Yaa Allah, sesungguhnya telah kami sampaikan. Saksikanlah!!

Jamaah Islam

Selasa, 16 Maret 2010

Ada sebagian orang yang melontarkan pertanyaan demikian, ‘Bagaimana mungkin seorang wanita dapat melakukan berbagai aktivitas seperti menjadi pegawai negeri, menjadi qâdhî yang melerai perselisihan, atau menjadi anggota majelis umat yang harus berdialog dan mengoreksi para penguasa—yang memang diperbolehkan oleh syariat—sementara syariat telah membatasinya untuk tidak berkhalwat dan melakukan tabarruj (mempertontontan kecantikan), serta mengharuskan mereka untuk hidup hanya dalam lingkungan khusus kaum wanita ataupun bersama mahram-nya saja?’

Sebagian lagi melontarkan pertanyaan, ‘Bagaimana mungkin akhlak dan kehormatan wanita dapat terjaga, jika mereka diizinkan melakukan kegiatan jual-beli di pasar atau diperbolehkan untuk berdialog dengan para penguasa yang umumnya adalah kaum pria? Bagaimana cara mereka melakukan berbagai pekerjaan dalam kehidupan umum dan di tengah-tengah masyarakat?’

Dua pertanyaan di atas dan semisalnya adalah contoh dari sejumlah pertanyaan sinis yang sering dilontarkan oleh sebagian anggota masyarakat, tatkala ditunjukkan kepada mereka hukum-hukum syariat yang menyangkut tata pergaulan atau sistem interaksi pria dan wanita. Pertanyaan-pertanyaan semacam ini muncul karena mereka menyaksikan fakta kehidupan keseharian mereka berada di bawah sistem kapitalis dan di bawah panji kekufuran. Akibatnya, sulit bagi mereka untuk menggambarkan upaya praktis penerapan hukum-hukum Islam.

Jawaban dari berbagai pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut.

Tata pergaulan atau sistem interaksi pria dan wanita dalam Islam adalah hukum-hukum syariat yang banyak ragamnya. Sebagian di antaranya terkait dengan sebagian yang lain. Perintah untuk memegang teguh satu hukum di antaranya tidak berarti harus melepaskan hukum yang lain. Sebab, seorang Muslim, baik pria ataupun wanita, wajib mengikatkan dirinya dengan hukum-
hukum syariat secara keseluruhan, sehingga tidak terjadi kontradiksi dalam diri seseorang yang menyebabkan hukum-hukum Islam terlihat saling bertentangan. Ketika syariat Islam mengizinkan wanita menjadi pegawai negeri di lembaga-lembaga negara, sekalipun hanya sebagai seorang perawat di rumah sakit, bukan berarti mereka dibiarkan mengenakan perhiasannya, bersolek sedemikian rupa bak seorang pengantin, mempertontonkan perhiasannya yang menggiurkan kepada kaum pria, atau bahkan sengaja menggoda mereka sehingga membangkitkan syahwat mereka. Syariat Islam juga tidak membiarkan begitu saja wanita yang berdandan menampakkan perhiasannya—dalam keadaan penuh pesona seperti itu—pergi ke pasar seraya berbicara dengan penuh rayuan kepada pembeli. Dengan itu, pembeli dapat menikmati kemolekan gerak bibirnya, sementara pada saat yang sama, ia sengaja mempermahal harga atau merayu pembeli supaya membeli barang dagangannya. Islam juga tidak membiarkan wanita bekerja sebagai juru tulis atau sekertaris pada sebuah perusahaan dengan membiarkannya berkhalwat—padahal pekerjaannya tidak menuntut untuk melakukan tindakan semacam itu—serta mengenakan pakaian yang menyingkapkan rambut, bagian dada, punggung, siku, betis, atau bagian tubuh mana saja secara telanjang dan merangsang.

Tidak. Islam sama sekali tidak membiarkan semua itu terjadi. Islam pun sama sekali tidak membiarkan terjadinya perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan dalam sebuah jamaah (komunitas) yang hidup dalam sebuah masyarakat yang tidak Islami dan didominasi oleh cara hidup Barat. Sebaliknya, Islam menghendaki agar setiap Muslim dan Muslimah menerapkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan bagi dirinya masing-masing. Tatkala Islam membolehkan seorang wanita melakukan aktivitas jual-beli di pasar, Islam melarangnya untuk keluar rumah dalam keadaan ber-tabarruj. Islam memerintahkan kepadanya agar dapat melakukan kedua hal itu—jual-beli dan tidak ber-tabarruj—secara bersama-sama.

