membeli barang yang telah ditawar sebelumnya oleh saudaranya, dan tidak boleh pula meminang (seorang wanita) yang telah dipinang oleh saudaranya sampai ia membatalkan pinangannya.

Abû Hurayrah r.a. juga menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda demikian:

Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh saudaranya sampai ia menikahinya atau meninggalkannya.

Seandainya wanita yang telah dilamar kemudian menolak lamaran pria yang telah melamarnya, atau ia belum memberikan jawaban kepadanya, atau ia masih sedang meneliti pria yang telah melamarnya itu, maka dalam keadaan seperti ini, boleh bagi pria lain untuk melamarnya. Artinya, wanita tersebut belum dianggap telah dilamar oleh seorang pun. Dalam konteks ini, Fâthimah binti Qays pernah mendatangi Nabi saw. seraya menceritakan bahwa Mu‘awiyah dan Abû Jaham telah melamarnya. Mendengar itu, Nabi saw. kemudian bersabda sebagai berikut:

Mu‘awiyah sesungguhnya miskin dan tidak memiliki harta, sedangkan Abû Jaham tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (suka memukul). Aku akan menikahkan engkau dengan Usâmah ibn Zayd saja.

Nabi saw. lantas meminang Fâthimah binti Qays untuk Usâmah setelah wanita tersebut memberitahukan kepada beliau ihwal lamaran Mu‘awiyah dan Abû Jaham kepada dirinya.
Jika seorang wanita telah dilamar, dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin wanita yang bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah. Dalam hal ini, Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda demikian:

Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya.

Abû Hurayrah juga menuturkan riwayat sebagai berikut:

Rasulullah saw. bersabda, “Seorang janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan seorang gadis tidak dinikahi kecuali setelah diminta izinnya.” Para sahabat lalu bertanya, “'Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?” Beliau menjawab, “Izinnya adalah diamnya.”

Ibn ‘Abbas juga menuturkan riwayat demikian:

Seorang gadis pernah datang kepada Rasulullah saw. Ia lantas menceritakan bahwa ayahnya telah menikahkannya, padahal ia tidak suka. Nabi saw. kemudian memberikan pilihan kepada wanita tersebut (boleh meneruskan perkawinannya atau bercerai dari suaminya, pen).

Ada juga riwayat sebagai berikut:

Khunsâ’ binti Khadzâm al-Anshâriyah pernah menuturkan bahwa ayahnya telah menikahkan dirinya, padahal ia adalah seorang janda dan tidak suka akan perkawinan itu. Ia kemudian datang kepada Rasulullah saw., lalu beliau membatalkan perkawinannya itu.

Hadis-hadis di atas seluruhnya menunjukkan dengan jelas bahwa, seorang wanita yang tidak dimintai izinnya ketika hendak dinikahkan maka pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau menikah secara terpaksa, berarti akad pernikahan rusak, kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridha.
Sementara itu, larangan untuk menghalang-halangi seorang wanita yang hendak menikah, sedangkan ia telah dilamar oleh seseorang, hal ini secara pasti telah ditetapkan di dalam al-Quran. Allah Swt. berfirman:

Janganlah kalian (para wali kaum wanita) menghalangi mereka untuk kawin lagi dengan calon suaminya jika memang telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf. (QS al-Baqarah [2]: 232)

Larangan ini juga telah ditegaskan di dalam hadis sahih yang dituturkan dari Ma‘qil ibn Yasâr. Ia bertutur demikian:

Aku telah menikahkan adikku dengan seorang pria, kemudian ia menceraikannya. Setelah masa ‘iddah-nya selesai, tidak lama kemudian mantan suaminya datang untuk melamarnya lagi. Aku pun berkata kepadanya, “Aku telah menikahkanmu, menghormatimu, dan memuliakanmu. Namun kemudian, engkau malah menceraikannya. Setelah itu, engkau datang lagi hendak melamarnya (rujuk) lagi. Tidak. Demi Allah, ia tidak akan pernah kembali lagi kepadamu selamanya.” Pria itu tidak terlalu mempermasalahkan perkara ini, tetapi sang wanita justru menghendaki kembali kepada mantan suaminya. Selanjutnya, turunlah firman Allah yang berbunyi demikian: Janganlah kalian (para wali wanita) menghalangi mereka….. (QS al-Baqarah [2]: 232). Saat itu juga, aku berkata kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, mana yang paling baik aku lakukan?” Beliau menjawab, “Kawinkanlah ia dengan pria itu.”