Akidah Islam mengharuskan setiap Muslim untuk menerapkan seluruh hukum syariat terhadap dirinya. Islam juga telah mensyariatkan hukum-hukum yang meliputi amal perbuatan yang positif (berupa perintah) ataupun negatif (berupa larangan). Hukum-hukum tersebut dapat memelihara setiap Muslim, baik pria ataupun wanita, sehingga mereka tidak keluar dari nilai-nilai yang utama. Hukum-hukum tersebut juga bisa menjadi perisai bagi mereka, sehingga mereka tidak tergelincir ke dalam pandangan yang bersifat seksual semata tatkala mereka berada dalam suatu komunitas (jamaah) di dalam masyarakat.

Di bawah ini dikemukakan sejumlah hukum yang terkait dengan berbagai aktivitas yang mengandung aspek positif (berupa perintah), antara lain:

 Islam telah memerintahkan baik kepada laki-laki maupun wanita agar menundukkan pandangannya serta memelihara kemaluannya. Allah Swt. berfirman:


Katakanlah kepada kaum Mukmin laki-laki, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. Sikap demikian adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahatahu atas apa saja yang mereka perbuat. Katakanlah pula kepada kaum Mukmin wanita, hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka. (QS an-Nûr [24]: 30-31)


Menahan pandangan dari setiap pria ataupun wanita merupakan tindakan pemeliharaan diri yang hakiki bagi mereka masing-masing. Tindakan yang bersifat preventif inilah yang sebenarnya dapat mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Sebab, mata merupakan sarana praktis ke arah perbuatan-perbuatan yang terlarang, sehingga ketika pandangan ditundukkan, hal itu akan dapat mencegah tindakan yang mungkar.

 Islam telah memerintahkan kepada kaum pria dan wanita agar bertakwa kepada Allah Swt., sebagaiman firman-Nya:


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan katakanlah perkatan yang benar. (QS al-Ahzâb [33]: 70)


Bertakwalah kalian (yang dimaksud adalah istri-istri Nabi saw.) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penyaksi segala sesuatu. (QS al-Ahzâb [33]: 55)


Akibat yang baik itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Thâhâ [20]: 132)


Tatkala seorang Muslim telah memiliki sifat takwa, pasti ia akan takut terhadap azab Allah Swt., akan memburu surga-Nya, sekaligus akan meraih keridhaan-Nya. Dengan ketakwaan ini, seorang Muslim akan dapat mencegah dirinya dari perbuatan yang mungkar dan menghalanginya dari tindakan maksiat kepada Allah Swt. Inilah cara pencegahan yang paling ampuh. Tidak ada cara lain yang lebih baik daripada cara itu. Jika seorang Muslim telah memiliki sifat takwa, dengan sendirinya ia akan memiliki sifat luhur yang paling sempurna.

 Islam telah memerintahkan kepada kaum pria dan kaum wanita agar menjauhi perkara-perkara syubhat (meragukan); menganjurkan kepada mereka untuk bersikap hati-hati agar tidak tergelincir ke dalam perbuatan maksiat kepada Allah; serta merintahkan kepada mereka untuk menjauhkan diri dari aktivitas, tempat, atau kondisi apa pun yang di dalamnya terdapat perkara syubhat, agar mereka tidak terjerembab ke dalam perbuatan yang haram. Rasulullah saw. bersabda:


Sesungguhnya perkara yang halal telah jelas dan perkara yang haram pun telah jelas. Akan tetapi, di antara keduanya terdapat perkara yang syubhat yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang berhati-hati terhadap perkara yang syubhat, sesungguhnya ia telah menjaga agama dan dirinya. Sebaliknya, barangsiapa yang melakukan tindakan syubhat, berarti ia telah melakukan tindakan yang haram. Demikianlah, sebagaimana seorang penggembala yang menggembalakan kambingnya di seputar pagar, kadang-kadang bisa jatuh melewati pagar itu. Ketahuilah, setiap raja memiliki pagar pembatas, dan pagar (batas) Allah adalah apa yang diharamkan-Nya.


Perkara syubhat bisa terjadi dalam tiga keadaan.

Pertama, syubhat yang ada pada benda, apakah termasuk haram ataukah mubah; atau syubhat yang terdapat pada suatu perbuatan, apakah termasuk wajib, haram, makruh, mandûb, ataukah mubah. Keberadaan perkara syubhat yang ada pada benda ataupun perbuatan tidak boleh diambil atau dilakukan sebelum jelas benar status hukumnya. Dengan demikian, seorang Muslim akan mengambil dan melaksanakannya dengan perasaan tenang atas dugaan kuat mengenai hukum Allah pada kasus tersebut, baik setelah ditempuh proses dan upaya ijtihad di dalamnya, atau setelah mengetahui hukum Allah di dalamnya; baik ia seorang mujtahid ataupun seorang yang memahami hukum, walaupun ia seorang muqallid ataupun ‘âmmî, selama ia yakin akan ketakwaan dan ilmunya dalam hukum, jadi bukan semata-mata ilmunya saja.

Kedua, adanya kesamaran yang dianggap oleh orang lain sebagai haram, meskipun sebenarnya perbuatan itu mubah, karena begitu dekatnya perbuatan tersebut dengan perbuatan yang haram. Misalnya, seseorang yang menyimpan hartanya pada bank yang melakukan aktivitas riba; seseorang yang menjual anggur kepada pedagang yang memiliki usaha pembuatan khamar; atau seseorang yang mengajar wanita secara privat, baik mingguan atau harian, dan contoh lain yang sejenis. Semua contoh perbuatan di atas termasuk tindakan mubah yang boleh dilakukan oleh setiap orang, meskipun lebih utama untuk tidak dilakukan, semata-mata dalam rangka memelihara diri dan bersikap wara‘.

Ketiga, adanya kesamaran di kalangan manusia yang melakukan tindakan mubah, sehingga perbuatan tersebut dianggap sebagai perbuatan terlarang. Akibatnya, perbuatan mubah tersebut dijauhi oleh orang-orang karena khawatir terhadap anggapan orang lain (yang menggolongkannya ke dalam perbuatan haram). Misalnya, orang yang melewati suatu tempat yang di dalamnya penuh dengan kerusakan (tempat pelacuran, bioskop, perjudian, dan lain-ain). Orang banyak kemudian menyangkanya sebagai seorang fasik atau bejat. Karena khawatir terhadap pendapat orang banyak itulah, ia kemudian menjauhkan diri dari perbuatan mubah tadi. Contoh lain adalah seorang suami yang menyuruh istrinya menutupi (dengan cadar) wajah istrinya atau mahram-nya yang lain, padahal ia mengetahui bahwa wajah bukanlah aurat. Tindakan demikian dilakukan semata-mata karena adanya perasaan khawatir terhadap pandangan masyarakat yang menganggap istrinya atau saudara perempuannya membuka aurat. Dalam kasus semacam ini, terdapat dua macam tinjauan:

(1) Karena kesamarannya, sesuatu kemudian dianggap oleh orang-orang sebagai perkara yang haram atau makruh; dilihat dari faktanya memang haram atau menurut syariat digolongkan makruh. Tatkala seseorang melakukan suatu perbuatan yang mubah, sementara orang-orang menganggapnya telah melakukan sesuatu yang terlarang, maka dalam keadaan seperti ini, ia menjauhi hal yang mubah karena khawatir atas persangkaan orang terhadap dirinya. ‘Alî ibn al-Husayn menuturkan bahwa Shafiyyah binti Huyay, salah seorang istri Nabi saw., telah menyampaikan kabar kepadanya bahwa dirinya telah datang kepada Rasulullah saw. untuk menziarah beliau, sementara Rasulullah saw. sedang melakukan i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Shafiyyah lantas bercakap-cakap dengan Nabi saw. berberapa saat sejak usainya shalat isya. Setelah itu, Shafiyyah berdiri untuk kembali bersamaan dengan Rasulullah hingga sampai di pintu masjid dekat dengan tempatnya Ummu Salamah, istri Nabi saw. Tiba-tiba, berlalu dekat mereka dua orang pria dari kalangan Anshar seraya mengucapkan salam kepada Nabi saw. Mereka kemudian langsung pergi. Rasulullah saw. berseru kepada mereka berdua, ‘Tinggallah di tempat kalian, sesungguhnya ia adalah Shafiyyah binti Huyay’.