Dalam riwayat lain dituturkan demikian:

Aku lantas membayar kafarah (denda) atas sumpahku, kemudian mengawinkan adikku kembali dengan pria itu.

Kata ‘adhl (sebagaimana dipahami dari kata falâ tu‘dhilûhunna pada ayat di atas, pen) bermakna menghalang-halangi seorang wanita untuk menikah, padahal ia sendiri telah memintanya. Tindakan demikian adalah haram dan pelakunya dipandang fasik. Artinya, setiap orang yang menghalang-halangi kaum wanita untuk menikah, berarti tindakannya digolongkan ke dalam perbuatan fasik. Setiap orang yang berusaha menghalangi seorang wanita untuk menikah berarti telah berbuat kefasikan. Para fuqahâ’ telah menetapkan bahwa seseorang dipandang telah berbuat kefasikan jika ia melakukan tindakan ‘adhl. Dengan demikian, jika seorang wanita telah dilamar untuk dinikahi atau ia sendiri telah meminta untuk dinikahkan, maka hanya ia sendirilah yang berhak untuk bersikap: menerima atau menolak.
Manakala kesepakatan untuk menikah antara calon pengantin pria dan calon pengantin wanita telah sempurna, maka pada dasarnya, hanya mereka berdualah yang berhak untuk melangsungkan akad pernikahan. Sebab, pernikahan tidak dipandang sempurna melainkan setelah memenuhi akad yang disyariatkan. Artinya, perkawinan tidak diakui sebagai perkawinan, kecuali telah memenuhi akad yang disyariatkan, sesuai dengan hukum-hukum Islam. Dengan itu, halal bagi keduanya untuk saling mengecap kenikmatan satu sama lain dan sempurnalah seluruh hukum perkawinan yang telah diwajibkan bagi keduanya. Sebaliknya, jika akad yang telah disyariatkan ini tidak terjadi, maka perkawinan yang terjadi dipandang tidak pernah ada, meskipun antara pria dan wanita itu telah bergaul dalam periode yang panjang. Atas dasar ini, pergaulan dan interaksi antara dua kekasih sebagaimana layaknya pergaulan dan interaksi antar suami-istri tidak diakui sebagi sebagai sebuah perkawinan. Tindakan semacam ini bahkan termasuk zina. Pergaulan dan interaksi dua orang pria yang telah sepakat untuk hidup layaknya suami-istri, juga tidak dianggap sebagai suatu bentuk perkawinan, tetapi termasuk tindakan liwâth (homoseksual).
Sementara itu, perkawinan yang dilakukan di depan petugas catatan sipil, pada dasarnya merupakan akad kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita untuk melakukan akad dalam perkara-perkara seperti hidup bersama, melakukan perceraian, pernafkahan, dan pemanfaatan harta sebagai implikasi dari adanya akad perkawinan; dalam masalah ketentuan keluar rumah, ketaatan istri terhadap suami atau kesetiaan suami terhadap istri, dan semacamnya; dalam masalah anak, seperti siapa yang berhak atas pengasuhan anak laki-laki, siapa yang berhak dalam pengasuhan anak perempuan, dan semacamnya; serta dalam masalah warisan, garis keturunan, dan masalah lain sebagai implikasi dari kehidupan bersama yang telah dijalani atau yang ditinggalkan. Semua itu didasarkan pada syarat-syarat yang telah disepakati dan dijadikan komitmen oleh keduanya untuk dilaksanakan. Perkawinan di catatan sipil bukan hanya merupakan kesepakatan dalam hal perkawinan saja, tetapi merupakan kesepakatan yang mencakup seluruh aspek yang terkait dalam perkawinan dan berbagai implikasinya. Aspek-aspek tersebut mencakup masalah nasab (keturunan), nafkah, pewarisan, dan lain-lain; mencakup berbagai kondisi yang membolehkan keduanya atau salah satunya untuk melakukan gugatan, artinya mencakup urusan perceraian; atau lebih dari itu, mencakup ketentuan yang memberikan kebebasan mutlak bagi setiap pria untuk mengawini wanita mana saja dan ketentuan yang memberikan kebebasan mutlak bagi setiap wanita untuk mengawini pria mana saja. Semua itu didasarkan pada kesepakatan yang diridhai keduanya dalam setiap perkara yang dikehendakinya sesuai dengan kesepakatan.
Atas dasar ini, perkawinan di depan petugas catatan sipil tidak dibolehkan menurut syariat Islam dan tidak dianggap sebagai suatu kesepakatan perkawinan sama sekali. Perkawinan semacam ini juga tidak dipandang sebagai akad nikah, karena tidak ada nilainya sama sekali menurut syariat Islam.
Jika akad perkawinan di catatan sipil terlanjur telah terjadi antara seorang pria Muslim dan wanita Muslimah atau antara pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab, maka perlu dilihat lafal yang terjadi antara pria dan wanita tersebut, baik secara lisan ataupun tertulis. Jika dalam lafal tersebut terdapat kata-kata kawin atau nikah; terdapat ijab-qabul di antara keduanya sebagaimana ijab-qabul yang diwajibkan dalam syariat Islam; serta terdapat wali dan dua orang saksi sebagai syarat sah terjadinya perkawinan dengan didasarkan pada lafal ijab-qabul ini—karena merupakan akad yang dianggap memenuhi sifat-sifat dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh syariat, maka perkawinan semacam ini dipandang telah memenuhi akad syar‘î, dan keabsahannya bukan dilihat dari kesepakatan di catatan sipil. Sebaliknya, jika di antara keduanya tidak terdapat seluruh perkara yang telah diwajibkan di dalam akad pernikahan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam, maka pernikahan yang terjadi tidak diakui sebagai sebuah pernikahan yang sah. Syarat-syarat yang dijamin di dalam kesepakatan yang terdapat dalam perkawinan di depan petugas catatan sipil sama sekali tidak ada nilainya, meskipun syarat-syarat tersebut dipandang sesuai dengan syariat Islam. Sebab, kewajiban melaksanakan hukum yang telah ditetapkan oleh syariat tidak didasarkan pada adanya kesepakatan antara pria dan wanita yang melangsungkan pernikahan, tetapi didasarkan pada akad pernikahan itu sendiri dan hukum syariat yang menjelaskannya. Oleh karena itu, syarat-syarat yang telah dijamin di dalam kesepakatan yang terdapat dalam perkawinan di catatan sipil tidak dianggap sama sekali. Bahkan, jika syarat-syarat tersebut bertolak-belakang dengan syariat Islam, maka hal semacam ini dipandang batil secara nyata. Sebaliknya, jika syarat-syarat tersebut termasuk yang dibolehkan secara syar‘î untuk diajukan oleh salah seorang calon mempelai—dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat atau menafikan ketetapan akad—maka syarat-syarat semacam ini diakui kebolehannya secara syar‘î. Kebolehan ini diakui jika memang akad pernikahannya juga diakui keabsahannya secara syar‘î. Jika akad nikah di antara keduanya tidak diakui keabsahannya secara syar‘î, maka syarat-syarat yang telah ditetapkan pun—meski sesuai dengan syariat Islam—tidak diakui sama sekali.
Paparan di atas terkait dengan akad perkawinan di depan petugas catatan sipil antara seorang pria Muslim dan wanita Muslimah atau antara seorang pria Muslim dengan wanita Ahlul Kitab.