Kedua orang pria itu pun terkejut seraya mengucapkan, ‘Mahasuci Allah! Duhai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak mengatakan seperti itu’.

Nabi saw. kemudian bersabda sebagai berikut:


Sesungguhnya setan memasuki anak Adam melalui peredaran darahnya. Aku khawatir, ia memasuki tubuh kalian berdua.


Arti kata tanqalibu adalah kembali, sehingga kata yuqallibuhâ berarti mengembalikannya. Dari hadis ini, bisa dipahami bahwa Rasulullah saw. menjelaskan perkara syubhat yang ada dalam diri dua orang sahabat beliau, meskipun dalam diri Rasulullah saw. tidak mungkin ada syubhat.

(2) Perkara yang menimbulkan kesamaran dalam diri masyarakat bahwa perkara tersebut merupakan sesuatu yang terlarang, padahal pada hakikatnya tidak terlarang. Karena adanya rasa khawatir terhadap pendapat masyarakat bahwa perbuatan itu terlarang, ia menjauhinya karena pendapat masyarakat, bukan karena sesuatu itu terlarang. Perkara syubhat seperti ini tidak boleh dijauhkan, bahkan harus dilaksanakan dan dianggap sebagai sesuatu yang diperintahkan oleh syariat, sehingga tidak perlu memperhatikan pendapat masyarakat. Allah Swt. telah menegur Rasulullah karena perbuatan seperti itu melalui firman-Nya:


Kamu takut kepada manusia, padahal Allahlah yang berhak kamu takuti. (QS al-Ahzâb [33]: 37)


Kenyataan ini menunjukkan bahwa, seorang Muslim, jika telah melihat atau memahami bahwa syariat tidak melarang sesuatu, hendaknya melakukan hal itu, meskipun seluruh manusia mengatakan hal itu terlarang.

Dalam kaitannya dengan perkara-perkara syubhat semacam ini, yang telah dilarang oleh syariat, jika seorang pria ataupun wanita menjauhkan diri darinya, maka keduanya akan terjaga dari perbuatan maksiat dan akan memiliki sifat-sifat yang mulia.

<!--[if !supportLists]-->4. <!--[endif]-->Islam mendorong para perjaka atau para gadis untuk menikah. Dengan itu, hubungan seksual yang terjadi antara pria dan wanita hanya terbatas pada pernikahan yang dilakukan sejak usia muda. Pada gilirannya, pandangan seksual yang ada hanya terbatas dalam suasana pernikahan saja sejak munculnya gejolak naluri seksual. Rasulullah saw. bersabda:


Wahai pemuda, siapa saja di antara kalian mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah.


Dalam perkara pernikahan ini, tampak adanya kemudahan berupa ajakan untuk memperkecil bilangan mahar, sebagaimana sabda Rasulullah saw.:


Wanita mana saja yang sedikit nilai maharnya, dialah yang banyak mendapatkan berkahnya.


 Bagi mereka yang tidak mungkin melakukan pernikahan disebabkan oleh keadaan tertentu, hendaknya memiliki sifat ‘iffah (senantiasa menjaga kehormatan) dan mampu mengendalikan nafsu. Allah Swt. berfirman:


Orang-orang yang tidak mampu untuk menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)-nya hingga Allah memberikan kepada mereka kemampuan dengan karunia-Nya. (QS an-Nûr [24]: 33)


Mereka yang tidak mampu melakukan pernikahan diperintahkan untuk melakukan shaum sebagai suatu pemecahan naluri seksualnya. Dengan melakukan ibadah shaum, ia akan dapat mengalahkan naluri seksualnya. Bisa juga ia mencari kesibukan yang lebih utama dan mulia. Ini dapat memperkuat hubungan manusia dangan Allah Swt. dengan jalan menaati-Nya. Rasulullah saw. bersabda:


Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, hal itu akan dapat menundukkan pandangan serta memelihara kemaluan. Siapa saja yang tidak mampu melakukannya, hendaknya melakukan shaum, karena shaum adalah perisai.


Shaum dilakukan bukan untuk mengekang naluri seksual (gharîzah an-naw‘), tetapi demi mewujudkan berbagai pemahaman yang dikaitkan dengan naluri beragama atau religiousitas (gharîzah at-tadayyun). Dengan demikian, manusia dijauhkan dari berbagai pemahaman yang berkaitan dengan naluri seksual, sehingga naluri tersebut tidak akan muncul dengan melemahkan ataupun menyakitinya. Shaum tidak dimaksudkan untuk melemahkan tubuh manusia, karena makan secukupnya pada malam hari, dapat menggantikan makan di siang hari. Artinya, upaya melemahkan tubuh bukanlah tujuan shaum, tetapi yang benar adalah mewujudkan berbagai pemahaman spiritual (al-mafâhîm ar-rûhiyyah) tatkala melakukan shaum sunnah.

 Islam telah memerintahkan kepada kaum wanita agar memiliki sifat malu dan biasa mengenakan pakaian yang sempurna dalam kehidupan umum. Islam juga telah menjadikan kehidupan khusus hanya sebatas untuk wanita dan para mahram-nya saja. Tidak diragukan lagi bahwa, wanita yang benar-benar pemalu akan terjauhkan dari berbagai pandangan yang mencurigakan dari mereka yang tidak takut kepada Allah Swt. Al-Quran telah memberikan gambaran tentang pakaian wanita dengan gambaran mendetail, sempurna, dan menyeluruh. Seorang wanita yang mengenakan pakaiannya secara sempurna; yang mengulurkankan kerudungnya ke dadanya sehingga menutup kepala, leher dan dadanya; serta yang menghamparkan jilbabnya sehingga baju kurung atau baju luarnya menjulur sampai ke bawah menutupi seluruh tubuh hingga (telapak) kakinya, adalah wanita yang telah mengenakan pakaian yang sempurna. Dengan berpakaian seperti ini, ia berarti telah bersikap hati-hati dan menampakkan rasa malunya. Dengan pakaian yang sempurna seperti inilah, ia boleh terjun ke tengah-tengah kehidupan umum untuk secara langsung melakukan berbagai kegiatan dan aktivitasnya. Dengan itu, ia berarti telah menampakkan rasa malu dan kesopanan. Sikap semacam ini dapat menjauhkan dirinya dari berbagai pandangan yang mencurigakan yang berasal dari orang-orang yang tidak takut kepada Allah Swt.


Paparan di atas berhubungan dengan hukum-hukum syariat yang terkait dengan berbagai perilaku yang diwajibkan.

Sementara itu, hukum-hukum syariat yang terkait dengan berbagai perbuatan yang diharamkan antara lain sebagai berikut:

 Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat satu sama lain. Khalwat maknanya adalah berkumpulnya seorang pria dan seorang wanita di suatu tempat yang tidak memberikan kemungkinan orang lain untuk bergabung dengan keduanya, kecuali dengan izin keduanya. Contohnya adalah berkumpulnya seorang pria dan seorang wanita di rumah atau di tempat sunyi yang jauh dari jalan dan keramaian orang. Berkaitan dengan khalwat ini, di dalam kamus al-Muhîth ada pernyataan demikian:



Dia mengasingkan diri bersama raja sehingga ia berduaan dengannya; bersepi-sepi bersamanya; berduaan dengannya; menyendiri dengannya; dan mengisolasi diri bersamanya dengan benar-benar menyepi, menyendiri, dan berduaan. Dia memintanya untuk menyatu di dalam khalwat (kesunyian) sehingga ia pun melakukannya.


Dengan demikian, khalwat adalah berkumpulnya dua orang dengan menyendiri sehingga tidak ada orang lain bersama keduanya. Khalwat adalah perbuatan yang destruktif (merusak). Oleh karena itu, Islam melarang dengan tegas setiap bentuk khalwat yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita tanpa disertai mahram-nya, apa pun kedudukan kedua orang tersebut dan bagaimanapun bentuk khalwat yang dilakukannya. Rasulullah saw. telah bersabda:


Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah tidak melakukan khalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai dengan mahram-nya, karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan.


Larangan untuk berkhalwat oleh syariat merupakan tindakan preventif bagi pria maupun wanita. Realitas menunjukkan bahwa, khalwat telah menjadikan pria hanya mengenal wanita sebatas sebagai seorang perempuan sekaligus menjadikan wanita hanya mengenal pria sebatas sebagai seorang laki-laki. (Keduanya hanya melihat lawan jenisnya dari sudut pandang seksual semata, pen). Oleh karena itu, adanya larangan untuk berkhalwat dapat menjauhkan berbagai sebab kerusakan, karena khalwat merupakan sarana yang secara langsung dapat memicu kerusakan.

 Islam melarang kaum wanita untuk ber-tabarruj, sebagaimana firman Allah Swt.:


Perempuan-perempuan tua yang telah berhenti dari haid dan kehamilan yang tidak ingin menikah lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya (ber-tabarruj). (QS an-Nûr [24]: 60)


Larangan terhadap kaum wanita yang sudah tua untuk melakukan tabarruj pada saat ia dibolehkan untuk menanggalkan atau melepaskan pakaian yang dikenakannya, meskipun di dalamnya tidak terdapat tindakan tabarruj, mengisyaratkan pemahaman tentang larangan tabarruj. Jika kaum wanita yang sudah tua dilarang melakukan tabarruj, apalagi jika hal itu dilakukan oleh wanita biasa. Allah Swt. berfirman:


Janganlah mereka memukul-mukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. (QS an-Nûr [24]: 31)


Pemisalan yang tertera dalam ayat ini dianggap sebagai tindakan ber-tabarruj. Tabarruj maknanya adalah sebagai berikut:



Menampakkan perhiasan dan kecantikannya terhadap orang-orang yang bukan mahram.


Jika dikatakan bahwa seorang wanita telah ber-tabarruj, artinya ia telah menampakkan perhiasan dan kecantikannya terhadap orang yang bukan mahram-nya. Banyak hadis yang melarang setiap perbuatan yang dianggap sebagai tabarruj. Abû Mûsâ al-Asy‘arî menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda sebagai berikut:


Siapa pun wanita yang memakai wewangian kemudian melewati suatu kaum agar mereka mencium baunya, berarti ia telah melakukan zina.


Dengan kata lain, ia dianggap sebagaimana layaknya pezina yang terperosok ke dalam dosa. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda demikian:


Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya tidak pernah aku duga, yaitu: sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia serta wanita yang membuka auratnya seraya berpakaian tipis merangsang, berlenggak-lenggok, dan banyak lagak. Mereka tidak dapat masuk surga dan tidak dapat mencium baunya, padahal bau surga dapat tercium dari jarak yang jauh.


Semua dalil di atas secara tegas menunjukkan larangan untuk melakukan tabarruj. Oleh karena itu, tabarruj hukumnya adalah haram. Atas dasar ini, setiap upaya mengenakan perhiasan yang tidak lazim, yang akan memancing pandangan kaum lelaki dan dapat memperlihatkan kecantikan wanita, adalah termasuk tindakan tabarruj—jika ditampakkan oleh seorang wanita di dalam kehidupan umum atau diperlihatkannya di dalam kehidupan khusus di hadapan pria asing yang bukan mahram-nya. Contohnya adalah memakai wangi-wangian, memoles wajah dengan warna-warna tertentu, memakai topi tanpa berkerudung, dan memakai celana panjang tanpa jilbab—jika semua itu dikenakan tatkala keluar di tengah-tengah kehidupan umum.

Kenyataan menunjukkan bahwa tindakan tabarruj dapat mengubah perasaan dan membangkitkan naluri seksual seseorang sehingga mampu mendorong terjadinya hubungan seksual antara pria dan wanita. Tindakan tabarruj dapat menyebabkan seorang pria memburu kaum wanita, memicu terjadinya hubungan antara keduanya semata-mata atas dasar hubungan lawan jenis (laki-laki dan perempuan), dan menjadikan hubungan keduanya hanya sebatas hubungan yang bersifat seksual semata. Semua ini akan dapat merusak kerjasama antara kaum pria dan kaum wanita, sehingga dapat menghancurkan tatanan hidup kejamaahan, bukan membangun. Tabarruj juga dapat mengubah hubungan yang hakiki yang tadinya dilandasi kesucian dan ketakwaan. Tabarruj akan mengisi waktu-waktu kosong dalam kehidupan seseorang untuk membangkit-bangkitkan perasaan dan menggelorakan naluri seksualnya. Akibatnya, hidup ini tidak lain kecuali dipenuhi dengan hasrat mengikuti kehendak jasadiah dan angan-angan besar; tidak ada yang dilakukan kecuali hanya sekadar memuaskan dahaga biologisnya yang dipicu oleh tindakan tabarruj. Tabarruj juga dapat mengalihkan seorang Muslim, baik pria ataupun wanita, dari pelaksanaan risalah-Nya di dalam kehidupan, yaitu mengemban dakwah Islam dan berjihad untuk meninggikan kalimat Allah.

Atas dasar ini, harus ada upaya preventif terhadap bahaya tabarruj bagi jamaah Islam dan terhadap apa saja yang bisa muncul akibat tindakan tabarruj yang dilakukan wanita terhadap pria, yaitu bangkit dan terangsangnya naluri seksual yang akan dapat membahayakan jamaah dan interaksinya.

Inilah pembahasan tentang tabarruj yang telah diharamkan oleh Islam serta pengkajian fakta dan bahaya yang dapat ditimbulkannya bagi jamaah Islam. Di luar itu, yakni upaya seorang wanita untuk menampakkan perhiasan dan kecantikan di dalam rumah dan di tempat-tempat khusus tidak dianggap sebagai tindakan tabarruj, dan tidak ada kaitannya dengan istilah tabarruj.

 Islam melarang pria dan wanita untuk melakukan amal-perbuatan yang dapat membahayakan akhlak atau yang dapat merusak jamaah Islam. Seorang wanita dilarang melakukan kesibukan dalam setiap pekerjaan yang menonjolkan aspek sensualitas kewanitaannya. Dalam konteks ini, Râfi‘ ibn Rifâ‘ah pernah bertutur demikian:


Nabi saw. telah melarang kami dari perkejaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan oleh kedua tangannya. Beliau bersabda, “Seperti inilah jari-jemarinya yang kasar sebagaimana halnya tukang roti, pemintal, atau pengukir.”


Dengan demikian, seorang wanita dilarang untuk: melakukan kesibukan (bekerja) di tempat-tempat penjualan untuk menarik pengunjung; melakukan pekerjaan di kantor-kantor diplomatik dan konsulat atau yang sejenisnya, dengan maksud untuk mengeksploitasi unsur sensualitas kewanitaannya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan politik; bekerja sebagai pramugari di pesawat-pesawat terbang; serta melakukan berbagai pekerjaan lain yang mengeksploitasi unsur sensualitas kewanitaannya.

 Islam melarang tindakan mencemarkan nama baik wanita-wanita suci, yakni dengan cara melontarkan tuduhan zina kepada mereka. Allah Swt. berfirman:


Orang-orang yang melontarkan tuduhan zina kepada wanita-wanita yang baik-baik, sedangkan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, deralah oleh kalian sebanyak delapan puluh kali deraan, dan janganlah kalian menerima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS an-Nûr [24]: 4)


Sesungguhnya orang-orang yang melontarkan tuduhan zina kepada para wanita yang baik-baik dan tidak melakukan apa-apa lagi beriman adalah terlaknat di dunia dan di akhirat, sementara bagi mereka ada azab yang besar. (QS an-Nûr [24]: 23)


Di dalam sebuah hadis disebutkan demikian:


Rasulullah saw. bersabda, “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang dapat membinasakan.” Para sahabat bertanya, “Apa gerangan, wahai Rasulullah?” Beliau lalu menjawab, “Menyekutukan Allah; melakukan sihir; membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah; memakan riba; memakan harta anak yatim; lari dari medan perang; dan melontarkan tuduhan zina kepada para wanita yang suci yang tidak melakukan apa-apa.”


Yang dimaksud dengan al-muhshanât adalah para wanita yang senantiasa menjaga kehormatannya. Tuduhan palsu kepada para wanita suci seperti ini adalah haram. Dalam konteks larangan melontarkan tuduhan zina kepada para wanita yang suci, syariat Islam telah menentukan sebuah ketetapan, yakni ‘mengunci’ setiap lisan yang biasa menyebarkan kata-kata buruk dan mencemari kehormatan orang lain, sehingga kata-kata kotor dan tuduhan-tuduhan batil tidak lantas tersebar di tengah-tengah jamaah Islam. Dengan itu, kesucian jamaah Islam dapat terjaga.


Semua ketentuan hukum syariat di atas, yang meliputi segala perbuatan yang bersifat larangan, akan menciptakan komunitas (jamaah) Islam—meskipun di dalamnya terdapat berbagai interaksi kerjasama (antara pria dan wanita, pen)—senantiasa berada dalam koridor kesucian dan ketakwaan.

Dari seluruh paparan di atas, setiap orang bisa membayangkan apa yang disebut dengan komunitas (jamaah) Islam dan mengetahui bagaimana posisi seorang wanita Muslimah. Mereka pun akan memandang bahwa upaya wanita di dalam kehidupan umum untuk melakukan berbagai aktivitas yang telah dibolehkan oleh syariat tidak akan menimbulkan kerusakan apa pun atau tidak akan memicu terjadinya kemadaratan sedikit pun, bahkan ia akan sangat signifikan bagi kehidupan umum dan kemajuan jamaah Islam. Oleh karena itu, kaum Muslim hendaknya meyakini hukum-hukum syariat, baik berada di Darul Islam ataupun di Darul Kufur; baik berada di negeri-negeri Islam ataupun di negeri-negeri non-Islam; baik hidup di tengah-tengah komunitas (jamaah) Muslim ataupun bukan. Kaum Muslim perlu mendorong berbagai aktivitas yang telah dibolehkan oleh syariat untuk dilakukan oleh seorang wanita. Mereka tidak perlu merasa khawatir terhadap aktivitas wanita yang telah dibolehkan oleh syariat. Sebab, setiap amal-perbuatan yang sesuai dengan hukum-hukum syariat sesungguhnya akan mampu menjamin kesucian wanita, memajukan jamaah, dan sekaligus merupakan ekspresi dari ketaatan pada perintah dan larangan Allah. Syariat Islam tentu paling mengetahui apa yang paling layak bagi manusia, baik secara individual ataupun secara komunal (kejamaahan), di dalam kehidupan khusus maupun dalam kehidupan umum.

Demikianlah kesimpulan dari sistem atau tata-aturan Islam yang digunakan sebagai solusi terhadap interaksi atau pergaulan pria dan wanita yang sering memunculkan berbagai problem. Dari paparan tentang sistem ini, tampak jelas bahwa, hukum-hukum syariat datang untuk menjamin agar tidak ada kerusakan yang muncul sebagai akibat dari interaksi atau pergaulan pria dan wanita; demi memperoleh berbagai kemaslahatan; sekaligus untuk mewujudkan kesucian dan ketakwaan serta kesungguhan dan kerja. Sistem ini dimaksudkan untuk menjaga kehidupan khusus sehingga orang merasa tenteram di dalamnya, merasa tenang jiwanya, dan dapat beristirahat setelah melakukan kerja keras. Sistem ini juga dimaksudkan untuk menjamin kehidupan umum agar menjadi kehidupan yang serius dan produktif serta mampu memenuhi kebahagiaan dan kesejahteraan yang dibutuhkan oleh jamaah Islam dalam kehidupannya. Hukum-hukum ini merupakan bagian dari sistem interaksi atau sistem pergaulan antara pria dan wanita (an-nizhâm al-ijtimâ‘î), karena mengatur interaksi atau pergaulan antara pria dan wanita. Demikian pula berbagai hubungan yang muncul serta berbagai problem yang lahir sebagai implikasi dari adanya interaksi tersebut—seperti masalah pernikahan, talak, anak-anak, nafkah, dan lain-lain—adalah bagian lain dari sistem interaksi atau pergaulan antara pria dan wanita ini. Meskipun hukum-hukum seperti ini—yakni hukum-hukum pernikahan, talak, dan sebagainya—merupakan bagian dari sistem sosial (anzhimah al-mujtama‘) karena mengatur hubungan antar individu, tetapi asal-muasalnya lahir dari adanya interaksi atau pergaulan yang terjadi antara pria dan wanita. Oleh karena itu, semua ini dapat di kaji—dari segi asal-muasal dan sebab-sebab kemunculannnya—dalam sistem interaksi atau tata pergaulan antara pria dan wanita (an-nizhâm al-ijtimâ‘î). Sementara itu, detail dan segala aspek yang berkaitan dengan masalah ini merupakan bagian dari sistem sosial (anzhimah al-ijtima‘) yang dibahas dalam bab mengenai muamalat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Browse