Sementara itu, jika akad perkawinan di depan petugas catatan sipil berlangsung antara seorang pria Muslim dengan wanita musyrik atau dengan wanita yang dianggap termasuk orang musyrik, atau terjadi antara seorang wanita Muslimah dengan pria non-Muslim, maka perkawinan semacam ini adalah batil dan tidak diterima akadnya.
Berdasarkan paparan di atas, jelas sekali bahwa, perkawinan wajib disempurnakan melalui akad nikah yang dipandang sahih dan memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh syariat Islam. Jika sebuah perkawinan tidak disempurnakan dengan hal tersebut, berarti perkawinan semacam ini tidak dianggap sebagai sebuah perkawinan sama sekali.
Akad perkawinan dengan menggunakan ijab dan qabul merupakan ketetapan syariat. Ijab adalah ucapan pertama yang dilontarkan oleh salah satu pihak yang melakukan akad, sedangkan qabul adalah ucapan kedua yang dilontarkan pihak lain dalam akad. Akad ini persis seperti ucapan wanita yang telah dilamar kepada pria yang melamarnya demikian, ‘Aku telah menikahkan kamu dengan diriku’. Lalu, si pelamar menjawab, ‘Aku telah menerimanya’. Demikian juga sebaliknya.
Seperti halnya dengan ijab-qabul yang dapat dilakukan secara langsung di antara kedua mempelai, maka ia juga boleh dilakukan oleh wakil dari keduanya, atau dilakukan oleh salah seorang mempelai dan wakil mempelai lainnya. Dalam ijab, disyaratkan yang digunakan adalah kata-kata kawin atau nikah. Akan tetapi, dalam qabul, kedua kata itu tidak disyaratkan. Yang disyaratkan hanyalah adanya keridhaan dari pihak yang menerima ijab dalam bentuk kalimat apa saja yang mencerminkan kerelaan dan penerimaan (qabul) terhadap perkawinan tersebut. Ijab dan qabul harus berbentuk kalimat lampau (fi‘l mâdhî), seperti kalimat jawaztu (aku telah menikahkan) dan qabiltu (aku telah menerima). Bisa juga salah satunya berbentuk fi‘l mâdhî (bentuk lampau), sedangkan yang lainnya berbentuk fi‘il mustaqbal (bentuk akan datang). Sebab, perkawinan merupakan akad (transaksi), tidak boleh dilakukan melainkan dengan menggunakan kalimat yang mencerminkan kepastian, dan hal itu hanya dipenuhi jika diucapkan dalam kalimat bentuk lampau.
Akad perkawinan harus memenuhi empat syarat berikut:
Pertama, ijab-qabul dilangsungkan dalam satu majelis. Majelis tempat diucapkannya ijab adalah juga majelis tempat diucapkannya qabul. Hal ini dapat terjadi jika kedua pihak yang melakukan akad sama-sama hadir dalam satu majelis. Namun demikian, jika salah satu pihak berada di suatu negeri, sementara pada saat yang sama pihak lainnya berada di negeri lain, lantas salah satu di antara keduanya menulis surat kepada yang lainnya seraya mencantumkan kata-kata ijabnya, dan kemudian pihak yang menerima surat telah menerima dan meng-qabul-kannya, maka perkawinan semacam ini dipandang absah secara syar‘î. Hanya saja, dalam keadaan semacam ini, surat tersebut harus dibacakan di hadapan dua orang saksi yang kemudian didengar (diminta) pendapatnya. Bisa juga dengan mengatakan kepada dua saksi tersebut demikian, ‘Si Fulan telah mengirimkan surat (lamaran) kepadaku’. Surat itu kemudian diperlihatkan kepada keduanya sambil disampaikan kepada keduanya bahwa ia bersedia menikah dengannya.
Kedua, hendaknya kedua belah pihak yang berakad mendengarkan perkataan satu sama lain dan sekaligus memahaminya. Masing-masing dapat mengetahui bahwa dirinya menghendaki akad dengan makna ucapan yang dimaksud. Jika masing-masing tidak dapat mengetahuinya, baik karena tidak mendengar atau karena tidak memahaminya, maka akad nikah yang terjadi dipandang tidak absah. Contohnya adalah jika seorang pria berkata dalam bahasa Perancis kepada seorang wanita, ‘Aku telah mengawinkan kamu dengan diriku’, sementara si wanita tidak memahaminya. Pada saat yang sama, wanita tersebut mengucapkan kata-kata yang didiktekan kepadanya tanpa dia pahami, dan kemudian menerimanya—artinya tanpa mengetahui bahwa maksud dari apa yang diucapkannya adalah akad pernikahan. Pernikahan semacam ini tidak dipandang absah. Akan tetapi, jika wanita yang bersangkutan mengetahui bahwa maksud dari ucapannya itu adalah akad pernikahan, maka perkawinan yang terjadi dipandang absah.
Ketiga, hendaknya ucapan qabul tidak bertolak-belakang dengan ucapan ijab, baik secara keseluruhan ataupun sebagian.
Keempat, syariat telah membolehkan perkawinan di antara kedua pihak yang berakad dengan mempelai wanita seorang Muslimah atau Ahlul Kitab, sedangkan mempelai pria adalah seorang Muslim, bukan non-Muslim.
Jika keempat syarat ini telah terpenuhi, maka akad perkawinan yang terjadi dipandang absah dalam pandangan syariat. Sebaliknya, jika salah satu dari keempat syarat ini tidak terpenuhi, maka akad perkawinan yang terjadi tidak dipandang absah, karena dasarnya batil.
Jika akad perkawinan telah terlaksana, maka keabsahannya harus disempurnakan dengan keabsahan syarat-syaratnya yang mencakup tiga hal:
Pertama, hendaknya mempelai wanita benar-benar menerima akad nikah yang dilangsungkan.
Kedua, nikah tidak dipandang absah menurut syariat melainkan disertai dengan wali, karena seorang wanita itu tidak dapat mengawinkan dirinya sendiri, dan tidak dapat pula mengawinkan orang lain. Selain itu, ia pun tidak dapat menjadi wakil, karena walinyalah yang bisa menjadi wakil dalam pernikahannya. Jika ia melakukan tindakan tersebut, maka perkawinannya tidak dipandang absah.
Ketiga, kehadiran dua orang saksi Muslim yang baligh, berakal, mampu mendengar ucapan pihak-pihak yang melakukan akad, serta mengerti maksud dari perkataan kedua mempelai dalam ijab dan qabul bahwa yang diucapkannya itu merupakan akad perkawinan.
Jika akad nikah telah sempurna dengan memenuhi persyaratan tersebut, maka pernikahan yang terjadi dipandang absah. Akan tetapi, jika salah satu dari ketiga syarat itu tidak terpenuhi, maka pernikahan yang ada dipandang fâsid (rusak). Walaupun demikian, akad perkawinan tidak disyaratkan dalam bentuk tertulis atau dengan cara mengisi daftar perjanjian tertulis, tetapi cukup dengan ijab-qabul dari mempelai pria dan wanita melalui lisan atau tulisan. Yang penting adalah terpenuhinya seluruh syarat yang dapat menyempurnakan akad perkawinan yang sah, baik tertulis atau tidak. Kenyataan bahwa sebuah perkawinan tidak dipandang sempurna kecuali dengan adanya ijab dan qabul adalah didasarkan pada alasan bahwa ia merupakan akad (transaksi) yang terjadi di antara dua orang. Fakta menunjukkan bahwa, akad perkawinan tidak dipandang sempurna karena akad itu sendiri tidak diakui sebagai akad kecuali jika ada ijab dan qabul.
Sementara itu, kenyataan bahwa akad perkawinan dalam ijab disyaratkan menggunakan kata-kata kawin atau nikah adalah didasarkan pada adanya nash yang menunjukkan hal itu. Allah Swt. berfirman:

Kami telah mengawinkan kamu dengan dia. (QS al-Ahzâb [33]: 37)

Janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah-ayah kalian. (QS an-Nisâ’ [4]: 22)

Di samping itu, Ijma sahabat juga menunjukkan hal yang sama.
Syarat lain adalah adanya kesatuan atau kesamaan majelis tempat berlangsungnya proses ijab dan qabul, karena hukum majelis adalah hukum yang terkait dengan akad. Dalam akad, jika kedua belah pihak yang berakad telah berpisah sebelum dilakukan qabul, maka ijabnya dipandang batal, karena ijab tidak ada artinya tanpa adanya qabul. Berpalingnya salah seorang yang berakad pada kondisi semacam ini menunjukkan isyarat adanya perpisahan sehingga tidak ada lagi proses qabul. Hal yang sama berlaku jika salah satu pihak yang berakad disibukkan oleh hal-hal yang dapat mengganggu atau memutuskan akad, karena hal itu juga dapat memalingkan sehingga melalaikan proses qabul.
Syarat lainnya lagi adalah keharusan kedua belah pihak yang berakad untuk mendengar ucapan satu sama lain dan sekaligus mengerti atau memahaminya, karena keduanya tentu menghendaki agar akad perkawinan sesuai dengan pemahamannya terhadap ucapan masing-masing. Atas dasar ini pula, qabul dijadikan sebagai jawaban atas ijab, sementara ijab sendiri merupakan seruan dari salah satu pihak yang berakad agar diterima oleh pihak lainnya. Dengan demikian, jika kedua belah pihak tidak saling memahami, maka tidak dianggap adanya seruan, dan tidak dianggap pula adanya qabul terhadap seruan tersebut. Artinya, fakta semacam ini tidak dipandang sebagai ijab dan qabul.
Di samping itu, dalam akad tidak boleh ada kontradiksi antara ijab dan qabul, karena sesungguhnya qabul tidak diakui kecuali jika hal itu telah menunjukkan pada adanya penerimaan atas seluruh perkara yang dimaksudkan dalam ijab. Jika terdapat unsur ketidaksepakatan terhadap apa saja yang dimaksudkan di dalam ijab, berarti tidak ada proses penerimaan, sehingga qabul pun tidak dianggap ada.
Pada kenyataannya, syariat Islam telah membolehkan salah seorang yang berakad mengawini pihak lain. Akan tetapi, jika ada indikasi larangan dari syariat terhadap suatu akad, maka akad tersebut tidak boleh dilakukan. Ketentuan ini dilihat dari segi pelaksanaan akad.
Sementara itu, dilihat dari aspek keabsahan akad itu sendiri, jika syariat Islam tidak menunjukkan larangannya terhadap akad yang dimaksud, maka akad tersebut dipandang sempurna. Akan tetapi, jika syariat menunjukkan larangan terhadap pelaksanaan akad yang dimaksud karena alasan tertentu, maka akad tersebut dipandang rusak, meskipun tidak dianggap batil.
Syarat lain adalah keharusan seorang wanita menerima akad perkawinan yang dilangsungkan. Dalam kondisi tertentu, syariat Islam telah mengharamkan pria untuk mengawini sebagian wanita atau mengumpulkan mereka dalam satu perkawinan. Oleh karena itu, jika akad yang terjadi terkait dengan pihak-pihak yang justru haram untuk dilibatkan, maka akad yang terjadi dipandang tidak absah.
Ketentuan lain, keabsahan suatu pernikahan didasarkan—salah satunya—pada keharusan adanya wali. Dalam hal ini, Abû Mûsâ telah menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda demikian:

Tidak sah suatu pernikahan, kecuali jika ada wali.

Dalam konteks pernikahan, seorang wanita tidak memiliki wewenang untuk menikahkan dirinya ataupun menikahkan orang lain. Ia pun tidak berhak menjadi wakil, karena hanya walinyalah yang memiliki wewenang dalam masalah perkawinan dirinya. Dalam hal ini, ‘Aisyah r.a. telah menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda sebagai berikut:

Wanita mana saja yang dinikahkan tanpa mendapat izin dari walinya, maka pernikahannya adalah batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil!

Abu Hurayrah r.a. juga menuturkan bahwa Nabi saw. bersabda demikian:

Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak mengawinkan dirinya sendiri. Sebab, pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri.

Syarat lain adalah keharusan adanya dua orang saksi Muslim. Alasannya, al-Quran sendiri telah mensyaratkan adanya dua orang saksi dalam masalah pengembalian wanita yang dicerai suaminya dengan talak raj‘î kepada suaminya. Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman:

Jika mereka telah mendekati akhir masa ‘iddah-nya, maka rujuklah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik pula. Persaksikanlah hal itu oleh dua orang saksi yang adil di antara kalian. (QS ath-Thalâq [65]: 2)

Berkaitan dengan ayat ini, al-Hasan berkata, ‘Yang dimaksud adalah dua orang saksi dari kalangan kaum Muslim’.
Walhasil, jika untuk rujuk saja—yakni memperbarui akad nikah—disyaratkan adanya dua orang saksi Muslim, maka memulai kehidupan suami istri atau memulai akad nikah tentu lebih layak lagi jika dihadiri oleh dua orang saksi. Lebih dari itu, kedudukan akad nikah dan upaya memperbaharui akad nikah pada dasarnya merupakan dua perkara yang sama dan memiliki hukum yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse